18 Januari 2011

» Home » Okezone » Opini » Krisis Global dan Cacat Bawaan Kapitalisme

Krisis Global dan Cacat Bawaan Kapitalisme

Sejak runtuhnya ke khilafahan Islam terakhir di Turki pada 1924, tatanan kehidupan manusia di dunia hampir semuanya dikelola berdasarkan pada sistem kapitalisme atau sosialisme/komunisme.

Kemudian, berbarengan dengan ambruknya negara adidaya Uni Soviet dan imperium blok Timur pada medio 1980-an, komunisme boleh dikatakan telah ”mati”, tidak ada lagi penganutnya. Kapitalisme memang telah membuat pemeluknya, terutama bangsa-bangsa Barat dan Jepang, menjadi maju dan makmur serta unggul hampir di setiap bidang kehidupan material, khususnya iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), ekonomi, informasi, dan pertahanan. Dengan kemajuan iptek yang berkembang pesat sejak Revolusi Industri pada 1753, kehidupan material manusia semakin mudah dan nyaman. Sejak 1950 hingga 2003, ekonomi dunia tumbuh secara fenomenal sebesar tujuh kali lipat (Brown, 2003).

Namun,sejak awal 1990-an jumlah orang yang kekurangan gizi, kelaparan,dan miskin semakin bertambah. Pada 2009 jumlah warga dunia yang menderita kelaparan tidak kurang dari 1 miliar jiwa (FAO, 2009) dan yang miskin absolut (pendapatan lebih kecil dari USD1/hari) mencapai 3,5 miliar jiwa atau lebih dari separuh penduduk dunia (Bank Dunia, 2009).Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dalam suatu negara maupun antar negara kian melebar. Contohnya negara-negara industri maju (G-8) yang penduduknya hanya 14 persen dari total penduduk dunia menguasai sekira 50 persen dari total investasi dan perdagangan dunia (UNDP dan ILO, 2004). Dan, tiga orang terkaya di dunia memiliki kekayaan sebesar yang dimiliki oleh 48 negara termiskin di dunia (Sach, 2007).

Kapitalisme dengan segenap variannya termasuk neoliberalisme juga telah mengakibatkan instabilitas ekonomi dunia yang tercermin pada tingkat inflasi yang tinggi; volatilitas pasar mata uang, komoditas, dan saham; dan defisit anggaran serta neraca perdagangan. Selain itu, sejak the Great Depression 1930 kapitalisme juga tak bisa lepas dari badai krisis ekonomi baik yang berskala nasional, regional, maupun global. Krisis ekonomi global kontemporer yang dipicu oleh skandal kredit macet sektor properti dan krisis keuangan di AS pada awal 2008 sampai sekarang belum pulih sempurna. Di negeri Paman Sam, pertumbuhan ekonomi masih sangat lamban, angka pengangguran masih tinggi, defisit anggaran dan neraca perdagangan terus membengkak, dan utang telah mencapai USD12 triliun atau 82,7 persen dari nilai PDB-nya (USD14,5 triliun).

Di zona Eropa, pada 2008-2010, Belgia, Islandia, dan Yunani mengalami kebangkrutan ekonomi sehingga harus diberi dana talangan oleh Uni Eropa dan IMF, akhir tahun lalu Irlandia merasakan nasib yang sama. Mengingat utang Portugal, Spanyol, Prancis, dan Jerman telah mencapai 80 persen dari PDB-nya, kalau tidak ada jurus penyelamatan yang jitu, keempat negara ini pun diprediksikan bakal dilanda badai krisis ekonomi serupa. Rasio utang terhadap PDB yang aman bagi suatu negara sekira 30 persen (Bank Dunia, 2000). Jepang juga tidak kalah mencekamnya dibandingkan dengan AS dan negara-negara Eropa tersebut. Ironisnya, terapi yang dilakukan masyarakat dunia sejauh ini baru menyentuh gejala dari krisis ekonomi, belum mengobati penyebab penyakit yang sesungguhnya.

Paket terapi itu mencakup bailout bagi korporasi yang bangkrut, stimulus fiskal dan moneter, regulasi sektor keuangan yang lebih ketat, dan penguatan pasar domestik.Paket terapi untuk mengobati resesi ekonomi global sekarang serupa dengan apa yang dilakukan dalam mengatasi the Great Depression 1930. Memang intervensi pemerintah model Keynes kala itu berhasil meredam Depresi Besar 1930. Namun, sejak 1960 masyarakat dunia tak pernah bisa tidur lelap akibat krisis ekonomi yang terus berulang seperti yang terjadi pada 1970, 1980, 1990, 1998, dan 2001 (Davies and Davies,2002).

