Sewaktu duduk di bangku kelas lima SD, saya punya  kegemaran  membaca komik. Salah satu komik yang saya sukai adalah Serial  Jaka Sembung.  
Komik hitam putih karya Djair itu saya sewa dari  sebuah persewaan komik  satu-satunya yang ada di kampung saya nun jauh  di sebuah kota kecil di Kabupaten  Banyumas sana. 
Isi  cerita komik karya Djair biasanya menceritakan kepahlawanan  Jaka  Sembung, atau Kang Parmin, dalam melawan pasukan kaum kompeni dan   centeng-centeng piaraannya yang kerap menindas rakyat kecil.
Para  centeng itu biasanya dilukiskan sebagai pria berkumis  tebal,  mengenakan celana hitam dan baju hitam yang terbuka di bagian dadanya.  Di  pinggang sang centeng terselip sebilah golok. 
Kerja  centeng-centeng itu biasanya kalau tak mengganggu  gadis-gadis desa, ya  memalak atau menarik pajak para pemilik warung atas suruhan  tuan  kompeni. Jika pemilik warung menolak membayar upeti atau pajak, maka si   centeng akan menganiaya si pemilik dan mengobrak-abrik seluruh isi  warung.
Nah, di saat pemilik warung  mengalami penindasan itulah  kemudian muncul si Jaka Sembung membela  pemilik warung dari kesewenang-wenangan  para centeng! Dengan kepandaian  silatnya, Jaka Sembung mampu membuat para  centeng itu lari tunggang  langgang! 
Setelah menyelamatkan pemilik  warung, Jaka Sembung kemudian  akan kembali ke ‘markas" persilatan  mereka di "Kandang Haur". Sang Pendekar dari  "Kandang Haur" ini baru  akan turun gunung kembali jika ada wong cilik di  desa-desa lain kembali  mengalami perlakuan sewenang-wenang dari tuan-tuan  kompeni dan para  centengnya!Pajak untuk Warung Kaum Pegel
Cerita  petualangan Jaka Sembung dalam melawan kekejaman kaum  kompeni dan para  centengnya, mendadak memenuhi benak saya usai membaca polemik  di media  massa tentang Ranperda Pajak Daerah yang tengah diajukan Pemko Medan ke   DPRD Medan. 
Tentu saja saya tak hendak  menyamakan perilaku Pemko Medan  dengan perilaku kaum kompeni dan para  centengnya terkait rencana Pemko Medan  untuk memajaki usaha warung kaum  pegel (pedagang ekonomi lemah) atau PKL itu.  
Sebagaimana  diberitakan surat kabar, dalam rangka menambah  pundi-pundi kas  pemerintah kota, Pemko Medan saat ini tengah melirik potensi PAD  yang  diambil dari pajak usaha restoran. Dalam draft Ranperda Pemko yang   mengadopsi dari Undang Undang (UU) No 28/2009 tentang Perpajakkan  disebutkan  bahwa yang dimaksud objek pajak restoran adalah seluruh  usaha restoran, rumah  makan, kafetaria, kantin, warung-warung, bar,  pujasera (pusat jajanan serba  ada), toko roti dan katering. Seluruh  penyedia jasa makanan itu rencananya  dikenakan pajak 10% dari  penjualan.
Nah, usaha restoran dan usaha  sejenisnya yang terkena pajak 10%  adalah restoran dengan batasan omzet  penjualan Rp 1.100.000 per bulan atau Rp  36.700 per hari. Limitasi  omzet penjualan inilah yang membuat sejumlah anggota  dewan, pedagang  kaki lima serta aktivis masyarakat sipil berang. 
Bukan  apa-apa. Dengan besaran omset seperti itu, maka dapat  dipastikan semua  usaha warung kopi, warung mi goreng, warung teh susu telur  dengan  fasilitas tempat penyajian dan penyantapan maupun dibawa pulang yang   diusahakan kaum pegel bakalan terjaring sebagai wajib pajak!
Untung,  sikap pemko kemudian berubah. Dalam nota jawaban ke  DPRD Medan, Pemko  kemudian menaikkan limitasi omzet penjualan menjadi Rp 5 juta  per  bulan! Namun besaran limitasi ini pun masih bisa diperdebatkan.  Berdasarkan  informasi surat kabar, target pajak restoran yang dipatok  Pemko Medan tahun ini  memang mengalami kenaikan yang cukup besar, dari  Rp71,7 miliar pada tahun lalu  menjadi Rp 92,2 miliar tahun ini."Cabut  Bulu Ayam"
Karena itu benar seperti yang  sering disatirkan dr. Sofyan Tan,  tokoh muda yang kerap membela nasib  UKM, nasib kaum pegel ibarat ayam yang  hendak bertelur, tetapi begitu  mau bertelur, bulunya dicabuti satu per satu  lewat berbagai kebijakan  pemerintah yang memberatkan kaum pegel. Walau bulu ayam  itu dicabuti  satu per satu, namun karena berkelanjutan, maka lama kelamaan  "ayam"  itu menjadi botak dan stress, bahkan tak bisa "bertelur". 
Kebijakan  "cabut bulu ayam" itu wujudnya macam-macam. Salah  satunya adalah  mengganggu ketenangan iklim berusaha mereka. Ya, apalagi kalau  bukan  berupa aksi penggusuran, atau yang kerap dihaluskan media massa dengan   istilah penertiban. Bentuk lainnya adalah pungutan "pajak tidak resmi",  baik  yang dilakukan preman berdasi maupun tidak. Alamak, sial nian  nasib mereka! 
