"DIA lagi...dia lagi...!" demikian komentar seorang presenter televisi nasional saat membawakan sebuah berita tentang ulah Ruhut Sitompul dalam sidang Pansus Century. Kali ini Ruhut, anggota Pansus Century dari Partai Demokrat, kembali membuat berang anggota pansus lain akibat terlalu banyak ulah dan interupsi serta memanggil Jusuf Kalla dengan sebutan Daeng.
Sebelumnya, Ruhut juga berbaku kata kasar dengan Gayus Lumbuun (PDIP). Sebelumnya lagi selalu mengumbar interupsi dan interupsi saat sidang pansus tengah seru-serunya. Belum lagi pernyataan-pernyataan kontroversial lainnya, seperti pernyataannya tentang keterlibatan dua mantan menteri dalam mendanai berbagai aksi demo.
Dalam jagat politik postmodern, berbagai ulah Ruhut yang membuat banyak orang gemas dan geram tersebut sesungguhnya adalah sebuah repudiasi (repudiation). Yakni, sebuah strategi penyangkalan terhadap lawan politik. Baik penyangkalan terhadap wacana, argumen, alibi, maupun langkah-langkah lawan politiknya. Akan tetapi, penyangkalan itu berdiri di atas kondisi antara. Antara tata tertib dan kepentingan politik, antara kenyataan politik dan kuasa politik.
Ricuhnya berbagai rangkaian sidang pansus akibat interupsi, kelakar, dan umpatan Ruhut adalah representrasi dari politik repudiasi. Semua itu tentu berawal dari posisi antara yang dihadapi oleh Partai Demokrat dan Ruhut di dalam pansus. Yakni, antara peran menjalankan fungsi sebagai anggota dewan sekaligus anggota pansus dan peran sebagai kader partai yang harus menjaga serta membela kepentingan SBY dan pemerintah sebagai representasi kuasa Partai Demokrat.
Dalam kondisi antara itulah, lahir politik repudiasi, lahir sebuah penyangkalan. Dan, penyangkalan oleh Ruhut tersebut diwujudkan dalam berbagai interupsi yang mengganggu anggota pansus lain saat tengah mengorek keterangan dari saksi, seperti yang selalu dia lakukan saat Sri Mulyani dalam kondisi terpojok. Gugatan terhadap tata tertib seperti saat berbaku umpatan dengan Gayus Lumbuun. Mengingatkan anggota pansus lain agar jangan terlalu lama bertanya hampir dalam setiap kesempatan sidang. Atau, bahkan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi yang tujuannya adalah menggiring pendapat bahwa kebijakan pemberian dana talangan pada Bank Century adalah legal, seperti yang dia lakukan saat Sri Mulyani dan beberapa dewan gubernur menjadi saksi. Di lain pihak, dia menyerang dan menyudutkan saksi yang dianggap berseberangan dengan pemerintah atau SBY, seperti yang dilakukan kepada JK.
Repudiasi politik kian menemukan bentuknya manakala Ruhut relatif leluasa melakukan aksinya tersebut. Hal itu terbukti dengan belum adanya sedikit pun teguran, apalagi sanksi, baik dari fraksi, partai atau SBY sekalipun. Atau, bahkan pada saat bersamaan, repudiasi Ruhut itu bersambung dan sebangun dengan repudiasi yang dilakukan anggota pansus lain (utamanya dari Demokrat), yang setiap nada pertanyaannya juga selalu berusaha menggiring opini publik bahwa kebijakan bailout Century adalah legal dan bahkan cerdas.
Repudiasi Ruhut dan Demokrat itu makin menemukan gayung bersambut manakala pada saat bersamaan, terlontar juga sinyal repudiasi dari Istana. Pertama, adanya isu reshuffle kabinet setelah 100 hari. Kedua, seperti yang disampaikan oleh Menkominfo Tifatul Sembiring, Presiden SBY merasa prihatin dengan kebanyakan anggota pansus yang tidak memiliki etika sopan santun dalam melontarkan pertanyaan kepada para saksi. Momentum penyangkalan dari Istana itu pun menemukan benang merahnya manakala pada saat bersamaan, beberapa partai koalisi mulai mengganti anggota pansusnya yang dianggap terlalu kritis (baca: potensial).
Setidaknya lima anggota pansus telah dan akan diganti. Di antaranya, Marwan Ja'far dan Anna Mu'awanah yang terlihat sangat kritis dan bersemangat saat memeriksa Sri Mulyani telah diganti oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa. Sementara itu, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) akan menarik Chandra Tirta Widjaya dan Catur Sapto Edi. Sedangkan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) akan mengganti Andi Rahmat yang selalu lugas dan tajam di hampir setiap sidang pansus.
Ketika repudiasi politik bertarung di wilayah wacana publik (baca: media massa), konsekuensinya imaji publik pun terseret ke pentas repudiasi tersebut. Maka, ketika repudiasi semakin memperlebar jarak kondisi antara, semakin tidak jelas antara yang benar dan yang salah, antara yang legal dan ilegal, antara yang kuat dan yang lemah, imaji khalayak pun menjadi chaos.
Puncak dari imaji yang chaotic adalah seperti yang telah kita saksikan bersama, bentrok di kalangan akar rumput. Misalnya, kasus bentrok antara polisi dan mahasiswa yang menghujat Ruhut di Makassar. Atau berbagai demo di Senayan yang memprotes penggembosan pansus melalui pergantian anggota oleh fraksinya.
Repudiasi hanya bergerak di wilayah popularitas dan bukan perenungan. Seperti populernya Sri Mulyani dan Ruhut Sitompul sekarang. Hanya bergerak di wilayah kepentingan dan bukan kemaslahatan. Seperti repudiasi SBY dalam berbagai pernyataannya. Repudiasi Sri Mulyani, Boediono, dan dewan gubernur dalam kesaksiannya. Repudiasi Ruhut dalam berbagai kegaduhannya dan repudiasi anggota pansus dari Demokrat dengan berbagai pertanyaannya sesungguhnya tidak menyentuh akar substansi masalah. Jika strategi repudiasi semacam itu masih saja berlanjut, yang terjadi justru delegitimasi terhadap Ruhut, Demokrat, pemerintah dan SBY sendiri. Kita tunggu saja. (*)
*) Mochtar W. Oetomo MA, staf pengajar FISIB Unijoyo, Madura
Opini Jawa Pos 18 Januari 2010
18 Januari 2010
Ruhut dan Repudiasi Istana
Thank You!