18 Januari 2011

» Home » Opini » Republika » Kenaikan Harga Minyak: Berkah atau Petaka?

Kenaikan Harga Minyak: Berkah atau Petaka?

Joko Riyanto
Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo


Harga minyak mentah dunia kembali hangat dibicarakan. Maklum, dalam beberapa hari terakhir, harga "emas hitam" (julukan minyak mentah) terus mengalami fluktuasi. Harga minyak di pasar global sudah menyentuh 90 dolar AS per barel, bahkan pasar memperkirakan harganya akan menembus 100 dolar AS per barel.

Banyak faktor yang mendukung kenaikan tersebut. Di antaranya, meningkatnya permintaan jenis minyak olahan seiring cuaca dingin yang melanda Eropa dan timur laut Amerika, perang nilai tukar mata uang, serta musim dingin awal tahun 2011 juga akan terus mendongkrak harga minyak. Sementara kuota produksi minyak OPEC tidak bertambah karena mempertahankan kuota produksinya pada 24,84 juta barel per hari.

Di samping itu, dapat dipastikan negara-negara yang bukan pengekspor minyak akan merevisi kondisi fiskalnya. Sebab, neraca perdagangan masing-masing negara akan mengalami ketidakseimbangan yang luar biasa. Hal itu disebabkan negara yang bukan pengekspor minyak mentah tidak dapat menikmati keuntungan dari naiknya harga minyak di pasar internasional sehingga mereka akan menguras simpanan devisa mereka untuk membiayai belanja ekonomi negara.

Sedangkan negara-negara pengekspor minyak mentah sedikit lega dengan kenaikan harga minyak mentah tersebut. Hal itu karena dapat mengeruk keuntungan dari selisih harga yang besar. Meskipun demikian, mereka sendiri harus melakukan penyesuaian-penyesuaian fundamental. Mengingat, tingginya penggunaan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sebagai tindakan rasional bagi pemenuhan konsumsi masyarakat dan tingginya pemakaian BBM bagi kebutuhan produksi industri pengolahan.

Lantas, apakah kenaikan harga minyak dunia memberikan berkah atau petaka? Kenaikan harga minyak mentah dunia tidak serta-merta memberi berkah bagi Indonesia. Kondisi ini ibarat dua mata pisau. Di satu sisi menguntungkan, karena meningkatnya penerimaan dari minyak. Namun, keuntungan yang diraih pun tidak terlalu signifikan mengingat produksi minyak dalam negeri cenderung menurun.

Di sisi lain, kenaikan harga minyak juga membawa petaka. Sebab, pemberian subsidi dari pemerintah meningkat dan meningkatnya biaya produksi bagi dunia usaha karena BBM untuk industri tidak lagi disubsidi pemerintah. Terlebih, saat ini Indonesia juga menyandang sebagai negara pengimpor (net importir).

Dampak kenaikan harga minyak akan menyebabkan APBN membengkak. Sebab, kenaikan harga minyak dunia sebesar satu dolar AS per barel diperkirakan akan membebani APBN sekitar Rp 500 miliar. Sementara patokan harga minyak dalam asumsi APBN 2011 menetapkan 80 dolar AS per barel. Sedangkan saat harga minyak mentah dunia mencapai 100 dolar AS per barel, harga Indonesia Crude Price (ICP) akan berada di level 95-97 dolar AS per barel. Itu pun dengan harapan tidak ada lagi faktor pemicu yang berpotensi menggoyang harga minyak dunia. Selain itu, subsidi BBM juga bakal meningkat, termasuk subsidi listrik dan memicu kenaikan inflasi.

Menyikapi kerumitan kenaikan harga minyak dunia, ada beberapa upaya yang perlu dilakukukan. Pertama, pemerintah tetap konsisten pada kebijakan minyak dan gas di jalur yang tepat, yaitu menjaga lifting (produksi) minyak mentah dan kondensat 960 ribu barel per hari agar beban APBN untuk mengimpor BBM tidak terlalu besar.

Kedua, kebijakan energi mutlak diperlukan, tidak hanya pada level konseptual atau wacana, tetapi juga dalam eksekusi dan implementasi di lapangan. Kebijakan yang penting dan utama mutlak dilakukan segera, yaitu kebijakan konversi energi dengan mengurangi konsumsi energi minyak bumi menjadi energi alternatif yang lebih murah (gas alam, batu bara, air, panas bumi, matahari, bioenergi, dan sebagainya).

Pada saat bersamaan, dengan kebijakan diversifikasi dan konversi energi, subsidi harus dikurangi bertahap tanpa menimbulkan gejolak bagi masyarakat bawah. Oleh karena itu, kebijakan pengurangan subsidi untuk dialihkan pada pengeluaran produktif lain merupakan hal yang harus dilakukan bersamaan kebijakan konversi energi itu (Didik J Rachbini, 2007).

Ketiga, meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi potensi di dalam negeri yang masih tersedia. Selain itu, pemerintah harus intensif mengawasi jalur distribusi agar tidak terjadi penyelundupan minyak ke luar negeri. Pemerintah harus bertindak tegas menindak pihak-pihak yang melawan hukum dalam hal kebijakan perminyakan dan gas nasional.

Keempat, menaikkan BBM bersubsidi secara bertahap Rp 200-300 per liter. Langkah tersebut, dinilainya akan memberikan penghematan lebih besar, tapi tahan terhadap harga minyak hingga rata-rata 90 dolar AS per berel.

Larangan BBM bersubsidi bagi mobil pelat hitam, hanya memicu daya tahan APBN pada kisaran ICP 83 dolar AS per barel.

Karena itu, penghematan itu tidak signifikan karena defisit APBN akan tetap bengkak. Sebab, angka penghematan hanya Rp 1,5 triliun untuk skenario pembatasan Premium tahap pertama di wilayah Jabodetabek. Sebab, setiap perbedaan satu dolar AS per barel di atas asumsi APBN, akan menambah defisit Rp 500 miliar. Di sisi lain, masyarakat juga dirugikan dengan larangan BBM itu.
Opini Republika 17 Januari 2011