22 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Refleksi Tahun Baru untuk Kota Medan "Medan Kota Pindas Gema"

Refleksi Tahun Baru untuk Kota Medan "Medan Kota Pindas Gema"

Tahun 2010 akan tutup buku. Kalimat "Happy New Year" akan menggema menjelang akhir Desember ini sampai awal Januari 2011 nantinya.
Kalimat yang menandakan Uphoria menuju tahun baru. Dengan harapan akan ada suasana, harapan dan keadaan baru yang datang dan terkabul. Tak jarang, beragam renungan bermunculan di tahun 2011 nantinya. Jika kita sedikit flashback, di awal tahun 2011 lalu, banyak renungan yang bermunculan. Mulai dari kondisi bangsa, perpolitikan, ketokohan, kejadian-kejadian bahkan sampai pada renungan artis-artis yang akan naik daun atau sebaliknya. Apakah ini semua menandakan bahwa sebenarnya segenap bangsa ini memiliki harapan dan ketakutan-ketakutan ketika hendak melangkah ke tahun baru nantinya.
Dalam hal ini, penulis ingin memberi renungan ringan, sebagai refleksi kita berada di tahun 2011 nantinya. Paling tidak, ada sebuah kata bijak sebagai pengantar renungan ini. "orang bijak, adalah orang yang selalu menggunakan waktunya untuk dua hal besar. Pertama, berusaha semaksimal mungkin sebagai bentuk optimisme hidup. Kedua, selalu koreksi diri, sebagai refleksi dari setiap pekerjaan dan prilaku yang diperbuat. Rekfleksi diri akan menghadirkan kesadaran terhadap nilai plus minusnya usaha yang dilakukan." Kata bijak diatas juga memberikan kita pemahaman, bahwa "orang yang hebat adalah orang yang bisa beranjak dari kegagalan dan kekurangannya menuju kesempurnaan ".
Tahun baru kali ini juga kiranya kita bisa memikirkan kembali kualitas pendidikan di Kota Medan, selaras dengan semangat Gubernur Sumut " agar rakyat tidak bodoh" seharusnya kita kembali menyusun strategi positif di awal tahun untuk mengawal kualitas pendidikan di Kota Medan ke depannya. Idealisme Pendidikan
Mari sejenak kita melihat realita pendidikan terlebih dahulu. Jika kita harus merujuk berbagai kajian filsafat ilmu, maka tujuan akhir dari keilmuan adalah pencapaian ontology, epistimologi dan aksiologi yang harus saling berkaitan (baca; Jujun S. Suriasumantri; Surajiyo; Ahmad Taisir; Soetriono dan buku-buku lainnya). Maka, akhir dari sebuah keilmuan adalah pencapaian yang akurat terhadap defenisi, proses dan hasil. Hasil, nantinya akan menentukan sebesar apa pengaruh keilmuan yang sudah diraih.
Biasanya, peraihan terbesar adalah menghasilkan karya baru sebagai hak ciptanya terhadap sebuah teori atau keilmuan yang baru pula. Pencapaian tersebut, tidak akan berhasil, manakala tidak didukung oleh budaya baca dan budaya karya (menulis). Ke depannya, jangan sampai trilogy pencapaian hasil pembelajaran yang dikemukakan Bloom; Kognitif; Afektif dan Psikomotorik hanya sebagai lintasan pembahasan saja, tanpa ada aplikasi efektif.
Saat ini, sudah semacam terbudaya di dunia pendidikan kita hanya mengandalkan fasilitas oral saja sebagai sarana pendidikan. Jika ini terus berlanjut. Maka, pendidikan di Indonesia akan sangat bergantung dengan kemampuan guru atau dosen, baik dari sisi kedalaman ilmu, dan kemampuan beretorika yang baik. Jika tidak, maka dipastikan sistematisasi ilmu, dan isi dari ilmu tidak akan tercapai.
Kemalasan siswa dan mahasiswa kita untuk membaca melahirkan budaya mendengar saja. Coba tanyakan saja, pada siswa atau mahasiswa, sudah berapa buku yang ia miliki, yang ia baca dan yang ia tahu. Atau jangan-jangan, semua sekolah hanya mengandalkan buku pinjaman, dan setelah selesai belajar, maka buku dipulangkan. Dan coba pertanyakan pula, seberapa besarkah kebanggaan seorang siswa atau mahasiswa ketika ia memiliki buku, atau seberapa besarkah minat membeli buku seorang siswa atau mahasiswa.
