18 Januari 2010

» Home » Kompas » Kepak Sayap Sang Raja Jawa

Kepak Sayap Sang Raja Jawa

Beberapa waktu lalu muncul surat edaran dari Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tri Harjun yang intinya meminta agar setiap pegawai negeri sipil menjadi abdi dalem keraton Yogyakarta. Edaran yang sifatnya imbauan tidak mengikat itu bertujuan melestarikan kebudayaan dan melestarikan kelembagaan Kesultanan Yogyakarta.

 

Meski Keraton tidak enak hati dengan imbauan itu, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo selaku Pengageng Kawedanan Ageng Panitipura Keraton Yogyakarta menyatakan, dalam sejarahnya sampai pemerintahan Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, sistem pemerintahan Keraton Yogyakarta terbagi dua, eksekutif dan kebudayaan. Pemerintahan eksekutif yang dikelola Patih Dalem disebut abdi dalem kaprajan. Adapun abdi dalem yang bekerja di lingkungan keraton disebut abdi dalem punokawan,
”Sejak pemerintahan Sultan HB X memang tak ada keharusan lagi pegawai negeri sipil (PNS) menjadi abdi dalem. Tidak usah ada imbauan saja, sekarang ini sekitar 1.400 PNS yang menjadi abdi dalem. PNS yang menjadi abdi dalem keraton harus memiliki kualitas kultural tertentu,” kata Joyokusumo.
Jika surat edaran itu mengundang pro-kontra, bagi Tri Harjun, semata-mata hanya ingin mengembalikan kekhasan Yogyakarta. Bahkan, sekaligus akan dijadikan salah satu ciri dari keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Menggali berbagai kekayaan budaya semacam itu senantiasa dilakukan masyarakat atau Pemerintah DIY. Ini menunjukkan soal keistimewaan DI Yogyakarta hal mutlak bagi warga. Ini senada dengan apa yang muncul dalam diskusi tentang RUU Keistimewaan (RUUK) DIY, semua panelis menyatakan, DIY memang memiliki keistimewaan yang harus dipertahankan.
Kekuatan kebudayaan banyak ditekankan panelis sebagai kekuatan untuk keistimewaan Yogyakarta. Nilai kebersamaan, gotong royong, saling menghormati, penuh kepedulian, pemufakatan, dan musyawarah adalah roh yang mendasari terbentuknya sebuah kerajaan Ngayogyakartahadiningrat. Bahkan, pemerintahan di Yogyakarta disebut sebagai artifact, socifact, dan mentifact dari kebudayaan Nusantara yang berkelanjutan menjadi kebudayaan Indonesia yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dari masa kolonial sampai masa Indonesia modern.
Kekuatan budaya yang melahirkan demokrasi yang diilhami kearifan lokal itulah basis keistimewaan DIY, di bawah pimpinan Kesultanan Yogyakarta. Itu terbukti dari sistem pemerintahan yang mampu melangsungkan kehidupannya dalam pergeseran dari bentuk vosten landen (praja kejawen-zaman kolonial) menjadi daerah istimewa sejak masa kemerdekaan Indonesia.
Beberapa panelis juga berharap, jangan sampai kekayaan dan kekhasan budaya Yogyakarta terhapuskan oleh konsep politik. Artinya, biarlah struktur pemerintahan di bawah kepemimpinan keraton. Kekhasan pemerintahan di Yogyakarta adalah kerajaan. Otonomi dengan keraton sebagai pusatnya jangan sampai terperangkap dalam konsep otonomi yang seragam. Dengan memandang otonomi tak hanya dari konsep politik, tetapi juga dari sisi budaya, kekhasan, atau keistimewaan, Yogyakarta akan terselamatkan. Keraton adalah kekayaan dan keindahan sejarah.
Bahkan, keberadaan Keraton Yogyakarta sudah ada sebelum pemerintahan Indonesia ada. Kehadiran pemerintahan Keraton Yogyakarta diakui dunia. Karena itu, pernyataan Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pernyataan cerdas dan pemahaman kenegarawanan Sultan HB IX waktu itu. Ini menunjukkan pula Keraton bukanlah feodal. Namun, punya sikap demokratis dengan visi ke depan.
