22 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Peternakan Jabar 2011

Peternakan Jabar 2011

Pada 2011, Dinas Peternakan Jawa Barat telah mencanangkan empat kegiatan andalannya, yaitu merealisasikan Jawa Barat sebagai provinsi domba, program sejuta sapi tahap pertama, integrasi perunggasan dengan pertanian, dan restrukturisasi persusuan. Perspektif program tersebut menurut hemat penulis akan menghadapi berbagai kendala dan tantangan, terutama dikarenakan oleh kuatnya pengaruh perubahan iklim dan lingkungan strategis serta berbagai kebijakan kontra produktif yang dilakukan pemerintah sendiri.
Ternak domba
Tolok ukur Jabar sebagai provinsi domba antara lain tercapainya populasinya 10 juta ekor domba, yang saat ini baru mencapai 5,8 juta ekor. Berdasarkan pengamatan, ternyata pada pelaksanaan operasionalnya program ini terkendala kebijakan pemerintah yang kontraproduktif. Kebijakan tersebut tidak berbasis pada landasan membangun peternakan yang seharusnya, yaitu berbasis kepada kearifan lokal Jawa Barat. Misalnya, kebijakan meningkatkan populasi dengan memasukkan ras domba ekor gemuk dari Jawa Timur. Kebijakan ini akan menyulitkan pemerintah karena secara teknis, sosial, dan ekonomis ternak tersebut memerlukan waktu panjang untuk beradaptasi. Domba ekor gemuk yang berasal dari dataran rendah yang panas, kemudian dikembangkan di dataran tinggi yang lembap. Pengamatan yang penulis lakukan terhadap keberadaan ternak domba ekor gemuk asal Jatim di Jabar, ternyata tingkat kematiannya cukup tinggi.
Selain itu, Jawa Barat yang memiliki plasma nutfah domba Garut akan terancam pula keberadaannya. Pola perkawinan yang tidak terencana akan menurunkan produktivitasnya, sehingga dalam jangka panjang akan sangat merugikan bagi perkembangan domba garut sebagai ternak asli Jawa Barat.
Kebijakan yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam pengembangan ternak domba pada 2011, yaitu diawali dengan membenahi sektor hilir dalam rantai nilai domba garut. Penataan ini dengan cara sosialisasi pola konsumsi, distribusi daging, dan pengaturan stok daging dalam manajemen rumah potong hewan. Tertatanya pasar daging domba, dengan sendirinya akan menarik produksi dan peningkatan produktivitasnya. Pada sisi ini, pemberdayaan kelompok peternak domba yang berada di bawah naungan Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) dengan aktivitas utamanya melakukan kegiatan seni dan ketangkasan domba, sangat relevan kaitannya dengan menjaga mutu genetik plasma nutfah domba garut dan bagi pengembangan pasar.
Sejuta sapi potong
Dalam sejarah perkembangan ternak sapi di Jawa Barat, ternyata belum pernah terdengar atau tercatat populasi ternak sapi mencapai satu juta ekor. Informasi ini sangat penting, mengingat Jabar belum pernah memiliki pengalaman untuk itu. Oleh karena itu, basis program ini harus dimulai dengan memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah Jawa Barat sebagai sentra konsumsi daging sapi nasional. Program ini harus dimulai menata lingkaran di wilayah pusat konsumen, dengan membenahi rantai pasok untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi. Seperti penataan pasar daging (distribusi), RPH (logistik), dan usaha penggemukan (pasokan). Setelah itu, menata pola usaha pembesaran sapi (rearing) dengan melakukan program tunda potong, yang menangkar sapi betina produktif berasal dari RPH dan penjaringan betina hasil inseminasi buatan (IB) dari sentra-sentra pengembangan ternak potong dengan pembiayaan kredit usaha perbibitan sapi.
Kegiatan ini harus didukung oleh insentif yang diberikan kepada pengusaha pembibitan, karena diduga sekitar 200 ribu betina produktif terpotong di RPH dan secara nasional serta di Jawa Barat sekitar 50 ribuan ekor. Program ini akan lebih menapak daripada melakukan impor sapi bibit dengan risiko kegagalannya. Kebijakan pendukung yang diperlukan yaitu ketersediaan lahan usaha abadi di tingkat kabupaten dan kota, mengingat selama ini peternakan sapi tidak didukung oleh kepastian lahan dan modal perbankan, dengan bunga murah yang dapat diakses.
Sapi perah
