18 Januari 2011

» Home » Okezone » Opini » Penguasa Batu

Penguasa Batu

Belakangan kita diminta mengonsumsi kisah-kisah ajaib sebuah negeri yang isinya tak lain mempermalukan dirinya sendiri. Bukan hanya kisah-kisah “rutin” seperti pembalakan, terorisme, vandalisme, dan kekerasan dari fatalisme agama, perselingkuhan pejabat dan pengusaha.

Atau begitu hebatnya Nurdin Halid mengeksploitasi PSSI untuk kepentingan pribadi hingga membuat menteri, presiden, bahkan jutaan rakyat penggemar bola tak berdaya. Namun di saat yang sama, sang Ketua Umum PSSI secara menggelikan tunduk pada perintah seseorang yang tak ada urusannya dengan olahraga, juga pemerintahan. Begitu pun roman kriminal tentang Gayus HP Tambunan alias Sony Laksono yang memerdaya semua kekuatan hukum—dalam arti lain yang dieksploitasi oleh mafia penguasa hukum—hingga membuat publik jadi pembaca atau penonton yang terkagum-kagum dan sepantasnya memberikan standing ovation.

Belum lagi ketetapan DPR untuk tetap membangun gedung baru—plus kolam renang—seharga Rp1 triliun hanya untuk fasilitas staf ahli, membuat rakyat pemilih mereka terbahak-bahak seperti menyaksikan akting pandir dan kopeg-nya almarhum Gepeng di panggung Senayan. Berbagai berita lain semacam itu seperti memberi tahu kita (baca: publik), penguasa adalah semacam sekumpulan alien atau setidaknya segerombolan penikmat kekayaan rakyat—jika bukan perampas kesejahteraan masyarakat—yang kini bekerja untuk mengalienasi masyarakat dan mengasingkan dirinya sendiri ke menara-menara gading kekuasaan.

Maka, segala berita panas yang muncul di berbagai headline media massa belakangan ini, terutama yang menyangkut pemerintah dan penguasa, apa pun isi dan bentuknya, kini terasa menjadi teror atau momok yang menakutkan pembacanya. Dengan semua berita itu rakyat justru merasakan frustrasi yang kian dalam, keprihatinan yang kian kelam, juga harapan yang makin muram. Bahkan berita sukses sekalipun, ia justru kian meneror rasa keadilan, menghancurkan semua citra ideal yang pernah kita miliki pada sebuah pemerintahan.

Karena sukses itu bukan hanya permainan di kepala dan hati para penguasa saja,tapi ia juga berbanding terbalik dengan kenyataan yang harus dihadapi rakyat seharihari. Kenyataan di mana pekerjaan dan rezeki kian sulit dicari, hargaharga terus melambung tinggi,kriminalitas kian mengiriskan hati, fasilitas dan pelayanan sosial tidak peduli, dan tekanan hidup makin tak tertahan lagi. Berita baik itu justru, apalagi yang negatif tentu, telah mengoyak kesadaran, keadaban hingga kemampuan imajinatif publik.

Karena berulang kali kriminalitas dan nafsu kotor penguasa bukan hanya menghina harga diri dan martabat mereka sebagai manusia, tapi juga menganiaya kebutuhan dan harapan paling dasar publik, pihak yang secara konstitusional justru harus dilayaninya. Mungkin pemerintah atau penguasa— sebagian—tahu tentang itu.

Tapi mereka tidak peduli. Mereka membiarkan karena bisa jadi merasa tak berdaya, merasa telah terpenjara oleh sistem dan kultur busuknya, atau berakting seakan tak mengerti, dan seterusnya. Kondisi psikologis yang membuat hampir semua usaha mereka, para eksponen yang berjuang untuk harga diri masyarakat, seperti membentur tembok. Karena memang kekuasaan sudah menjadi dinding batu. Penguasa telah menjadi batu, bukan hanya akal dan hatinya saja, tapi hingga naluri-naluri paling purbanya.