Pengakuan tentang kemerdekaan Indonesia oleh Keraton memiliki makna historis yang besar dalam memberikan jaminan konkret berupa legitimasi terhadap eksistensi republik yang saat itu masih bayi. Tanpa itu, Belanda pasti akan mengklaim kembali atas wilayah Nusantara setelah berakhirnya pendudukan Jepang.
Kepak sayap raja Jawa itu semakin teruji ketika bersama Paku Alam VIII menjadi jaminan bagi Republik Indonesia ketika Ibu Kota harus pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.
Jiwa demokratis Sultan HB IX tecermin dalam pemerintahan Yogyakarta, yang sudah memiliki lembaga perwakilan daerah. Visi ke depan ditunjukkan secara konkret dengan menyediakan Keraton Yogyakarta sebagai tempat pendidikan tinggi. Dari Pagelaran Keraton Yogyakarta lahirlah Universitas Gadjah Mada, yang menjadikan wilayah Yogyakarta sebagai wilayah multikultural dengan hadirnya mahasiswa dari berbagai daerah di Tanah Air.
Kebudayaan
Sampai saat ini keberadaan Keraton Yogyakarta tetap kokoh sebagai artefak yang hidup di tengah arus zaman. Keraton masih menyimpan kekayaan budaya yang unik. Di dalamnya ada empat museum yang mencatat perjalanan sejarah kerajaan trah Mataram itu. Buku kuno, serat, babad, dan tembang tersimpan di sana. Berbagai jenis tari, bedaya, srimpi, golek, Maeso Lawung adalah bukti suara kebudayaan Keraton masih menggema.
Keraton masih menyimpan berbagai tradisi, adat istiadat yang kuat. Misalnya, saat Lebaran, semua PNS dan bupati berbaur dengan abdi dalem datang ke Keraton untuk sungkeman kepada Raja. Tradisi jumenengan, tingalan dalem, labuhan laut, dan upacara di Gunung Merapi adalah warna budaya keraton yang masih tetap terjaga hingga sekarang.
Keraton adalah sejarah panjang dari pemerintahan sejak pendirinya, Pangeran Mangkubumi (1755-1792). Sebuah pemerintahan yang terus berjalan dengan dinamika politik, sosial, budaya, yang tentu saja melahirkan proses pendewasaan yang terus-menerus. Itu berjalan sampai sekarang. Putra mahkotanya masih tetap memberikan sumbangsih untuk negeri yang bernama Indonesia ini. Sebagai keturunan Mangkubumi, Sultan HB IX, dan kini Sultan HB X, masih terus bisa memberikan nilai sejarah bagi leluhur dan bangsanya.
Secara empiris, posisi Sultan HB dan Paku Alam sebagai kepala daerah sudah terpelihara sepanjang perjalanan Republik Indonesia, termasuk proses suksesinya berlangsung stabil. Selama 11 tahun terakhir dalam pemerintahan Sultan HB X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY juga tidak terjadi suatu yang aneh, apalagi sesuatu yang buruk.
Barangkali pendiri Kerajaan Yogyakarta tidak mengira kekuasaan yang tinggal sakmegaring payung (seluas payung terbuka) yang sekarang dipimpin Sultan HB X, pada saat ini harus menghadapi persoalan kepemimpinan. Memang semua mengakui ada keistimewaan di DIY. Namun, kepemimpinan kepala daerahnya ditetapkan atau dipilih itu yang kini membuat berlarut-larutnya pembahasan payung hukum kepemimpinan di DIY.
Ada panelis yang menyatakan, masa pemerintahan mulai Sultan HB IX sampai HB X berjalan mulus tanpa ada gejolak yang berarti. Pemerintahan dan Keraton Yogyakarta menyatu. Penetapan bukan menjadi masalah. Sebab, demokrasi muaranya adalah kesejahteraan rakyat.

Oleh THOMAS PUDJOWIDIJANTO
Opini Kompas 19 Januari 2010