Lemahnya posisi tawar peternak sapi perah yang tergabung dalam GKSI terhadap pasar industri pengolahan susu (IPS), menyebabkan peternak sapi perah rakyat selama puluhan tahun tidak berkembang seperti yang diharapkan. Bahkan, rasio impor dan produksi lokal tetap tidak berubah yaitu 70 persen impor dan 30 persen produksi lokal. Satu-satunya cara untuk mengubah nasib peternak sapi perah rakyat, yaitu membuka pasar baru yang di luar IPS, yaitu dengan memanfaatkan dan merealisasikan program PMTAS (program makanan tambahan anak sekolah) atau school milk.
Di seluruh dunia, program ini merupakan andalan bagi pembangunan peternak dan perekonomian perdesaan sekaligus meningkatkan gizi masyarakat, yang berdampak positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2010, program ini ternyata masih belum terealisasi dengan baik, karena aturan birokrasi dan administrasi. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin membangun perdesaan, realisasi program ini sangat dinantikan peternak sapi perah.
Perunggasan
Pada dunia perunggasan (ayam ras) selama ini, ternyata perusahaan swasta besar masih mendominasi usaha peternakan rakyat, sehingga sebagian besar peternak rakyat hanya sebagai buruh di kandangnya sendiri. Selain itu, mereka sangat tergantung kepada ketersediaan DOC dan pakan dari perusahaan multinasional. Dalam rangka pemberdayaan peternakan rakyat, pada 2011 seharusnya pemerintah memfasilitasi usaha perbibitan perunggasan dan pakan unggas yang berbasis bahan baku domestik. Model integrasi ayam dengan pertanian, khsusnya jagung dan kedelai menjadikan program prioritas yang harus dilaksanakan serentak, di sentra-sentra pengembangan perunggasan.
Selain itu, dalam mengantisipasi kebijakan di DKI Jakarta terhadap pelarangan pemotongan ayam, selayaknya pada 2011 Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera memfasilitasi usaha kecil menengah (UKM) untuk membangun RPA dengan fasilitas khusus. Jika ini tidak diprioritaskan, dampak kebijakan Pemprov DKI Jakarta tidak akan berarti bagi pembangunan perunggasan di Jabar.
Selain itu, program pemberdayaan unggas lokal ternyata masih belum tergali dengan baik. Misalnya, komersialisasi bisnis unggas lokal (bebek, angsa, belibis, ayam kampung, dan sebagainya) untuk memenuhi tren kebutuhan konsumen atas ternak organik. Potensi unggas lokal ini, sangat luar biasa terutama dengan tarikan permintaan (demand) masyarakat yang kondusif.
Ancaman lingkungan
Gencarnya kampanye perubahan iklim dan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah ternak yang menghasilkan gas methan merupakan ancaman bagi pengembangan peternakan di Jawa Barat, jika tidak dijawab oleh upaya penanggulangannya. Program pemanfaatan biogas asal ternak dan pengomposan (composting) merupakan jawaban ampuh, yang harus dibuktikan dalam kegiatan sehari-hari di perdesaan. Contoh kongkret desa mandiri enersi di Desa Haurgombong, Sumedang, patut disebarluaskan untuk menjawab semua prasangka buruk tersebut. Lebih-lebih dengan kuatnya budaya lokal petani, yang membuat pupuk kompos asal ternak harus diberdayakan melalui inovasi mikroba.
Pembangunan peternakan hakikatnya membangun peternakan rakyat, karena sekitar 90 persen peternakan berada di tangan peternak di perdesaan. Oleh karena itu, kita harus merubah paradigma agribisnis ke pendekatan wilayah farming system, yang masih harus dilakukan bagi pengembangan peternakan rakyat. Artinya, para penentu kebijakan harus melakukan pendekatan budaya lokal dengan kekuatan kearifannya pada suatu kawasan pengembangan, bukannya dengan pendekatan bisnis semata.
Pendekatan operasionalnya dapat dilakukan sebagai berikut; sebenarnya ada sebagian biaya produksi yang harus ditanggung pemerintah, sehingga peternak rakyat dapat menghasilkan produk yang berdaya saing. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa perbibitan adalah domainnya pemerintah, yang selama ini sebagian besar peternak membiayainya sendiri.
Hal tersebut mengamanatkan bahwa biaya produksi bibit dapat direduksi oleh pemerintah, dengan memberikan berbagai insentif. Jika ini dilakukan, kiranya pada 2011 kita akan melihat pembangunan peternakan rakyat di perdesaan akan lebih baik lagi, yaitu usahanya akan berkembang secara kondusif. Semoga.***
Penulis, dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Padjadjaran (Unpad), Sekjen DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) dan Ketua I PB Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI).

Opini Pikiran Rakyat 23 Desember 2010