22 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Meredam Inflasi

Meredam Inflasi

Inflasi kembali menjadi momok. BPS mencatat, inflasi November 2010 mencapai 0,60 persen. Januari-November inflasi sebesar 5,98 persen. Bila Desember ini tidak deflasi, inflasi bakal menembus 6 persen, jauh di atas target pemerintah (5,3 persen). Peluang terjadinya deflasi bulan ini cukup kecil karena momentum Natal dan tahun baru bakal mengerek inflasi.

Menurut BPS, inflasi November didorong oleh kenaikan harga sejumlah komoditas pangan. Beras merupakan penyumbang terbesar (0,12 persen), disusul cabai merah (0,10 persen), bawang merah (0,07 persen), emas dan perhiasan (0,05 persen), dan minyak goreng (0,04 persen).

Fakta ini, untuk kesekian kalinya, menunjukkan instabilitas harga pangan menjadi pendorong utama inflasi. Kegagalan pemerintah mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok akan beriringan dengan peningkatan inflasi. Ironisnya, instabilitas harga kebutuhan pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif.

Sebaliknya, respons pemerintah selalu reaktif, ad hoc, dan fragmentaris. Semua itu tak lebih sebagai pemadam kebakaran. Tak terhitung energi, waktu, dan biaya yang terkuras akibat instabilitas harga kebutuhan pokok. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang mestinya bisa diselesaikan.

Bagi rakyat, terutama warga miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok akan mengekspose mereka pada posisi amat rentan. Pendapatan rakyat akan tergerus inflasi. Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan harus merelokasikan keranjang belanja dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran.

Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan. Tampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan
berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak.

Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat. Inikah generasi yang akan kita ciptakan di masa mendatang? Menurut BPS, mayoritas pengeluaran penduduk Indonesia masih untuk pangan. Rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan mencapai 50,62 persen pada 2009. Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan.

Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka akan anjlok drastis. Itulah sebabnya, banyak ekonom menyebut inflasi sebagai "perampok uang rakyat". Kondisi semacam ini bukan khas Indonesia. Hampir di negara-negara berkembang pangsa pengeluaran pangan keluarga memang masih dominan. Ketika harga kebutuhan pokok naik, kemiskinan pun melonjak.

Inflasi di Indonesia tergolong masih tinggi, rata-rata di atas 5 persen. Memang, inflasi pada 2009 hanya 2,78 persen. Namun, pada tahun yang sama, banyak negara mengalami deflasi karena krisis ekonomi global. Dibandingkan negara lain, target inflasi tahun ini pun tergolong masih tinggi. Inflasi di Malaysia dan Thailand biasanya lebih kecil dari 5 persen. Inflasi di negara-negara maju, seperti Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan di bawah 3 persen.

Bahkan, Jepang sering mengalami deflasi. Ini semua ditopang oleh kebijakan yang komprehensif dan kredibel. Kita bisa ambil contoh Malaysia. Saat ini, ketika Indonesia gonjang-ganjing harga kebutuhan pokok, Malaysia tidak mengalaminya. Ini terjadi karena Malaysia bisa mengendalikan harga kebutuhan pokok lebih baik daripada Indonesia.

Malaysia memiliki undang-undang The Price Control Act untuk mengontrol harga barang-barang yang kebanyakan adalah barang-barang makanan sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang mulai berlaku 1961. Undang-undang ini mengatur keluar masuknya barang di perbatasan, seperti gandum. Dalam UU tersebut, harga 225 kebutuhan sehari-warga masyarakat dan 25 komoditas dikontrol pada festive season (hari besar).

Pada 2008 dibentuk Majlis Harga Negara untuk memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional. Pada tahun-tahun saat harga minyak tinggi, inflasi di Malaysia bisa ditekan, bahkan di bawah 5 persen. Padahal, inflasi di Indonesia pada 2005 mencapai 17,11 persen dan pada 2008 mencapai 11,06 persen. Malaysia cukup berhasil menjaga instabilitas harga sehingga inflasi rendah, apa pun yang terjadi atau gejolak di pasar internasional (Adiningsih, 2010).

Berpijak dari kondisi itu, langkah-langkah Bank Indonesia untuk menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tidak akan banyak artinya apabila tidak didukung upaya pemerintah dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok. Di masa lalu, negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok lewat Bulog.

Wacana untuk mengembalikan fungsi-fungsi strategis Bulog bisa saja dilakukan, tetapi itu tidak banyak artinya apabila tidak didukung dengan pendanaan memadai dan instrumen yang komprehensif. Pertama, harus segera ditentukan komoditas kebutuhan pokok yang memiliki pengaruh besar terhadap pengeluaran rumah tangga. Jumlahnya bisa 4-5 komoditas. Ini pun sifatnya dinamis. Komoditas inilah yang menjadi opsi stabilisasi.

Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga patokan (ceiling/floor price), stok atau cadangan, dana murah, pengendalian ekspor-impor, dan program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, pemerintah harus menjamin sistem distribusi lancar dan tidak ada pelaku dominan di pasar yang bisa mengeksploitasi keadaan. Dengan ketiga langkah simultan tersebut, hampir bisa dipastikan inflasi akan bisa dijinakkan.

Opini Republika 23 Desember 2010