Akar Permasalahan

Dengan demikian, krisis ekonomi global sejatinya berakar pada cacat bawaan dari sistem kapitalisme itu sendiri bukan karena kesalahan implementasi semata. Sedikitnya ada empat kelemahan paradigmatik yang membuat ekonomi kapitalis identik dengan krisis. Pertama, tujuan kapitalisme yang bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia, melainkan juga untuk memuaskan nafsu manusia (kebutuhan sekunder). Lain halnya dengan kebutuhan dasar,nafsu manusia yang tidak dilandasi dengan nilai-nilai spiritual sifatnya menjadi tak terbatas.

Padahal, kapasitas bumi dan teknologi dalam menyediakan sejumlah alat pemuas kebutuhan dan nafsu manusia berupa SDA (sumber daya alam) beserta segenap produk turunannya berbeda di setiap negara dan ada batasnya. Di sinilah kapitalisme terkena batu sandungan pertama karena memandang kelangkaan alat pemuas kebutuhan dan nafsu manusia sebagai masalah pokok ekonomi. Padahal, masalah sebenarnya terletak pada distribusi alat pemuas tersebut di antara umat manusia yang selama ini jauh dari keadilan.Kekayaan juga dianggapnya sebagai milik mutlak manusia, bukan titipan Allah pencipta dan pemilik mutlak alam semesta sehingga hanya mengedepankan survival of the fittest.

Kedua, kehidupan neoliberalisme digerakkan secara dominan oleh ekonomi berbasis sektor keuangan/ sektor maya, bukan sektor riil. Sejak bergeloranya globalisasi di awal 1990-an,sektor moneter melesat secara dramatis meninggalkan sektor riil. Pada 2007, transaksi sektor maya mencapai 95 persen dari total perdagangan dunia. Volume transaksi maya yang terjadi di pasar uang dunia mencapai USD1,5 triliun/hari, sementara perdagangan barang dan komoditas hanya USD6 triliun/tahun (IMF, 2008). Fenomena terputusnya dinamika sektor moneter dari sektor riil itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulatif dan sarat penipuan di sektor finansial sehingga mengakibatkan ekonomi dunia bagaikan balon, a bubble economy.

Keterputusan antara sektor moneter dan sektor riil itulah yang membuat ekonomi dunia selalu dihantui oleh krisis. Para pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk investasi di sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang dan transaksi maya lainnya guna meraup keuntungan sebesar-besarnya. Ulah spekulatif ini setiap saat dapat mengguncang ekonomi suatu negara. Lebih dari itu, spekulasi tersebut menyebabkan jumlah uang yang beredar jauh lebih besar ketimbang jumlah barang dan jasa yang diproduksi sektor riil suatu negara, yang acapkali berujung pada inflasi. Ketiga, dalam buaian ekonomi berbasis sektor maya, kapitalisme tak mungkin lepas dari praktik bunga/riba.

Padahal, perbedaan tingkat suku bunga yang besar antarnegara itulah yang membuat para pialang keuangan dengan seenaknya mengeruk keuntungan melalui investasi hot money. Aliran uang panas dari satu negara ke negara lain dalam jumlah yang luar biasa besarnya dan berlangsung sangat cepat menjadi biang kerok terjadi kepanikan finansial yang acapkali berujung pada krisis ekonomi. Bagi negara berkembang yang fundamental ekonominya belum kuat, seperti Indonesia, praktik riba ini juga bisa menjerumuskannya ke jurang keterpurukan dan kemiskinan permanen di bawah hegemoni pihak asing.

Keempat, sistem ekonomi kapitalis yang berbasis pada uang kertas (fiat money) memiliki kelemahan fundamental yakni selalu terkena inflasi permanen. Nilai uang sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan nilainya pada waktu yang akan datang. Artinya, uang kertas mengalami depresiasi akibat inflasi permanen. Lebih dari itu,uang kertas juga jauh dari nilai keadilan lantaran nilai intrinsiknya jauh lebih kecil ketimbang nilai nominalnya.

Krisis Ekologi dan Sosial

Falsafah kapitalisme yang menafikan eksistensi Tuhan dan kehidupan akhirat membuat gaya hidup dan perilaku ekonomi kapitalis sangat konsumtif dan hedonis. Untuk mendukung pola kehidupan semacam ini diperlukan produksi pangan, sandang, obat-obatan, bahan tambang, mineral, dan barang serta jasa lainnya dalam jumlah besar dan terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk.

