Pada 2011, Dinas Peternakan Jawa Barat  telah mencanangkan empat kegiatan andalannya, yaitu merealisasikan Jawa  Barat sebagai provinsi domba, program sejuta sapi tahap pertama,  integrasi perunggasan dengan pertanian, dan restrukturisasi persusuan.  Perspektif program tersebut menurut hemat penulis akan menghadapi  berbagai kendala dan tantangan, terutama dikarenakan oleh kuatnya  pengaruh perubahan iklim dan lingkungan strategis serta berbagai  kebijakan kontra produktif yang dilakukan pemerintah sendiri.
Ternak domba
Tolok ukur Jabar sebagai provinsi  domba antara lain tercapainya populasinya 10 juta ekor domba, yang saat  ini baru mencapai 5,8 juta ekor. Berdasarkan pengamatan, ternyata pada  pelaksanaan operasionalnya program ini terkendala kebijakan pemerintah  yang kontraproduktif. Kebijakan tersebut tidak berbasis pada landasan  membangun peternakan yang seharusnya, yaitu berbasis kepada kearifan  lokal Jawa Barat. Misalnya, kebijakan meningkatkan populasi dengan  memasukkan ras domba ekor gemuk dari Jawa Timur. Kebijakan ini akan  menyulitkan pemerintah karena secara teknis, sosial, dan ekonomis ternak  tersebut memerlukan waktu panjang untuk beradaptasi. Domba ekor gemuk  yang berasal dari dataran rendah yang panas, kemudian dikembangkan di  dataran tinggi yang lembap. Pengamatan yang penulis lakukan terhadap  keberadaan ternak domba ekor gemuk asal Jatim di Jabar, ternyata tingkat  kematiannya cukup tinggi. 
Selain itu, Jawa Barat yang memiliki  plasma nutfah domba Garut akan terancam pula keberadaannya. Pola  perkawinan yang tidak terencana akan menurunkan produktivitasnya,  sehingga dalam jangka panjang akan sangat merugikan bagi perkembangan  domba garut sebagai ternak asli Jawa Barat. 
Kebijakan yang seharusnya dilakukan  pemerintah dalam pengembangan ternak domba pada 2011, yaitu diawali  dengan membenahi sektor hilir dalam rantai nilai domba garut. Penataan  ini dengan cara sosialisasi pola konsumsi, distribusi daging, dan  pengaturan stok daging dalam manajemen rumah potong hewan. Tertatanya  pasar daging domba, dengan sendirinya akan menarik produksi dan  peningkatan produktivitasnya. Pada sisi ini, pemberdayaan kelompok  peternak domba yang berada di bawah naungan Himpunan Peternak Domba dan  Kambing Indonesia (HPDKI) dengan aktivitas utamanya melakukan kegiatan  seni dan ketangkasan domba, sangat relevan kaitannya dengan menjaga mutu  genetik plasma nutfah domba garut dan bagi pengembangan pasar.
Sejuta sapi potong 
Dalam sejarah perkembangan ternak sapi  di Jawa Barat, ternyata belum pernah terdengar atau tercatat populasi  ternak sapi mencapai satu juta ekor. Informasi ini sangat penting,  mengingat Jabar belum pernah memiliki pengalaman untuk itu. Oleh karena  itu, basis program ini harus dimulai dengan memanfaatkan keunggulan  komparatif wilayah Jawa Barat sebagai sentra konsumsi daging sapi  nasional. Program ini harus dimulai menata lingkaran di wilayah pusat  konsumen, dengan membenahi rantai pasok untuk meningkatkan nilai tambah  ekonomi. Seperti penataan pasar daging (distribusi), RPH (logistik), dan  usaha penggemukan (pasokan). Setelah itu, menata pola usaha pembesaran  sapi (rearing) dengan melakukan program tunda potong, yang menangkar  sapi betina produktif berasal dari RPH dan penjaringan betina hasil  inseminasi buatan (IB) dari sentra-sentra pengembangan ternak potong  dengan pembiayaan kredit usaha perbibitan sapi. 
Kegiatan ini harus didukung oleh  insentif yang diberikan kepada pengusaha pembibitan, karena diduga  sekitar 200 ribu betina produktif terpotong di RPH dan secara nasional  serta di Jawa Barat sekitar 50 ribuan ekor. Program ini akan lebih  menapak daripada melakukan impor sapi bibit dengan risiko kegagalannya.  Kebijakan pendukung yang diperlukan yaitu ketersediaan lahan usaha abadi  di tingkat kabupaten dan kota, mengingat selama ini peternakan sapi  tidak didukung oleh kepastian lahan dan modal perbankan, dengan bunga  murah yang dapat diakses.
