18 Januari 2011

» Home » Kompas » Opini » Satu Tahun ACFTA

Satu Tahun ACFTA

Jika terhitung sejak awal penerapannya, maka Januari 2011 ini usia Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) telah genap satu tahun. 
Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik belum lama melansir keadaan terakhir neraca perdagangan Indonesia dengan China periode Januari- November 2010.
Dari data tersebut didapat bahwa ekspor Indonesia ke China telah meningkat dari 12,4 miliar dollar AS menjadi 17,7 miliar dollar AS. Sisi positif lainnya juga dikatakan bahwa ekspor didominasi oleh produk industri, bukan bahan mentah. Sayangnya, neraca perdagangan total tetap tak bisa bohong bahwa defisit neraca perdagangan Indonesia-China pada periode yang sama mencapai 5,3 miliar dollar AS, meningkat 1 miliar dollar AS dibanding tahun sebelumnya.
Hal ini tentunya menjawab kekhawatiran berbagai khalayak terhadap dampak berlakunya ACFTA. Apalagi China kini menjadi tujuan ekspor nomor dua menggeser posisi Amerika Seri- kat. Keadaan ini juga mengubah kerangka ketergantungan ekspor Indonesia dari Amerika Serikat ke China.
Melepas ketergantungan
Nilai strategis Indonesia dalam konteks ekonomi belakangan mencuat. Ketahanan usaha sektor informal Indonesia yang masih kuat menjadikan negara ini tidak rentan terhadap potensi krisis finansial berskala global sehingga pasarnya masih mampu menyerap produk-produk industri. Yang terpenting, berbagai pemberitaan internasional belakangan turut memersepsikan Indonesia sebagai negara dengan potensi pasar menggiurkan.
Dalam keadaan seperti ini, jika kapasitas negara tidak segera berlari mengejar persepsi internasional yang berkembang, ketergantungan terhadap negara lain akan membayangi prospek ekonomi kita. Keohane dan Nye (1989) berpendapat dalam teori interdependensi bahwa negara yang bergantung lebih kepada pihak lainnya akan semakin rentan mempertahankan independensinya. Akhirnya negara hanya mengikuti yang dikehendaki mitra-(dagang)-nya (Kroll, 1993).
Jika defisit ini diteruskan, China berpotensi mengontrol pengambilan kebijakan di Indonesia. Kekhawatiran ini terus menguat karena beberapa alasan.
Pertama, China belum menganggap perjanjian perdagangan bebas yang ia jalin selama ini sebagai satu hal yang serius. China masih berkonsentrasi mengakselerasi pertumbuhan industri lokal, pemetaan industri strategis domestik, serta mengamankan pasokan energinya (energy security). Tidak seperti Jepang atau Korea Selatan yang menjalin perdagangan bebasnya dengan negara-negara maju, perjanjian perdagangan bebas terbesar China baru dijalin dengan ASEAN.
China juga membangun perdagangan bebas hanya pada sektor-sektor ringan, seperti pertukaran barang dan jasa. Negeri Tirai Bambu itu belum berpikir untuk masuk ke ranah investasi, kompetisi, proyek pengadaan, hak kekayaan intelektual, lingkungan, dan perburuhan (M.Wan, 2011: 32). Belakangan para pengamat domestik China tengah mendesak pemerintahnya agar lebih serius menggarap lahan perdagangan bebas ini.
Kedua, China serius mendongkrak bantuan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Setelah Jembatan Suramadu, Pemerintah China meminjamkan 800 juta dollar AS untuk empat proyek pembangunan jalan, dua di antaranya jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuhan (Cisundawuh) dan Medan-Kualanamu; serta dua lainnya dibiayai oleh Bank Exim China, yakni Jembatan Tayan, Kalimantan Barat, dan Jembatan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara.
Diplomasi infrastruktur memang belakangan diperkenalkan China. Bukan hanya di Indonesia, melainkan di hampir semua negara mitra bisnisnya. Metode ini merupakan cara baru yang belum pernah dilakukan negara Asia Timur mana pun. Beberapa proyek lain di ASEAN adalah pengelolaan Greater Mekong River dan Tumen River Project, serta rencana pembangunan jalur kereta cepat Bangkok-Vientiane-China selatan.
Ketiga, China disebut-sebut sebagai ”The Nation of Wal-Mart” oleh Shenkar (2005). Kemampuan produksinya yang tinggi menggiurkan pedagang (retailer) karena harganya bersaing di pasar asing. Inilah alasan mengapa belum ada satu pun negara maju yang menyepakati perdagangan bebas dengan China (kecuali Selandia Baru). Australia, misalnya, masih alot bernegosiasi dengan China sejak 2005.
Mencari celah
Surplus perdagangan memang bukan mustahil, meski perlu usaha ekstra keras untuk membalik keadaan. Kita sempat mengalami surplus perdagangan dengan China pada periode 2000-2007. Namun, memasuki 2008, neraca perdagangan kita defisit. Artinya, tanpa perjanjian perdagangan bebas pun, angka perdagangan kita telah jatuh terhadap China.
Jika kita jatuh di jurang dalam keadaan terluka, maka yang paling bisa dilakukan adalah menyembuhkan luka-luka kecil sembari mencari jalan keluar. Luka-luka kecil yang harus ditutup itu adalah kita tidak boleh membiarkan perekonomian kita jatuh pada arus utama, artinya produksi besar harus melibatkan produsen kecil, sehingga menghidupkan kembali UMKM. Pemerintah juga bisa menerapkan peraturan menambah muatan lokal dalam setiap produk China yang masuk, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Terakhir, ketika aspek ekonomi ACFTA menyudutkan, pemerintah harus memainkan eksternalitas politik dari perdagangan bebas ini. Peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN dan penengah antara Barat dan China dalam KTT Asia Timur harus menopang independensi kita terhadap China. Posisi politik ini menjadi kunci penting bagi hubungan segi tiga AS, China, dan ASEAN, dengan menyulap peluang menjadi dilematis bagi ketiga aktor di atas.
Pamungkas Ayudhaning Dewanto Editor Global: Jurnal Politik Internasional, Departemen HI, FISIP UI
Opini Kompas 17 Januari 2011