Keseluruhan proses produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan nafsu manusia ini telah memacu laju overeksploitasi SDA dan kerusakan lingkungan di mana-mana. Secara global,total laju pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan sebenarnya pertama kali melebihi daya dukung lingkungan bumi terjadi pada 1980. Kemudian, pada 1999 daya dukung bumi tersebut terlampaui sebesar 20% (U.S. National Academy of Sciences,2002). Akibatnya, pemanasan global dengan sejumlah dampak negatifnya telah mengancam keberlanjutan pembangunan ekonomi, bahkan kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri.

Selanjutnya, di negara yang daya dukung lingkungannya telah terlampaui,yang sejak akhir 1980- an dialami oleh sebagian besar negara-negara maju, biaya hidup dan ongkos untuk memproduksi barang dan jasa menjadi lebih mahal.Pasalnya,untuk memenuhi keperluan tersebut, bahan baku (raw materials) harus diimpor dari negara lain. AS, Uni Eropa, dan Jepang sejak tiga dekade terakhir mengimpor sekitar 75 persen dari total kebutuhan bahan baku untuk menggerakkan industri domestiknya (Bank Dunia,2008).Di samping itu, limbah sebagai hasil samping aktivitas pembangunannya juga tak bisa lagi dibuang di dalam negeri sehingga harus diekspor ke negara lain, yang membutuhkan biaya besar.

Kegagalan dan ketidakadilan ekonomi serta kerusakan lingkungan dari sistem kapitalisme di atas telah mengakibatkan kehidupan sosial manusia, baik di negara-negara maju maupun berkembang, menderita dan dilanda beragam penyakit sosial yang semakin kompleks dan dahsyat seperti kecanduan alkohol dan narkoba, tingkat perceraian tinggi, pemerkosaan, penyakit HIV/AIDS, frustrasi, kegersangan rohani, perampokan, menjual anak kandung, bunuh diri, dan terorisme.

Jalan Baru

Dengan demikian, kini saatnya kita mengembangkan sistem ekonomi baru berbasis sektor riil yang mampu menyediakan kebutuhan dasar dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia secara adil dan berkelanjutan. Dari tahap perencanaan hingga implementasi,pembangunan sektor ekonomi riil itu mesti menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Antara lain meliputi: penataan ruang wilayah, pemanfaatan sumber daya terbarukan secara optimal dan lestari, penerapan teknologi produksi dan manufaktur ramah lingkungan, pengembangan dan penggunaan energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil, pengendalian pencemaran, konservasi biodiversity, dan mitigasi serta adaptasi bencana alam. Dengan kata lain, laju pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan mesti dirancang agar tidak melebihi daya dukung bumi untuk menyediakannya. Untuk dapat memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan, setiap negara selain harus mengendalikan jumlah penduduk, juga mesti mengubah gaya hidup (lifestyle) warganya yang selama ini konsumtif, rakus, dan serbamateri menjadi lebih hemat SDA, senang berbagi kelebihan kepada sesama (care and share), dan meraih kebahagiaan melalui pencapaian materi (dunia) dan spiritual (akhirat) secara seimbang.

Kalau ada negara yang sudah menerapkan kaidah ini, lalu masih tetap kekurangan SDA, komoditas, barang, dan jasa; di sinilah sistem hubungan perdagangan antarnegara (globalisasi) harus berperan secara adil. Jadi, globalisasi mesti dimaknai sebagai upaya kolektif masyarakat dunia dalam mengembangkan perdagangan SDA, barang, komoditas, dan jasa antarbangsa secara adil dan saling menguntungkan. Selanjutnya, jumlah uang yang dicetak sektor moneter mesti seimbang dengan jumlah keseluruhan barang dan jasa yang dapat diproduksi sektor riil suatu negara.

Selain itu,sektor keuangan juga sesuai fungsi utamanya harus didorong untuk membiayai sektor riil, bukan sektor maya. Aset ekonomi produktif (modal, teknologi, infrastruktur,pasar,dan informasi) harus mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya rakyat kecil. Sistem perbankan konvensional berbasis bunga seyogianya secara gradual kita ganti dengan sistem berbasis cost and profit sharing, berbagi risiko, dan keuntungan secara adil. Akhirnya, uang hanya boleh digunakan sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan.

Mari kita tinggalkan sistem uang kertas seperti sistem Bretton Woods dan kembali ke mata uang emas dan perak atau setidaknya uang kertas yang ditopang oleh logam mulia.(*)

Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS
Ketua Bidang Kemaritiman Persatuan Insinyur Indonesia

OPini Okezone 10 Januari 2011