Sapi perah 
Lemahnya posisi tawar peternak sapi  perah yang tergabung dalam GKSI terhadap pasar industri pengolahan susu  (IPS), menyebabkan peternak sapi perah rakyat selama puluhan tahun tidak  berkembang seperti yang diharapkan. Bahkan, rasio impor dan produksi  lokal tetap tidak berubah yaitu 70 persen impor dan 30 persen produksi  lokal. Satu-satunya cara untuk mengubah nasib peternak sapi perah  rakyat, yaitu membuka pasar baru yang di luar IPS, yaitu dengan  memanfaatkan dan merealisasikan program PMTAS (program makanan tambahan  anak sekolah) atau school milk. 
Di seluruh dunia, program ini  merupakan andalan bagi pembangunan peternak dan perekonomian perdesaan  sekaligus meningkatkan gizi masyarakat, yang berdampak positif terhadap  Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2010, program ini ternyata  masih belum terealisasi dengan baik, karena aturan birokrasi dan  administrasi. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin membangun  perdesaan, realisasi program ini sangat dinantikan peternak sapi perah.
Perunggasan 
Pada dunia perunggasan (ayam ras)  selama ini, ternyata perusahaan swasta besar masih mendominasi usaha  peternakan rakyat, sehingga sebagian besar peternak rakyat hanya sebagai  buruh di kandangnya sendiri. Selain itu, mereka sangat tergantung  kepada ketersediaan DOC dan pakan dari perusahaan multinasional. Dalam  rangka pemberdayaan peternakan rakyat, pada 2011 seharusnya pemerintah  memfasilitasi usaha perbibitan perunggasan dan pakan unggas yang  berbasis bahan baku domestik. Model integrasi ayam dengan pertanian,  khsusnya jagung dan kedelai menjadikan program prioritas yang harus  dilaksanakan serentak, di sentra-sentra pengembangan perunggasan.
Selain itu, dalam mengantisipasi  kebijakan di DKI Jakarta terhadap pelarangan pemotongan ayam, selayaknya  pada 2011 Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera memfasilitasi usaha  kecil menengah (UKM) untuk membangun RPA dengan fasilitas khusus. Jika  ini tidak diprioritaskan, dampak kebijakan Pemprov DKI Jakarta tidak  akan berarti bagi pembangunan perunggasan di Jabar.
Selain itu, program pemberdayaan  unggas lokal ternyata masih belum tergali dengan baik. Misalnya,  komersialisasi bisnis unggas lokal (bebek, angsa, belibis, ayam kampung,  dan sebagainya) untuk memenuhi tren kebutuhan konsumen atas ternak  organik. Potensi unggas lokal ini, sangat luar biasa terutama dengan  tarikan permintaan (demand) masyarakat yang kondusif.
Ancaman lingkungan
Gencarnya kampanye perubahan iklim dan  lingkungan yang diakibatkan oleh limbah ternak yang menghasilkan gas  methan merupakan ancaman bagi pengembangan peternakan di Jawa Barat,  jika tidak dijawab oleh upaya penanggulangannya. Program pemanfaatan  biogas asal ternak dan pengomposan (composting) merupakan jawaban ampuh,  yang harus dibuktikan dalam kegiatan sehari-hari di perdesaan. Contoh  kongkret desa mandiri enersi di Desa Haurgombong, Sumedang, patut  disebarluaskan untuk menjawab semua prasangka buruk tersebut.  Lebih-lebih dengan kuatnya budaya lokal petani, yang membuat pupuk  kompos asal ternak harus diberdayakan melalui inovasi mikroba.
Pembangunan peternakan hakikatnya  membangun peternakan rakyat, karena sekitar 90 persen peternakan berada  di tangan peternak di perdesaan. Oleh karena itu, kita harus merubah  paradigma agribisnis ke pendekatan wilayah farming system, yang masih  harus dilakukan bagi pengembangan peternakan rakyat. Artinya, para  penentu kebijakan harus melakukan pendekatan budaya lokal dengan  kekuatan kearifannya pada suatu kawasan pengembangan, bukannya dengan  pendekatan bisnis semata. 
Pendekatan operasionalnya dapat  dilakukan sebagai berikut; sebenarnya ada sebagian biaya produksi yang  harus ditanggung pemerintah, sehingga peternak rakyat dapat menghasilkan  produk yang berdaya saing. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang No.  18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa perbibitan adalah  domainnya pemerintah, yang selama ini sebagian besar peternak  membiayainya sendiri. 
Hal tersebut mengamanatkan bahwa biaya  produksi bibit dapat direduksi oleh pemerintah, dengan memberikan  berbagai insentif. Jika ini dilakukan, kiranya pada 2011 kita akan  melihat pembangunan peternakan rakyat di perdesaan akan lebih baik lagi,  yaitu usahanya akan berkembang secara kondusif. Semoga.***
Penulis, dosen Jurusan Sosial Ekonomi  Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Padjadjaran (Unpad), Sekjen DPP  Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) dan Ketua I PB  Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI).
Opini Pikiran Rakyat 23 Desember 2010