Kekuasaan yang Mengelabui

Dalam situasi adab kuasa yang seperti itu, kearifan sejarah, akal, dan tradisi mengajari kita: batu hanya bisa berhadapan dengan palu agar ia dapat berubah. Kalah menjadi abu, menang jadi arang. Kekerasan fisik dalam konflik pun menjadi pilihan tak terhindar untuk mendapat kebaikan yang esensial. Atau pilihan kedua: keras batu hanya bisa lunak karena air dan waktu. Dengan satu aliran kebijakan yang lembut, yang cair dan penuh kesabaran seperti air—biarpun hanya berupa tetesan—cadasnya batu pun akan menjadi empuk bahkan hancur, dalam waktu.

Tapi keduanya bukan pilihan yang menarik. Kekerasan hanya membuat rakyat kecil menjadi korban. Sementara hidup dan dunia tak memiliki waktu cukup untuk itu. Waktu sendiri saat ini tengah bergegas di jalan raya mengejar dirinya sendiri. Tiada kesabaran karena himpitan hidup dan frustrasi sudah naik ke ulu hati, ke batas nafas kita. Situasi hidup sudah terasa selalu mendesak, sementara manusia sudah letih dengan kekerasan. Tapi batu justru kian mengeras di situ, di puncak kekuasaan itu.

Penguasa semacam itu akan lebih memedulikan (kekuasaan) dirinya sendiri ketimbang kesejahteraan rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawab konstitusionalnya. Kecenderungan bertahan yang Machiavelian menjadi ciri pada mayoritas kekuasaan di atas muka bumi ini. Tidak hanya menciptakan dominasi di semua lini kehidupan, menekan kekuatan-kekuatan pesaing, tapi juga melakukan kampanye yang membius kesadaran dan daya kritis publik.

Kampanye seperti ini bukan hanya dengan menyodorkan sukses-sukses parsial yang telah dihasilkannya, menutup kelemahan dan kekurangan, namun juga perlu memanipulasi, mengelabui atau membohongi publik agar rasa aman artifisial tercipta dan resistensi diminimalkan. Cara yang paling ampuh untuk melakukan hal tersebut,antara lain,dengan mengajukan data-data statistik. Data yang tentu saja, bagaimanapun, menyimpan kontroversi di dalamnya, seadekuat apa pun.

Bukan hanya karena semua data menyimpang error sekecil apa pun, mendapatkan bias dari metode dan pendekatan, tapi juga data material tidak akan pernah mampu membaca keseluruhan realitas hidup dan masyarakat yang ada. Data atau fakta,sekuat apa pun, tetap tidak akan memenuhi kebenaran. Unsur-unsur manipulatif dapat dengan mudah menginfiltrasi proses dan hasilnya. Di sinilah artifisialisasi hingga pengelabuan dan manipulasi potensi dari semua data empirik yang ditujukan untuk membaca realitas sosial dan manusia pada khususnya.

Di sinilah kebohongan dapat terjadi, ketika data digunakan untuk menutupi janji yang tak terpenuhi atau dijadikan arsenal untuk memindahkan fokus perhatian publik dari realitas lain yang justru bertentangan dengan data-data tersebut. Bila kemudian ketidakpercayaan mulai muncul pada eksposisi statistik tersebut, hal itu merupakan kelumrahan. Seperti yang dikatakan filosof Inggris George Bernard Shaw, dia menjadi semacam “hukuman” bagi kebohongan itu sendiri.

“Hukuman bagi pembohong bukan sebab ia tidak dipercaya, tapi lebih karena ia tidak dapat memercayai orang lain,” demikian pemikir yang juga meraih Nobel Sastra itu. Hubungan yang sudah tidak lagi dilandasi oleh ketidakpercayaan di antara kedua pihak, yang diperintah dan yang memerintah dalam hal ini, menjadi awal dari hancurnya komunikasi dan pada akhirnya menjadi konflik yang melumatkan hubungan di antara keduanya. Ini sesungguhnya yang tidak diinginkan. Oleh siapa pun.

