18 Januari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Terlalu Dini Bermimpi ke 2014

Terlalu Dini Bermimpi ke 2014

Djoko Darmono
Pemerhati Birokrasi Pemerintahan


Kegaduhan politik yang terjadi di 2010 kemungkinan besar akan semakin kencang di 2011. Gejala ke arah sana sudah mulai tampak jika tidak dikatakan sengaja dimunculkan. Yang memulai adalah mereka yang secara politis merasa kuat dari segi keuangan dan massa pendukung.

Setidaknya, tiga kekuatan politik sudah mulai menimang-nimang calon pemimpin negeri di tahun 2014, yaitu Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PDI Perjuangan. Kini, sudah beredar nama-nama calon RI 1 dan mungkin RI 2 yang dilontarkan oleh ketiga pengurus partai masing-masing, entah karena kesalahan lidah atau memang sengaja untuk mengetes seberapa jauh masyarakat akan menerima mereka menjadi pemimpin.

Nama yang muncul pertama kali adalah Aburizal Bakrie dari Partai Golkar, lalu menyusul paket dari Partai Demokrat terdiri atas Ani Yudhoyono, Pramono Edhie Wibowo, dan Anas Urbaningrum. Dari PDI Perjuangan, muncul nama Puan Maharani. Ada satu lagi, yaitu Prabowo Soebianto dari Partai Gerindra.

Partai Demokrat yang sekarang pemenang pemilu, kalau pemerintahan SBY sampai 2014 masih terantuk-antuk seperti sekarang ini, akan sulit bertahan sebagai juara. Ani Yudhoyono, jika benar akan maju sebagai calon, sangat ditentukan dari kinerja SBY selama dua periode. Artinya, rakyat sulit menerima bila suami dari ibu negara ternyata dinilai tak berhasil.

Demikian pula Pramono Edhie Wibowo yang merupakan adik ipar SBY, situasinya sama dengan Ani Yudhoyono. Anas Urbaningrum, sebagai ketua umum partai, dari pengalamannya berorganisasi dan jika mau bermanuver, bisa saja maju sebagai calon RI 1. Tetapi, akankah Anas didukung oleh trah Cikeas? Karena sesungguhnya kemunculan dinasti Yudhoyono sangat diharapkan oleh lingkaran dekatnya untuk menutup berbagai kekurangan yang telah dilakukan oleh SBY dengan partainya. Namun, muncul permasalahan, adakah elektabilitas Ani Yudhoyono dan juga adiknya untuk memenuhi harapan?

Demikian pula Partai Golkar, sudahkah yakin ketua umumnya yang mempunyai beberapa masalah akan diterima oleh masyarakat? Menjadi kewajiban Golkar untuk mendorong agar kasus yang mengait ketua umumnya diusut tuntas sehingga jelas duduk perkaranya. Untuk PDI Perjuangan, jika masih mengandalkan Megawati Soekarnoputri, sepertinya terlalu berat karena faktor usia akan memengaruhi popularitasnya. Megawati sebagai pemersatu warga banteng moncong putih memang masih diharapkan.

Jika harus mendorong Puan Maharani sebagai ikon PDI Perjuangan, masyarakat masih meragukan sebab kepopulerannya lebih banyak terdongkrak oleh kerja ibu dan ayahnya, seperti halnya Edhie Baskoro putra bungsu Presiden yang sekarang menjadi Sekjen Partai Demokrat. Prabowo yang meluncurkan konsep ekonomi kerakyatan mungkin salah satu alternatif. Akan tetapi, kalau rakyat menghubung-hubungkan dengan tindakannya di masa lalu, bisa menyurutkan popularitasnya.

Semua pihak perlu melakukan perenungan melalui hati nurani yang paling dalam. Negeri ini penduduknya sangat banyak. Orang yang cerdas, jujur, memiliki leadership dan mumpuni, tak bisa dibilang sedikit. Perlu ditokohkan orang-orang muda yang berkarakter, mempunyai naluri kepemimpinan yang cerdas untuk diberikan kepercayaan memimpin negeri ini.

Tidak harus lagi bangsa ini berkutat melanjutkan politik dinasti. Politik dinasti jelas beraroma nepotisme yang dapat mengebiri demokratisasi karena akan menghambat hak-hak rakyat untuk ikut berpolitik secara merdeka.

Partai Demokrat sekarang berkuasa. Namun, dua periode kepemimpinan saat ini sudah diketahui kelebihan dan kelemahannya. Sejarah republik ini telah membuktikan bagaimana sebuah partai besar menjadi terjun bebas ketika pemimpin idolanya tak lagi berkuasa. PNI yang pernah jaya beberapa dekade, menjadi terseok-seok setelah pudarnya karisma Bung Karno saat tak lagi jadi presiden.

Golkar yang mendominasi kancah perpolitikan nasional selama tiga puluh tahun lebih, rontok ketika ketua dewan pembinanya jatuh dari singgasana. Tidak bermaksud ingin mengecilkan, tetapi pengalaman empiris bisa dijadikan pelajaran oleh siapa pun, termasuk Partai Demokrat yang baru berdiri beberapa tahun.

Sekalipun bergelimang dana, misalnya, karena akar rumputnya tidak terlalu jelas dan belum terukur militansinya, Partai Demokrat tanpa SBY menjadi lemah. Apalagi, SBY sebagai presiden tak kunjung membuat prestasi monumental.

Oleh karena itu, belum saatnya kita meluangkan waktu untuk memperdebatkan siapa yang pantas duduk di puncak menara gading tahun 2014 nanti. Terlalu dini untuk membahas sekarang karena pemilu masih lama dan kondisi politik satu tahun ke depan pun tak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Waktu yang tersisa pada SBY jika tidak diisi dengan prestasi cemerlang, sungguh sangat disayangkan. Memimpin dalam dua periode mestinya banyak hal yang bisa diukir.

Secara jujur, di depan mata banyak masalah mendesak yang harus dikerjakan oleh presiden daripada asyik mengutak-atik urusan kompromi politik. Negeri ini akan bisa memasuki saat-saat kritis jika tak segera dilakukan pembenahan.

Yang diperlukan, rakyat menuntut keberanian SBY melakukan terobosan mengganti anggota kabinet yang tak mampu bekerja agar terbentuk kabinet yang cerdas cemerlang. Bermodalkan kabinet baru, pemerintah bisa fokus menyelesaikan berbagai persoalan, seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, korupsi, hukum, berbagai mafia, dan juga bisingnya politik yang tak kunjung kondusif.

Ada pepatah orang bijak yang perlu kita renungkan. "Masa kinimu akan menjadi masa lalumu." Bertolak dari situ, kita tak ingin presiden yang dipilih rakyat secara langsung, tak menimba legasi positif apa pun sampai jabatannya berakhir. Dan jangan sampai di saat tak lagi berkuasa, justru dipermasalahkan oleh rakyat.

Akhirnya, kepada siapa pun yang sudah berancang-ancang untuk mencalonkan diri, kita ingatkan jangan terlalu bernafsu sebab pengaruh lingkungan bisa memabukkan, semuanya serasa madu. Jangan terburu-buru meng-ijon suatu jabatan. Bukankah ada pepatah Jawa yang mengatakan, ora ilok nggege mongso tidak elok berpikir tentang kekuasaan yang masih jauh di depan sana.
OPini Republika 17 Januari 2011