Menteri Perindustrian mengatakan,  kalau saja industri kita maju tak perlu lagi ada Tenaga Kerja Indonesia  (TKI) yang bekerja di luar negeri. Seperti mengikuti pendapat Lorimer  (1963) maupun Karl Marx, kemakmuran suatu negara akan terbangun, bila  negara mampu meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Tenaga kerja  produktif menurut faham Marxis, akan berjalan lebih cepat dibandingkan  dengan cepatnya laju pertumbuhan penduduk. Penderitaan manusia bukan  terjadi karena ledakan jumlah penduduk, melainkan karena distribusi  pendapatan yang tidak merata ditambah berbagai kepincangan yang terjadi  di sana sini dalam tatanan pemerintahan negara.
Lalu, mengapa lebih dari lima juta  perempuan Indonesia terbang ribuan kilometer melintasi lautan dan benua,  hanya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan yang sangat  berisiko serta tanpa memiliki aturan yang jelas akan hak-hak hukumnya?  Ribuan orang yang gajinya tak dibayar, ratusan orang meninggal atau  cacat, setelah mengalami penyiksaan dan demikian banyak kabar duka lara  tentang mereka. Duka para perempuan yang demi keluarganya, berani  menempuh risiko seberat apa pun tanpa gentar dan tanpa ragu.
Kita mungkin baru sadar akan  keberadaan mereka, kaum perempuan yang demi masa depan keluarganya, rela  menempuh segala risiko, meskipun orang memberinya cap sinis sebagai  pahlawan devisa. Gelar yang sama kepada guru yang sering disebut sebagai  pahlawan tanpa tanda jasa. Barulah kita terhenyak ketika mendengar  Sumiati, perempuan asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang disiksa sampai  mengalami cacat permanen, atau ketika media massa mengabarkan kematian  Kikim Komalasari dari Cianjur. Sepertinya berita terakhir ini menyentak  dan menjadi erupsi kegelisahan yang meledak-ledak di tengah kaldera  persoalan bangsa yang tengah dilanda kemiskinan. Kita berharap  permasalahan ini ditangani secara serius terutama oleh pemerintah agar  jatuhnya korban bisa diminimalisasi. 
Baiklah, sementara ini pemerintah  sedang berjuang keras menyelesaikan ragam kasus TKI ini sampai tuntas,  termasuk membuat produk undang-undang yang bisa lebih melindungi mereka  baik di luar maupun di dalam negeri. Namun, marilah kita ulangi pendapat  bijak tadi bahwa tak perlu ada TKI kalau industri kita maju, karena  kemakmuran suatu negara akan terbangun bila negara mampu meningkatkan  kemampuan sumber daya manusia.
Konsumerisme
Mungkin saja dengan bekerja ke Timur  Tengah atau ke negeri tetangga, kehidupan bisa sedikit berubah. Namun,  itu sifatnya sementara. Uang hasil kerja mereka kalau tidak bisa  dikelola dengan kemampuan daya yang ada pada setiap individu dalam  keluarga, justru akan melahirkan sifat-sifat konsumerisme akibat  cita-cita masa lalu yang terpendam. Para TKI ini biasanya terlebih dulu  membelanjakan uang gajinya selama dua tahun untuk membangun rumah,  membeli perabotan rumah, atau sepeda motor. Baru sebulan mereka kembali  dari luar negeri, mereka sudah kehabisan bekal dan kembali miskin.  Artinya, menggalakkan mereka untuk bekerja di luar negeri, bukanlah  solusi yang baik bagi masa depannya.
Persoalannya bukanlah kemiskinan.  Sebab, kemiskinan itu alami. Pasangan dari kaya itu ya miskin. Selalu  ada orang kaya dan orang miskin. Di negara maju sehebat Amerika Serikat  atau Inggris pun masih ada gelandangan atau tunawisma. Sesungguhnya,  benang merah persoalan bangsa ini adalah bagaimana agar anak bangsa ini  memiliki kualitas keberdayaan.
Jadi, hal yang paling mendasar adalah  kalau investasi industri kita belum maju, yang harus kita lakukan adalah  agar sumber daya manusia di negeri ini mampu menciptakan lapangan  industri yang bisa menampung keberdayaan sebagai sumber kemajuan bangsa.  Tanpa harus berpikir pendidikan, keterampilan atau permodalan yang  kadang-kadang menjadi pertanyaan tanpa jawaban. Pendidikan formal saja  sampai saat ini belum mampu menciptakan tenaga terampil, yang bisa  diterima dengan mudah oleh pasar kerja. Mereka hanya dididik untuk  menerima ijazah dan tentu bisa bersaing di pasar kerja.