Hadirnya Seorang Negarawan

Keretakan hubungan antara pemerintah dan rakyat, dalam sejarah peradaban manusia, akan membuat pihak pertama semakin keras. Batu pun menjadi cadas. Rakyat yang tak berdaya, karena represi keras dari batu cadas, biasanya hanya menunggu untuk pada saatnya batu itu rapuh karena waktu. Bangsa kita memiliki pengalaman untuk itu. Menunggu 300 tahun untuk menentang pemerintah kolonial dan menunggu 30 tahun untuk melawan pemerintahan modern Orde Baru.

Tentu saja, dengan kesadaran yang meningkat akibat pendidikan dan keleluasaan akses informasi akibat kemajuan teknologi, waktu itu kini semakin pendek. Kekecewaan karena dusta publik itu tidak perlu waktu lama untuk menjadi kemarahan yang ditandai oleh hilangnya kepercayaan. Sebuah inti dari ekses kebohongan penguasa sebagaimana yang dinyatakan Friedrich Nietzche,“Aku tidak kecewa bukan karena kau berbohong padaku, tapi aku kecewa karena aku tidak lagi memercayaimu.”

Kekecewaan Nietzsche ini mengiriskan karena ia menjadi alasan yang kuat untuk pecahnya sebuah hubungan, yang mungkin sebelumnya sangat baik. Ia menjadi sebuah refleksi dari kekuasaan yang terancam ditinggalkan oleh pendukung yang sebelumnya mayoritas.Batu (baca: pemerintah) harus menyadari diri pada akhirnya ia adalah manusia, makhluk yang dapat menyadari kenyataannya sendiri, mengubah diri, dan berbuat untuk memperbaiki diri.

Cara pemerintah mengelak atau menolak tuduhan kebohongan–– seperti yang dilakukan para menteri belakangan—secara psikologis hanyalah sebentuk defends mechanismyang pada titik tertentu dapat bersifat neurotik atau paranoid. Pembelaan mungkin perlu, tapi terasa melodramatik untuk krisis yang sudah di urat leher. Kerja dan hasil yang nyata adalah jawaban yang lebih tepat untuk tuduhantuduhan semacam itu.Pemerintah harus mampu meng-”atas”-i retorika para pengkritik atau oposan untuk bisa fokus pada obligasi utamanya menyejahterakan rakyat.

Dan hal yang lebih penting lagi, seorang kepala pemerintahan–– yang di sini juga adalah kepala negara—tidak semestinya bermain dalam retorika teknis tentang ukuran keberhasilan dan kebohongan. Ia sebaiknya bicara satu tingkat di atas ukuran dan kepentingan sektoral. Di tingkat yang lebih abstrak, dalam soal moralitas atau visi kebangsaan. Membicarakan kebohongan dan dalam bentuk lebih parah kemunafikan sesungguhnya adalah membicarakan masalah bangsa ini secara keseluruhan.

Presiden sudah selayaknya berdiri di atas semua dengan menyampaikan pesan pada hati nurani dan kesadaran terdalam semua stakeholder negeri ini. Alangkah menggembirakan jika ia bisa menunjukkan personal position-nya sebagai negarawan,bukan sekadar penyitir atau peniru normatif dari para pendahulunya, untuk menegaskan sendiri visi kebudayaan dan posisi historisnya.Menunjukkan dirinya sendiri.

Di titik itu, pesan yang ia sampaikan akan mampu menembus ruang dan waktu. Batu dalam dirinya menjadi cair, mencipta gelombang yang membawa bahtera negerinya ke tujuan. Hubungan baru terjalin ketika rakyat merasa didengar, dilihat, dan dirasakan segala perih hidupnya.Sebuah kekuatan baru adalah janji dari situasi cair ini. Sebuah posisi tersendiri, tentu saja, akan tersedia dalam sejarah kenegarawanan negeri ini, bahkan dunia. Jika kita berhasil memiliki pemimpin seperti itu.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan

OPini Okezone 17 Januari 2011