18 Januari 2010

» Home » Kompas » Tak Perlu Ragu Sahkan RUUK

Tak Perlu Ragu Sahkan RUUK

Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang antara lain mengatur pemerintahan DIY, terkesan diulur-ulur. Padahal, sembilan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat sudah sepakat mengegolkannya.
Tinggal Fraksi Partai Demokrat (F-PD) DPR dan pemerintah yang belum mengambil sikap tegas. Apa sesungguhnya yang dikhawatirkan pemerintah?


Menurut Ida Fauziah, anggota Komisi II DPR, yang pernah menjabat Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY), awalnya F-PD sudah menyatakan setuju dengan isi RUU itu, khususnya mengenai penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam masing-masing sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Namun, kemudian pernyataan F-PD diubah menjadi tidak menolak penetapan dan memahami sikap sembilan fraksi lainnya. ”Artinya boleh katakan, 9,5 atau 9,75 fraksi di DPR setuju penetapan,” kata Ida.
Ringkasnya, Dewan periode 2004-2009 sebenarnya siap menyetujui RUUK DIY disahkan menjadi UU. Namun, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tak perlu buru-buru membahas RUUK DIY agar tidak bertentangan dengan arus demokrasi dan reformasi, kesiapan itu menjadi ”luntur” sehingga pembahasan RUUK DIY bergulir ke anggota DPR periode 2009-2014.
Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang juga pernah menjadi Menteri Negara Otonomi Daerah, mengungkapkan, berdasarkan informasi yang ia peroleh dari sumber di pemerintahan, ada tiga hal yang masih dipertimbangkan pemerintah.
Pertama, bagaimana jika Sultan atau Paku Alam mulai uzur dan secara biologis dianggap tidak mampu lagi menjalankan kewajibannya sebagai kepala daerah dan atau wakil kepala daerah secara efektif. Kedua, bagaimana jika Sultan atau Paku Alam terlibat dalam kasus pidana yang mengharuskannya melepas jabatan sesuai aturan yang berlaku. Siapa yang menggantikan dan bagaimana prosedur penggantiannya.
Ketiga, bagaimana jika Sultan atau Paku Alam wafat, sementara anaknya yang tertua belum akil balig atau belum memenuhi syarat tentang umur minimal bagi kepala/wakil kepala daerah. Bagaimana aturan transisinya? Ketiga hal itu dinilai belum terpecahkan dalam pembahasan RUUK DIY selama ini.
Ida mengatakan, jika benar ketiga masalah itu yang dikhawatirkan, bisa dibilang, sebenarnya semuanya sudah habis dikunyah DPR. Untuk itu, DPR menawarkan konsep Paniradyapati, nama lain perangkat atau lembaga kesultanan yang diatur dalam UU. Wewenang Paniradyapati antara lain mengesahkan dan menetapkan Sultan. Bila Sultan dan Paku Alam berhalangan tetap, Paniradyapati mengambil kebijakan pengisian kekosongan jabatan gubernur dan wagub. Fungsi lain dari Paniradyapati adalah memberi nasihat dan pertimbangan kepada Sultan.
Susunan keanggotaannya dan mekanisme pemilihan Paniradyapati diatur lebih lanjut dengan mengacu pada peraturan keraton.
Mengenai kasus pidana, hal itu tak perlu terlalu dipermasalahkan. Jika ternyata yang bersangkutan terbukti tersangkut pidana dalam konteks kepala daerah, dengan sendirinya jabatan kepala daerah harus dilepas.
Jadi, berlebihan jika pemerintah ragu untuk mengesahkan RUUK DIY. Apalagi, jika mengingat Pasal 18B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, yang diatur dengan UU.
Daerah itu adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), DKI Jakarta, Papua, dan DIY. NAD, kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidhiqie, mempunyai keistimewaan di bidang eksekutif dan yudikatif. Bisa dikatakan, NAD tidak lagi cocok dengan doktrin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Daerah ini sudah agak federalistis. Artinya, bentuk negara dan susunan sebenarnya sudah tidak 100 persen negara kesatuan. Sudah ada elemen yang agak federal. Sebelum daerah lain melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, NAD sudah menerapkan cara itu lebih dahulu.
Yudikatif
Di bidang yudikatif, NAD memiliki pengadilan yang disebut Mahkamah Syariah, di samping menerapkan hukum Islam yang berbeda dengan hukum nasional. Di sana dikenal hukum cambuk, yang tidak ada di provinsi lainnya di Indonesia.
Di DKI Jakarta, yang merupakan Ibu Kota negara ini, pemerintahan dan lembaga legislatifnya juga berbeda. Di lima wilayah kotanya tidak ada DPRD. Wali kotanya pun bukan ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Semua itu diterapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kenyataannya masyarakat tidak protes alias tidak merasa haknya hilang. Inilah keistimewaan Jakarta.
