22 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Negara Tersandera Radikalisme Agama

Negara Tersandera Radikalisme Agama

Toleransi antarumat beragama di negeri ini belum sepenuhnya terwujud.
Di sana-sini masih terlihat bagaimana persoalan-persoalan intoleransi masih terang terjadi. Tengok misalnya belum lama ini kasus yang menimpa umat beragama tertentu yang dilarang atau dipaksa oleh kelompok tertentu untuk membubarkan diri saat tengah melakukan ritual ibadah. Ini tentu sangat memprihatinkan.

Radikalisme Agama
Kasus seperti itu jelas menunjukkan betapa kuatnya arus radikalisme agama. Fenomena radikalisme agama memang bukan monopoli satu agama. Hampir semua agama ada fenomena radikalisme di dalamnya. Kaum radikal ini umumnya akan mendapatkan momentumnya yang tepat ketika agamanya menjadi mayoritas. Meskipun secara kualitatif kaum radikal ini relatif sedikit, gerakannya cukup mengganggu dan mengkhawatirkan.
Kaum radikal memang tidak merepresentasikan atau mewakili agama secara keseluruhan. Ia bisa disebut sebagai hanya sekte, sempalan, atau aliran dalam agama. Sejarah agama yang disebut sebagai agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, Islam, atau yang disebut sebagai agama nonsamawi, seperti Hindu, Buddha, Kong­hu­cu, dan lainnya, memiliki begitu banyak sekte, sempalan, atau aliran di dalamnya. Kris­ten sendiri pecah menjadi dua: Katolik dan Protestan. Dalam Islam ada Syiah dan Sunni. Dalam Buddha ada Hinayana (Theravada) dan Mahayana.
Masing-masing aliran itu memiliki garis pemikiran aga­ma yang berbeda, tapi tetap mengikatkan diri pada sumber agama. Karena itu, dalam aga­ma perlu dibedakan dua hal. Pertama, agama sebagai ajaran (syariat). Kedua, agama sebagai fakta sosial. Fakta sosial adalah umat beragama yang menafsirkan ajaran aga­ma de­ngan sudut pandang yang ti­dak seragam, sehingga mela­hir­kan banyak aliran. Karena itu, sangat naif jika menganggap bahwa aliran tertentu ada­lah yang paling be­nar, sementara aliran yang lainnya salah, pasalnya sumber ajaran yang diambil masing-masing sama.
Klaim paling benar inilah yang menjadi benih-benih munculnya kaum radikal agama. Klaim kebenaran akan selalu diikuti dengan klaim ketidakbenaran terhadap aliran lain. Saling klaim kebenaran ini tidak hanya di dalam wilayah agama yang sama, tapi juga sering dialamatkan terhadap agama lain.
Dalam tingkat tertentu, ini akan berbuah petaka: konflik antaragama. Di negara demo­krasi yang belum matang dan dewasa seperti Indonesia, potensi konflik agama menemukan lahannya yang subur untuk tumbuh.

Ketidakadilan Negara
Konflik antaragama akan makin membesar ketika negara yang diharapkan menjadi payung yang mengayomi semua agama absen. Atau, kalaupun hadir, tidak menempatkan keadilan sebagai panglima. Negara hadir, justru untuk memihak salah satu agama tertentu, atau aliran tertentu. Parahnya, segala potensi konflik seperti dibiarkan berkembang. Dan, ketika perkembang­an itu meluas benar-benar menjadi konflik, negara terlambat mengatasi, karena tidak maksimal mengantisipasi. Terkadang, malah konflik itu seperti sengaja dirawat demi kepentingan politik tertentu. Negara masuk dalam pusaran konflik tanpa mampu menempatkan dirinya sebagai hakim yang adil bagi semua.
Pada akhirnya, kepenting­an politik selalu mewarnai segala kebijakan penyelesaian konflik agama, baik itu konflik yang terjadi antarumat beragama maupun interumat beragama. Agama yang berumat mayoritas kerap kali me­nempati posisi yang istimewa. Segala aktivitas atau perge­rakan kaum radikal di bawahnya yang paling diuntungkan dalam hal ini. Kaum radikal ini merasa ada payung besar yang melindunginya, sehingga membuatnya leluasa bergerak melakukan apa pun demi misi yang ia sebut sebagai “jihad suci”. Mereka menyebut jihad karena mereka merasa bahwa selama ketidakbenaran ada di sekitar mereka, mereka terpanggil untuk bergerak. Mereka menyebut suci, karena merasa bahwa jihad itu dititahkan langsung oleh Tuhan.
Peran negara sebetulnya sangat vital untuk meredam kaum radikal, selain para tokoh agama yang moderat. Harus dipahami betul bahwa kaum radikal itu bukanlah representasi dari agama secara utuh. Ini untuk memilah secara proporsional antara yang radikal di satu sisi, de­ngan yang moderat di sisi lain. Secara kuantitatif, yang mo­derat jauh lebih banyak daripada yang radikal. Artinya, secara politis sebetulnya tidak akan ada ekses luas bagi negara ketika ia melakukan tindakan tegas terhadap kaum radikal. Ini demi kepentingan yang lebih luas. Ketegasan dan konsistensi untuk memberikan keadilan pada semua pihak tanpa pandang agama atau aliran menjadi garansi ter­jaganya kerukunan.
Negara jangan lagi me­nempatkan diri di posisi atau demi kepentingan kaum radikal atau terkesan membela kaum radikal. Negara juga jangan sampai tersandera kaum radikal. Karena, jika itu terjadi, negara akan dikendalikan oleh kaum radikal, kemudian dijadikan sebagai alat untuk menekan kelompok lain. Harmoni dan toleransi umat beragama tidak mungkin terjaga baik selama gerakan radikal agama diberi peluang untuk bergerak. Negara ini bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama de­ngan negara. Kebebasan beragama sangat dilindungi konstitusi. Kebebasan beragama sendiri adalah hak paling asasi dimiliki manusia yang tidak bisa dipaksakan. Teror atas nama agama oleh kaum radikal jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.

Penulis adalah Pengamat Sosial-Keagamaan, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Opini Sinar Harapan 23 Desember 2010