22 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Demokrasi Vs Efisiensi

Demokrasi Vs Efisiensi

Kritik terhadap praktik demokrasi di Indonesia terus berlangsung. Di antara kritik itu adalah biaya demokrasi kita dianggap terlalu mahal. Padahal, produk dari demokrasi itu tidak terlalu kelihatan. Dengan kata lain, demokrasi kita mengalami defisit alias tidak efisien.
Uniknya, yang mengkritik tidak lagi sebatas para pelaku ekonomi yang memang lebih menyukai penggunaan ”analisis untung rugi” dalam menilai sesuatu. Kritik juga datang dari akademisi yang sebelumnya ikut mendorong proses demokratisasi.
Adanya kritik semacam itu bukanlah sesuatu yang baru. Sebagaimana dikatakan oleh Larry Diamond (1990), demokrasi memang mengandung paradoks-paradoks. Di antara paradoks dalam demokrasi adalah adanya kebutuhan untuk lebih mengutamakan kepentingan banyak orang di satu sisi dan kepentingan efisiensi di sisi yang lain.
Di dalam demokrasi yang baik, proses pembuatan berbagai keputusan sedapat mungkin melibatkan banyak orang. Semakin banyak berkonsultasi dengan konstituen sebelum membuat kebijakan, semakin bagus praktik demokrasi yang dijalankan oleh para pembuat kebijakan.
Akan tetapi, demokrasi juga membutuhkan efisiensi. Ketika banyak rancangan keputusan harus terlebih dahulu dikonsultasikan dan memperoleh persetujuan dari konstituen, proses pembuatan keputusan akan berlangsung lebih lama, berbelit-belit, serta membutuhkan energi dan biaya mahal.
Untuk itu, kerangka demokrasi yang baik adalah kerangka yang memungkinkan terjembataninya dilema semacam itu. Hal ini terjadi, antara lain, kalau para pembuat keputusan memiliki informasi dan data yang cukup mengenai berbagai keinginan dan kebutuhan warga (preferensi).
Dengan demikian, rancangan keputusan atau kebijakan yang dibuat akan cepat memperoleh persetujuan, baik dari wakil rakyat maupun konstituen sendiri, karena didasarkan pada preferensi warga.
Biaya pemilihan
Meski demikian, praktik demokrasi yang dikritik bukan sekadar lamanya proses pembuatan keputusan akibat terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan politik. Yang sering dijadikan rujukan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami defisit demokrasi adalah mahalnya biaya seleksi para pejabat publik melalui pemilu, baik pemilu legislatif, pilpres, maupun pilkada.
Kritik bahwa biaya pemilu di Indonesia ini cukup mahal memang benar adanya. Para kontestan, baik partai maupun calon, harus mengeluarkan modal cukup besar untuk membiayai persaingan dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik.
Tidak sedikit calon anggota DPRD harus mengeluarkan modal puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sementara itu, banyak calon anggota DPR harus mengeluarkan modal lebih dari satu miliar rupiah. Modal lebih besar dikeluarkan oleh capres dan calon kepala daerah.
Paling tidak ada dua faktor penting yang membuat para calon pejabat publik itu harus mengeluarkan modal besar. Pertama, desain pemilihan pejabat-pejabat publik saat ini memang dibuat seperti pasar. Persaingan dibuat sangat terbuka. Konsekuensinya, para calon pejabat publik harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mendongkrak perolehan suaranya.
Argumentasi itu setidaknya berbanding lurus dengan biaya iklan yang dikeluarkan oleh partai-partai politik dengan perolehan kursi di DPR/DPRD. Partai-partai yang memperoleh kursi lebih banyak adalah partai-partai yang cenderung mengeluarkan biaya iklan lebih banyak pula.
Kedua, berkaitan dengan perilaku memilih. Dalam lima tahun terakhir, perilaku memilih kita cenderung rasional. Kecenderungan demikian merupakan kabar menggembirakan karena perilaku semacam itulah yang seharusnya dimiliki oleh anggota masyarakat yang memilih jalur demokrasi.
Sayangnya kelompok pemilih rasional itu harus dibagi ke dalam dua kelompok lagi, yaitu pemilih yang rasional-program dan pemilih yang rasional-material. Pemilih rasional-program adalah pemilih yang menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kebijakan yang ditawarkan oleh para calon. Sementara pemilih rasional-material adalah pemilih yang menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan jangka pendek, seperti karena uang atau bentuk-bentuk pertukaran materi lainnya.
Besarnya biaya pemilihan akan lebih banyak lagi kalau dikaitkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara atau daerah. Dalam menyelenggarakan pilkada, suatu daerah harus mengeluarkan biaya miliaran rupiah. Bahkan, untuk provinsi besar bisa ratusan miliar. Biaya tentu akan lebih banyak lagi kalau ada pilkada ulang.
Masalah desain?
Mengingat fakta semacam itu, muncul usulan untuk mendesain ulang mekanisme pemilihan. Pilkada langsung, misalnya, tidak perlu dilakukan. Kepala daerah cukup dipilih DPRD sebagaimana sebelumnya. Argumentasinya, di samping pilkada langsung dianggap tidak efisien, tidak ada perintah konstitusi yang mengharuskan pilkada langsung sebagaimana pemilihan presiden.
Pilpres yang secara konstitusional harus dilakukan secara langsung pun dapat ditinjau ulang. Caranya, perlu ada amandemen kembali terhadap UUD 1945. Presiden cukup dipilih MPR. Untuk itu, perlu penghidupan kembali sosok MPR sebagaimana sebelumnya.
Sistem pemilihan anggota DPR/DPRD juga bisa diusulkan untuk ditinjau ulang. Yang mengemuka adalah usulan tentang pembatasan peserta pemilu. Kalau dalam tiga kali pemilu terakhir ini rata-rata diikuti oleh lebih dari 30 partai, ada usulan agar peserta pemilu maksimal 10 partai saja.
Usulan semacam itu memang sah-sah saja dan sangat masuk akal kalau semata-mata didasarkan pada pertimbangan efisiensi. Akan tetapi, sejak awal, demokrasi itu membutuhkan biaya dan tidak efisien. Kalau memang mau efisien betul, pilihannya tentu saja bukan demokrasi, melainkan otoriter atau totaliter.
Untuk itu, tantangan dari Indonesia adalah adanya formula yang memungkinkan praktik demokrasi tetap berlangsung secara baik, tetapi tidak begitu saja meninggalkan prinsip efisiensi dalam prosesnya.
Saya optimistis bangsa Indonesia yang biasa menggunakan pola pikir ”jalan tengah” akan menemukan formula itu. Dengan demikian, kita tidak terjebak pada desain dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lainnya.
Kacung Marijan Guru Besar dan Pengamat Sosial Politik

Opini Kompas 23 Desember 2010