Simaklah perlakuan yang  dialami kaum pegel yang berjualan di  kawasan Stadion Teladan. Puluhan  tenda milik mereka dibongkar paksa oleh tim  terpadu dari Kecamatan  Medan Kota pada Rabu, 8 Desember 2010 lalu. Proses  penggusuran itu  sempat diwarnai pertengkran dan perlawanan para pedagang sepatu,   sarapan pagi dan warung kopi dengan aparat kecamatan. 
Para  pedagang tidak terima penggusuran tersebut. Soalnya selama  ini mereka  merasa telah memenuhi kewajiban mereka dengan menyetor sejumlah uang   kepada aparat kelurahan. Namun protes kaum pegel itu tertelan angkuhnya  sepatu  boot dan tangan-tangan kekar aparat trantib! 
Begitulah,  atas nama ideologi "ketertiban dan keindahan" Kota  Medan, anggota tim  trantib tanpa ampun mengangkuti gerobak dorong kursi-kursi  dan barang  dagang yang terkena penggusuran. Atas nama "jalan panjang menuju kota   metropolitan yang bergelimang cahaya listrik dan korupsi", hak berusaha  kaum  pegel dirampas!
Padahal pemerintah tak  pernah punya saham terhadap kaum pegel,  kecuali mengeluarkan secarik  kertas administrasi (KTP), bahwa komunitas kaum  pegel adalah penghuni  sah "kota metropolitan" Medan. Itu pun terkadang dengan  cara menyogok  agar urusan cepat kelar! 
Jangan pernah  tanya lembaga keuangan bank pemerintah, apalagi  yang punya swasta,  apakah mereka pernah menggelontorkan dana kredit mereka untuk   mengembangkan 
usaha kaum pegel atau tidak.  Jangan tanya pula para birokrat  yang duduk di kantor perdagangan dan  perindustrian. Tugas yang dibebankan negara  barangkali terlalu sepele  untuk mengurusi komunitas kaum pegel ini.
Bgitulah  nasib kaum pegel, mereka sebenarnya adalah kaum  survivor yang telah  berhasil menciptakan pasar ekonomi secara mandiri. Bahkan  boleh  dibilang mampu menciptakan peluang kerja sendiri, di tengah kenyataan   bahwa pemerintah tak lagi mampu memberi penghidupan kepada warga  negaranya. 
Begitulah, di tengah keibukan  para abdi negara untuk mengisi  kas pembangunan dan asyik masyuk  memfasilitasi membangun mall-mall dan  hotel-hotel berbintan untuk  mewujudkan sebagai kota metropolitan, kaum pegel  diminta untuk  mengamalkan filosofi "jangan minta apa yang bisa diberikan Negara   kepadamu, tapi berikan apa yang bisa kau berikan kepada Negaramu".  Sekali lagi,  alamak!
Menunggu "Jaka Sembung" Turun Gunung!
Sudah  banyak argumen diajukan untuk menolak limitasi omzet  usaha warung kena  pajak yang dianggap tak rasional. Semula pemko mematok besaran  Rp  1.100.000 per bulan. Limitasi omzet itu dianggap terlalu kecil. Soalnya  mana  mungkin sekarang ini ada warung makan yang omzet penjualannya per  hari kurang  dari Rp 36.700. 
Membeli pisang  dan tahu goreng saja, seorang konsumen minimal  harus merogoh kocek  sampai Rp 10.000! Konon pula makan satu mangkuk mie ayam dan  minuman  ringan. Karena itu jika ada suara-suara yang mengusulkan agar limitasi   omset itu dinaikkan, bisa diterima akal sehat.
Nah,  digempur suara-suara kritis dari berbagai pihak, pemko  kemudian  menaikkan limitasi omzet kena pajak menjadi Rp 5.000.000 per bulan.   Kalaupun limitasi ini yang diterima dewan, persoalan lain yang harus  dijawab  adalah tentang efek berantai dari pengenaan pajak tersebut. 
Sudah  pasti, pengenaan pajak konsumsi itu akhirnya konsumen  juga, yang  notabene mayoritas adalah kaum pegel juga, yang akan menanggungnya.   Tentu hal ini akan semakin memberatkan tekanan ekonomi rakyat kecil yang  sudah  pegel nasibnya. 
Ada juga keraguan  soal efektifitas pemasukan hasil pajak dari  sektor informal ini.  Jangan-jangan bukan pundi-pundi Pemko Medan yang kelak  bertambah tebal,  melainkan pundi-pundi petugas pajak sendiri! 
Kasus  si "super Gayus" adalah contohnya. Soalnya, belum ada  sejarahnya orang  makan di warteg, warung bakso, penjual mi instan, dan beli  barang dari  PKL diberikan struk bukti pembayaran belanja. Membuat struk dan   mencatat pembukuan penjualan juga akan menjadi tambahan cost tersendiri  bagi  pemilik warung. 
Alamak, ternyata  begitu banyak persoalan yang harus dicermati  terhadap ranperda ini.  Karena itu sudah saatnya para pendekar "Jaka Sembung"  yang ada di  "Kandang Haur" DPRD Medan, keluar dari pertapaan mereka dan  membuktikan  bahwa mereka masih "sakti mandra guna’ membela nasib kaum pegel.   Semoga!***
Penulis bekerja di Kajian Informasi, Pendidikan dan  Penerbitan Sumatera (KIPPAS Medan)
Opini Analisa Daily 23 Desember 2010