Sementara itu, pemerintah dengan  program-program pengentasan kemiskinannya belum bisa secara optimal  menciptakan industri yang berdampak bpada penciptaan lapangan kerja dan  penyerapan tenaga kerja. Sesungguhnya kita harus mencari energi  alternatif bagaimana agar perempuan Indonesia yang minus pendidikan dan  ketrampilan bisa diberdayakan sebagai pencipta industri serta pencipta  lapangan kerja di lingkungan mereka.
Memberdayakan
Berdaya memberdayakan adalah upaya  menjadikan kaum perempuan meninggalkan ketergantungan dirinya pada kaum  pria. Dalam lingkungan keluarga, dia bahkan bisa balik memimpin suami  dan anggota keluarga lainnya. Dan ini bukan tak mungkin. Terlalu banyak  contoh yang bisa disajikan. 
Sebut saja Tuminah, warga RT 015 RW 02  Kampung Rawa Palangan, Kelurahan Telaga Murni, Cikarang Barat, Bekasi.  Dia hanyalah mantan buruh pabrik di salah satu pabrik boneka di kawasan  Bekasi Barat. Tujuh tahun Tuminah bekerja di pabrik tersebut. Setahun  sebelum krisis ekonomi melanda, Tuminah keluar. Dia membuat sendiri  boneka dan menjualnya ke pasar tradisional. Awalnya, dia hanya menjual  ke pasar lokal di Cibitung dengan produk hanya satu sampai dua kodian.  Namun, karena boneka itu dibuat dengan bahan baku dan pola pembuatan  yang sama dengan pabrik asalnya, boneka itu tampak bagus dan berkualitas  sehingga laris manis di pasaran. Akhirnya, Tuminah pun mampu  mengembangkan usahanya. Setelah 10 tahun berjalan, ia bisa mengirim  bonekanya ke Jakarta, Solo, Bandung, Surabaya, bahkan sampai ke Lombok  dan Kalimantan. Kini, di rumah produksinya ada 50 perempuan tetangganya  yang ikut bekerja.
Contoh lainnya, Euis dari Conggeang  Kulon, Sumedang. Euis mulai merintis usaha penjualan opak dengan modal  dua liter beras ketan dan mencoba titip konsinyasi opak di beberapa  rumah makan di Conggeang. Selain ke rumah makan besar di kota Sumedang,  ia juga mencoba ke sentra penjual oleh-oleh khas daerah. Usaha itu  menampakkan hasil yang bagus. Ketika kemudian ditawarkan juga ke  supermarket di Bogor, Subang, dan Garut, pesanan ternyata lumayan  banyak. Satu supermarket rata-rata memesan sampai 1.000 bungkus per  minggunya. 
Untuk mengolah satu kwintal beras  ketan per hari dibutuhkan 20 sampai 25 pekerja. Dua di antaranya pria  untuk tugas menumbuk ketan sampai lembut. Dalam seminggu diperlukan  minimal empat kwintal beras ketan berkualitas. Kerja keras Euis  terwujud. Ia membuka ruang usaha yang cukup luas. Usaha yang kecil ini  ternyata bisa menjadi besar kalau ada kemauan. Melalui eksportir di  Bandung, opak buatan Bu Euis ini bahkan bisa diekspor mencapai  negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. 
Dua contoh kecil yang kami kutip dari  buku "Perempuan Inspiratif Jawa Barat" ini mungkin bisa menginspirasi  kita semua, terutama kaum perempuan bahwa untuk menjadi besar bekalnya  adalah tekad yang kuat, kemauan, dan kemampuan, serta selalu dimulai  dari yang kecil-kecil dulu.
Rasanya kita tak perlu menunggu  industri besar maju dulu untuk mencegah eksodus tenaga kerja kita ke  luar negeri, tetapi yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita  mengawal kaum perempuan untuk berdaya memberdayakan dirinya,  keluarganya, dan lingkungannya. Dengan bimbingan, toh mereka bisa maju  dan berkembang menciptakan industri sekaligus menciptakan lapangan kerja  secara mandiri.***
Penulis, praktisi pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana tinggal di Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 23 Desember 2010