Semuanya itu akan sangat berkaitan dengan pembudayaan mendasar dalam metode pendidikan yang dikembangkan. Jadi, jangan heran jika Indonesia, bukan termasuk salah satu Negara yang bangga terhadap kualitas membaca dan menciptanya. Kedepannya, inilah yang harus menjadi salah satu tolak ukur untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Begitu juga dengan para guru dan Dosen, budaya oral dalam mengajar ternyata tidak cukup efektif jika tidak ditopang dengan budaya berkarya melalui tulisan. Keilmuan, akan semakin cepat sirna, jika hanya ditanam dalam fikiran saja, dan ilmu akan mensejarah, jika ditopang dengan budaya menulis. Akan semakin menarik jika kita membaca kisahnya Larry Wilde yang mengawali dunia menulis dari keterpurukan, serta Chirstine Clifford yang mengawali semangat menulisnya hanya dari sebuah impian yang sekarang menjadi kenyataan.
Oleh karenanya, sangat menarik apa yang dikatakan Prof. Syawal Gultom, Rektor Universitas Negeri Medan dalam sebuah diskusi ringan. Bahwa kekurangan yang paling mendasar bagi peserta didik kita dari semua tingkatan adalah " membaca". Siswa dan mahasiswa Indonesia sesungguhnya bukan " pembaca yang tangguh". Sehingga saluran kelimuan itu menjadi terhambat. Karena membaca bukan lagi sebagai kebudayaan dalam pendidikan. Pragmatisme dan praktisme pendidikan menjadi penghambat tingkat kemauan membaca siswa yang dari tahun ketahun semakin menurun.
Oleh karenanya, dalam analisis yang lebih jauh. Budaya baca yang kering ini menjadi sumber penghambat yang besar bagi perkembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas. Bahkan saat ini sudah mengakar sampai pada motivasi sekolah dan kuliah. seorang siswa yang mau melanjutkan pendidikannya ke S1 saat ini tujuannya adalah agar bisa mudah mendapat pekerjaan. Karena semua pekerjaan termasuk jika ingin menjadi PNS minimal harus S1. sebab itulah, motovasi untuk lebih pintar, lebih kreatif menjadi terabaikan.
Contoh sederhana yang bisa menjadi bahan evaluasi bersama, apa yang akan kita lakukan ketika sedang dalam kenderaan. Misalnya dalam mobil, kereta api, pesawat, atau dalam keadaan rehat. Orang Indonesia biasanya akan lebih memilih tidur atau mendengarkan musik. Orang Jepang biasanya akan menggunakan waktu-waktu itu untuk membaca. Karena di 15 menit perjalanan saja, sudah bisa mendapatkan hal baru dari bahan bacaan.
Oleh karenanya, langkah solutif untuk melahirkan kemajuan pendidikan di Indonesia adalah dengan melahirkan kembali minat baca bagi siswa-siswa di Indonesia dari tingkat yang paling rendah. Pembenahannya harus akumulatif. Bagaimana metode mengajar
guru Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas yang secara langsung bisa membangkitkan gairah membaca siswa. Bisa saja dengan meragamkan metode mengajar melalui pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa didapatkan melalui buku-buku yang sangat beragam atau metode lainnya. Oleh karenanya. Sindiran yang paling besar justru mengarah pada guru dan dosennya. Sebab, sebesar apapun pengajaran guru dan dosen agar peserta didiknya hoby membaca, tapi gurunya bukan seorang pembaca yang tangguh, maka ini tidak akan efektif jadinya.
Pembenahannya melalui akar rumput pendidikan. Di pendidikan formal, guru dan dosen punya peranan yang sangat besar untuk membudayakan baca. Di pendidikan informal, keluarga dan komunitas terdekat juga sangat mempengaruhi budaya membaca itu. Bayangkan saja, jika seorang ayah sepulang kantor, sembari istirahat, lalu membaca buku, dan itu dilakukan secara terus menerus, maka seorang anak sedari kecilnya ia mengamati ayahnya yang gemar membaca, maka besarnya juga ia akan ikut gemar membaca. Lingkungan menjadi salah satu sarana yang paling efektif membudayakan membaca.
