18 Januari 2011

» Home » Okezone » Opini » Kepastian

Kepastian

BAYANGKAN bila di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) ada sistem monorel atau kereta api yang nyaman. Angkutan massal yang mampu menghubungkan setiap titik perumahan, perkantoran, mal, pelabuhan, bandara, dan tempat-tempat hiburan, seperti Taman Mini, Ancol, atau tempat hiburan keluarga lainnya.

Orang pasti akan meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum. Pemerintah tak perlu membuat aturan pembatasan mobil yang bisa melintas di Jabodetabek. Kemacetan lalu lintas pun tak akan terjadi lagi di Jabodetabek. Pemerintah juga tidak perlu pusing menentukan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi lantaran jika transportasi umum nyaman, aman, serta tepat waktu, semua golongan masyarakat pasti akan naik monorel atau kereta api.

Hidup di salah satu titik di Jabodetabek memang penuh ketidakpastian mengatur jadwal pergi dan pulang dari satu sudut kota ke sudut kota yang lain. Semakin hari jalan-jalan di Jabodetabek semakin macet. Dari Jatisari, Bekasi, tempat penulis tinggal, ke kantor LIPI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, tiap pagi penulis menghabiskan waktu 2–3,5 jam! Pulang kantor juga memakan waktu yang sama. Benar-benar tidak efisien, buang waktu, uang, dan bahan bakar.

Untuk mengatasi kemacetan Jakarta, Pemerintah DKI Jakarta bukannya membangun sistem mass rapid transit (MRT) yang nyaman, berpendingin ruangan, cepat, murah, dan aman; justru membangun jalan penghubung baru seperti di Casablanca dan Blok M–Jalan Pangeran Antasari yang justru menambah kemacetan lalu lintas. Sistem busway yang dibangun juga tidak banyak membantu terangkutnya manusia yang tinggal di Jabodetabek secara cepat karena segalanya juga penuh dengan ketidakpastian.

Kita tidak belajar dari Singapura yang membangun sistem MRT puluhan tahun, dari akhir 1980-an atau tepatnya 1989. Pemerintah Singapura hingga 2016 masih terus membangun MRT agar semua sudut kota Singapura dapat dilalui kereta api. Semua penuh dengan kepastian, sementara DKI Jakarta hingga kini belum juga membangun monorel yang tiang-tiangnya masih teronggok karatan di bilangan Kuningan dan belakang Gedung DPR/MPR/DPD.

Kota Bangkok yang dulu macetnya lebih gila dari Jakarta, saat ini juga semakin nyaman sejak monorel berfungsi di kota itu. Hal yang sama terjadi di Kuala Lumpur. Kita juga bisa belajar dari Jepang, penghasil mobil terbesar di dunia yang hampir setiap sudut kotanya dihubungkan oleh jalur kereta api. Semua ada kepastian!

Penuh Ketidakpastian

Kita di Indonesia hidup di dalam ketidakpastian, baik soal transportasi umum, urusan pembuatan kartu identitas diri nasional (KTP) ataupun internasional (paspor). Bayangkan, bagaimana mungkin seorang yang berada di dalam tahanan dapat pelesiran ke luar negeri dengan paspor asli tapi palsu. Bayangkan pula betapa tidak pastinya penegakan hukum di negeri ini. Contoh yang paling konkret adalah dua kasus megaskandal Bank Century dan penipuan pajak kasus Gayus Halomoan P Tambunan.

Aneh tapi nyata, kasus hukum yang harusnya dapat diselesaikan di pengadilan secara cepat sampai-sampai harus membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat sidang kabinet khusus terkait kasus Gayus Tambunan, kemarin, untuk menyelesaikan hal itu. Ketidakpastian penegakan hukum itu disinyalir oleh sebagian kalangan DPR sendiri terkait dengan politisasi kedua kasus tersebut.

Anehnya pula, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN, yang juga Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana, yang berupaya mengungkap tabir kepergian Gayus ke Bali, malah dipersoalkan oleh kuasa hukum istri Gayus akibat berkomunikasi lewat BlackBerry Messenger (BBM) dengan istri Gayus. Tidak ada kepastian apakah orang miskin akan mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah.

Tidak ada kepastian apakah orang-orang miskin dapat mengirimkan anaknya kuliah di universitas-universitas negeri ternama di negeri ini. Harus diakui, di era Orde Baru, terlepas dari banyak kebobrokan politik yang dilakukan rezim itu, masih ada kepastian bagi penduduk negeri ini dalam hal pemenuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Negeri ini memang negeri acakadut! Satu hal yang pasti di negeri ini ialah segalanya dapat dipolitisasi! Petani dan nelayan dipolitisasi, kasus hukum dipolitisasi. Harga cabai rawit yang membubung tinggi dipolitisasi.

Sementara itu para anggota DPR juga tengah bersiap-siap menikmati gedung baru yang memiliki kolam renang, spa, dan segala yang membuat nyaman para anggota Dewan, tapi tidak memedulikan sistem perpustakaan Dewan yang menunjang kinerja para staf ahli dan anggota Dewan. Setahu penulis, ketika Australia membangun gedung parlemen yang baru pada 1980-an, tidak ada pemikiran untuk membangun kolam renang atau spa atau tempat pijat buat para wakil rakyat dan senat Australia!

Yang mereka pikirkan adalah bagaimana Hanzard yang berisi risalah sidang parlemen dapat dibukukan secara apik dan informatif, bagaimana rakyat dapat menonton sidang-sidang parlemen secara nyaman. Negeri ini memang negeri yang pemerintahnya banyak memberi janji-janji, tapi sulit untuk menjadi kenyataan. Tidak ada kepastian kapan janji-janji itu dapat direalisasikan.

Ketika para pemuka agama mencanangkan Tahun 2011 sebagai tahun melawan kebohongan dan ada 18 kebohongan publik yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-Boediono, jajaran pemerintah berusaha mati-matian untuk membantahnya, bukan berupaya untuk menjadikan janji-janji itu menjadi kenyataan. Lagi-lagi, Presiden, para pembantunya, dan para staf khususnya sibuk menepis adanya pembohongan publik itu.

Di sini politik lebih ditonjolkan ketimbang bahu-membahu antara partai-partai koalisi untuk menjadikan 15 program kabinet menjadi kenyataan. Ketika para pemuka agama angkat bicara, pemerintah pun meradang! Entah kapan akan ada kepastian dalam hal apa pun di negeri ini!? (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Opini Okezone 18 Januari 2011