Papua beda lagi. Provinsi yang satu ini memiliki pengadilan adat meski menurut UU untuk eksekusinya melibatkan pengadilan negeri terdekat. Dari segi legislatif, Papua memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Lembaga MRP, yang terdiri atas wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan selama ini lebih dikonotasikan sebagai lembaga adat. Namun, sebenarnya secara konseptual MRP merupakan ”parlemen lokal”. Dengan kata lain, Papua menerapkan sistem bikameral. Pada lembaga legislatifnya, selain ada perwakilan rakyat, ada pula semacam utusan golongan. Struktur parlemennya berbeda dengan yang ada di wilayah Indonesia pada umumnya.
Mengenai DIY, selama ini dunia mengakui daerah itu adalah kerajaan. Eksistensi DIY sudah ada sebelum negara ini merdeka. Kalau sekarang DIY menjadi salah satu provinsi di Indonesia, bisa dibilang, hal itu lebih karena DIY dengan sukarela bergabung dengan NKRI.
Tentang keistimewaannya memang masih banyak perdebatan. Karena itu, dalam diskusi panel Kompas muncul pendapat agar keistimewaan DIY dicerminkan antara lain dengan cara tidak menghilangkan peran Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam, baik dari segi pemerintahan maupun kebudayaan. Bahkan, dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengaturan keistimewaan DIY.
J Kristiadi dari Centre for Strategic and International Studies berpendapat, keistimewaan DIY sebaiknya diwujudkan dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan yang demokratis, tetapi tetap dilandasi pengembangan budaya keraton, baik Kesultanan maupun Paku Alaman. Di daerah itu bisa dikembangkan prinsip ”monarki konstitusional” yang penjabarannya antara lain pembentukan institusi monarki (kerajaan) dan institusi demokrasi yang menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Jimly bahkan secara ekstrem menganjurkan DIY diabadikan sebagai Kerajaan Yogyakarta. ”Enggak usah malu-malu. Itu kerajaan,” ujarnya. Ia mengingatkan, kita semestinya bangga dengan keanekaragaman Indonesia.
Mengenai pemerintahan, ungkap Jimly, Sultan dan Paku Alam posisinya seperti saat ini, sebagai gubernur dan wagub. ”Mereka menjadi simbol dan cukup ditetapkan satu kali untuk kepentingan administrasi negara. Jika mereka meninggal, penggantiannya bisa mengacu pada mekanisme internal keluarga atau diatur dalam UU. Setidak-tidaknya rambu-rambu itu untuk mencegah konflik dalam tubuh keluarga,” katanya.
DPR, ungkap Ida, sepakat menyatakan keistimewaan DIY terletak pada melekatnya jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada diri Sultan dan Paku Alam. ”Itu adalah aspirasi rakyat, sesuai dengan hasil dengar pendapat dengan berbagai kalangan masyarakat,” tekannya.
Penyeragaman
Kekhawatiran pemerintah untuk mengesahkan RUUK DIY bisa jadi karena pemerintah juga masih digelayuti konsep ”penyeragaman pemerintahan desa”. Pemerintahan daerah di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota seragam memiliki DPRD yang anggotanya dipilih rakyat, kecuali daerah khusus atau daerah istimewa seperti disebutkan dalam Pasal 18B UUD 1945. Kepala daerah dan wakil kepala daerah pun demikian. Belakangan ini mereka dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada.
Ringkasnya, bukan mustahil, pemerintah menginginkan supaya di DIY dilangsungkan pilkada secara langsung yang pengajuan calon kepala daerah dan wakil kepala daerahnya dilakukan seperti di daerah lain, melalui partai politik. Apabila keinginannya seperti itu, celakalah negeri yang mengagungkan UUD 1945 dan demokrasi ini.
Sebagaimana diingatkan Ryaas, demokrasi pada prinsipnya adalah keberpihakan kepada rakyat. Jika produk dari demokrasi tak menghasilkan pemimpin yang kuat komitmennya membela kepentingan rakyat atau kebijakannya menyimpang dari keinginan rakyat, sesungguhnya saat itu demokrasi melawan dirinya sendiri.
”Jangan kita terperangkap dalam dogma tentang pemilihan saja sebagai satu-satunya ukuran demokrasi. Apalagi, jika kita mengingat, demokrasi di negeri ini masih diselimuti budaya komunalisme. Masyarakat belum independen dalam memberikan hak suaranya,” katanya. Ia juga mencontohkan, pemberian suara dalam pemilu lebih banyak diwarnai kesamaan suku, agama, atau organisasi.
Hakim Agung Paulus Effendi Lotulung menambahkan, demokrasi harus mengingat pada nilai tradisional historis yang masih ada dalam ruang kehidupan masyarakat. Dengan demikian, nilai demokrasi itu harus bersinergi dengan nilai historis dan tradisional yang masih berlaku dan hidup dalam masyarakat
Jadi, mengapa mesti ragu mengesahkan RUUK DIY. Rakyat Yogyakarta sudah sangat mendambakannya dan berharap Sultan dan Paku Alam tetap dikukuhkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Jangan mengabaikan suara rakyat yang selama ini sudah bergemuruh.

Oleh FANDRI YUNIARTI

Opini KOmpas 19 Januari 2010