Semua ini sesungguhnya menggali semangat konstitusi. Bagaimana upaya pemerintah melahirkan pendidikan yang berkualitas melalui UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Peraturan Pemerintah Indonesia no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI no 11 tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Semangat konstitusi sebenarnya sudah sejak awal menyarankan kepada bangsa ini untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas akademis. Bukan praktis hanya sekedar untuk mendapatkan pekerjaan. Bukankah kata-kata mutiara yang paling sering kita dengar adalah " orang yang berilmu pasti akan dicari-cari pekerjaan".
Membaca dan menulis adalah dua hal yang saling berkaitan erat, ibarat ikan dengan air. Keduanya saling bersinggungan dan saling memberikan kontribusi "Simbiosis Mutualisme". Orang yang banyak membaca akan dewasa dengan bacaannya, menelaah dan ia akan menulis hasil telaahnya. Orang yang menulis pasti harus membaca, sebab tulisan tanpa bahan bacaan ibarat padang tandus yang gersang. Itulah sebabnya mengapa membaca dan menulis adalah hal mendasar yang harus ada bagi setiap manusia pembelajar.
Ada empat konsep dasar yang menjadi ukuran terhadap keberhasilan dunia pendidikan. Pertama, learning to know. Dunia pendidikan yang melahirkan peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu (know). Sampai disini, peserta didik akan menambah wawasan keilmuannya dan pengetahuannya tentang banyak hal. Kedua, learning to do. Proses pembelajaran yang melahirkan peserta didik untuk bisa berbuat/melakukan. Peserta didik yang bukan hanya tahu, tapi bisa mengerjakannya. Sampai disini, poin keilmuannya bertambah seiring hasil perkerjaannya.
Ketiga, learning to be. Pembelajaran yang melahirkan peserta didik yang creator (menjadi pencipta hasil karya buah dari akumulasi pengetahuannya). Sampai disini, peserta didik akan berkreasi dari ciptaannya tentang keilmuan yang ia miliki. Misalnya, seorang yang berkuliah di jurusan computer, akan bisa menciptakan computer jenis baru yang lebih memberikan kemudahan, dan kecanggihan dibanding ciptaan sebelumnya. Dan yang terakhir adalah learning to how to life together. Sifatnya sangat humanis. Bahwa keilmuan yang dimiliki, tidak hanya melahirkan pekerjaan dan kreasi, tapi juga memberi kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Medan; Kota Pindas Gema
Harus ada upaya baru bagi pemerintahan Kota Medan untuk serius memikirkan kualitas pendidikan di Kota Medan. Sejalan dengan Motto Gubernur yang secara tekhnis akan direalisasikan melalui Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara untuk merealisasikan Medan sebagai kota Pindas Gema (pintar, cerdas dan gemar membaca) untuk melahirkan kualitas pendidikan yang sesuai dengan apa yang diinginkan. Peran strategis perpustakaan-pun harus dibenahi agar siswa dan mahasiswa kota Medan aktif sebagai masyarakat pembelajar yang siap memenuhi kualitas SDM Kota Medan Menuju Kota cerdas dan bermartabat.
Keseriusan ini harus dimulai dari Dinas Pendidikan dengan melahirkan program kerja cerdas yang secara langsung dan komprehensif bersinggungan dengan kualitas pelajar Kota Medan. Secara tekhnis, untuk meningkatkan kembali minat Baca di Kota Medan, maka akan di awali dari Perpustakaan Kota Medan, yang muaranya dari Baperasda-Su. Peran inilah yang harus ditegaskan untuk menciptakan kualitas pendidikan yang baik kedepannya. Semoga usulan ini bisa menjadi pemikiran sederhana Pemerintahan Kota Medan menuju tahun 2011 yang lebih baik, Amin.***
Penulis adalah Dosen di Fakultas Syariah IAIN SU dan Sekr. Eksekutif Lembaga Baca Tulis eLBeTe.

Opini Analisa Daily 23 Desember 2010