Istilah biodiversitas atau biological diversity menembusi zona diskusi ilmiah-politik dan ruang publik sejak tahun 1980-an. Gebrakan ini cukup kuat dipengaruhi oleh ahli biologi Amerika Serikat, Edward Osborne Wilson, dengan karyanya Biodiversity and Diversity of life. Konferensi tingkat tinggi iklim sedunia di Rio de Janeiro tahun 1992 juga menyepakati perlindungan keanekaragaman hayati (convention on biological diverstiy/CBD). Salah satu kesepakatan penting Konferensi Rio ini ditandatangani oleh 167 negara, diratifikasi oleh 30 negara, dan mulai berlaku secara resmi sejak tanggal 29 Desember 1993. Kelak ditetapkan tanggal 22 Mei sebagai Hari Biodiversitas Internasional.
Biodiversitas pada prinsipnya berkaitan dengan keseluruhan hidup dan keanekaragamannya dalam segala bentuknya di planet ini. Yang dimaksudkan adalah keragaman semua organisme hidup dengan hewan, tumbuhan, mikro-organisme (bakteri, virus, jamur), juga keanekaragaman genetis intern setiap jenis dan perbedaan lingkup hidup (ekosistem dan biosfer).
Sejak Aristoteles (384-322 SM), proses kategorisasi dunia flora dan fauna telah dimulai. Menariknya, para ilmuwan mengetahui lebih banyak tentang jumlah bintang di galaksi ketimbang jenis hewan dan tumbuhan di Bumi.
Memang hingga kini belum diketahui secara pasti berapa banyak makhluk hidup yang ada di Bumi ini; diperkirakan sekitar 15 miliar jenis. Yang telah diklasifikasi oleh taksonom sekitar 1,8 miliar dan dari hasil itu sekitar 40.000 jenis yang terancam punah serta 150 jenis yang punah setiap hari. Kisah sedih ini berjalan kontinu. Lebih dari 70 persen aneka ragam hayati berhabitat di negara-negara tropis dan subtropis.
Salah satu ancaman kolosal terhadap kelanggengan biodiversitas adalah kehilangan ruang hidup. Lingkup hidup yang harmonis bukan hanya berubah secara drastis, tetapi begitu gigantis dirusakkan oleh pemanasan global, pencemaran, kontaminasi, pemupukan dengan dosis tinggi, pembasmian hutan, penangkapan ikan dan berburu secara liar, eksploitasi sumber-sumber alam secara serakah dan struggle of life antarspesies.
Laju perusakan lingkungan hidup yang kian gencar terjadi di negara-negara industri baru dan negara-negara berkembang yang dipacu oleh politik pembangunan dengan sasaran mengejar ketertinggalan. Di sini saya tergoda untuk mengutip Aristoteles: ”Banyak ketidakadilan besar dilakukan oleh pihak yang secara serakah mengatasi ketertinggalan, bukan berasal dari mereka yang didorong oleh kemiskinan.”
Bapak biodiversitas, EO Wilson, beragumentasi bahwa ”dengan merusak lingkungan, pada prinsipnya manusia sedang mempersiapkan kematian massal”. Yang memegang tanggung jawab untuk cerita sedih ini adalah Homo sapiens. Segalanya ada di tangan manusia, entah kita menjaga atau manghancurkan biodiversitas.
Hidup manusia tak bisa dipisahkan dari keragaman alam. Dari alam kita mendapat makanan, minuman, tempat berlindung, obat-obatan, oksigen, dan seterusnya. Biodiversitas dengan ini sangat eksistensial. Keanekaragaman hayati merupakan asuransi hidup dalam dunia yang selalu berubah. Untuk itu, perlu dijaga bukan saja keberlangsungan, tetapi juga keseimbangan hidup segala spesies. Jika satu spesies punah, spesies yang lainnya juga terancam raib.
Alam ini begitu kaya, tetapi kekayaan itu perlu dimanfaatkan secara bertanggung jawab. Dalam konteks ini, CBD mengimbau kebijakan politik praktis dan kerja sama internasional di bidang finansial dan teknologi demi melestarikan lingkungan hidup.
Tahun Biodiversitas merupakan kesempatan emas bagi kita untuk merenungkan kembali apa yang telah kita lakukan dalam rangka langgengnya biodiversitas, di mana letak tantangan masa depan dan di mana serta bagaimana kita seharusnya bertindak. Tahun Biodiversitas juga mengingatkan kita terhadap kiat sustainable development dan mengeliminasi gaya hidup konsumtif-parasit serentak mengajak kita untuk berpikir regeneratif.
Slogan lama yang diuar-uarkan oleh TVRI dengan sasaran pelestarian lingkungan hidup semasa Kabinet Pembangunan kembali terasa relevan: ”Dunia ini bukanlah milik kita, tetapi pinjaman generasi mendatang”.
Penulis Swiss, Friedrich Duerrenmatt, menulis: ”Was die Zukunft bringt, wissen wir nicht, aber dass wir handeln muessen, wissen wir” (Kita tidak tahu apa yang dibawa masa depan, tetapi kita tahu bahwa kita harus bertindak).
Opini Kompas 19 Januari 2010