29 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Politik Olahraga

Politik Olahraga

Publik terpana menyaksikan bagaimana politik dan olahraga berbaur dalam kombinasi yang sukar dipisahkan. Menyambut sukses tim nasional kita menembus final AFF, para elite tiba-tiba menyaru bak Sinterklas yang menghibahkan segala fasilitas kepada tim nasional: pertanda bahwa jasa politik pun ingin diakui atas prestasi tim Garuda.
Insiden berubahnya pendirian ketua PSSI pada instruksi salah satu ketua partai politik terkait penentuan harga tiket pun menjadi bunga rampai dari praksis politik yang memuakkan. Semua berharap pada persepsi: mereka cukup berjasa disebut sebagai pihak yang membantu sukses tim Garuda.
Gejala di atas dapat diperpanjang ke kasus lain. Teknologi politik serupa sering dipraktikkan dengan harapan bahwa rakyat dapat ditipu melalui pencitraan populer. Namun, semakin banyak kasus serupa, semakin mudah pula publik belajar bahwa mereka harus segera menemukan pengertian realistis atas semua bujuk rayu politik.
Akumulasi pengalaman yang dihimpun harus dipelajari sebagai kamus yang sesewaktu dapat dirujuk untuk menunjukkan masih terjadinya disfungsi pertanggungjawaban politik elite pada kasus besar. Pada gilirannya, teknik serupa akan dengan sendirinya kehilangan daya sentak.
Egoisme politik
Untuk saat ini belum mudah menerjemahkan persepsi politik elite ke dalam persepsi politik rakyat. Hubungan yang asimetris ini adalah buah matang yang jatuh dari kerimbunan egoisme politik elite yang menghalau jauh-jauh setiap partisipasi politik publik. Di lapis bawah, antrean yang menggila di antara ratusan ribu pemburu tiket bola jadi bukti psikologi politik yang tertekan. Rakyat terlempar ke luar sistem dan terpaksa diperas dengan eskalasi harga yang juga jauh dari masuk akal.
Eksploitasi dan diskriminasi amat benderang: pejabat dapat prestise istimewa, sementara rakyat menanti dan menginap di depan stadion 2-3 malam. Rakyat miskin yang mayoritas tak dibekali dengan instrumen yang memungkinkannya menyalurkan aspirasi dan berpartisipasi secara politik. Pembonsaian peran rakyat hanya sebagai pendulang suara terang-terang tak mencerminkan partisipasi demokratis yang sejati.
Dengan macetnya partisipasi, rakyat sebagai orbit politik saat ini memang telah kehilangan motivasi aktif dalam proses pengalaman dan berpikir politik. Maka, tindakan paling irasional pun ditempuh guna menengahi kegundahan antara ketiadaan daya dan keterbatasan kesempatan. Sepak bola dihinggapi fanatisme dan euforia yang hampir tak dapat lagi diterima akal sehat sebagai akibat langsung kemacetan dan kebuntuan rakyat.
Kepentingan pribadi
Penguasa yang lalim mencoba memanfaatkan keadaan dengan tendensi kepentingan pribadi dan melenggang dengan bebas. Citra dan keuntungan seluruhnya dibangun di atas fondasi fanatisme yang meluap. Eksploitasi dikerjakan dengan serius dan serakah, menghunus seluruh dimensi yang dapat dimasuki, mulai isi kantong hingga pikiran.
Pertanda menguatnya egoisme politik semakin tak tertangani lantaran tak satu pun metode perlawanan yang mampu menggugah kesadaran elite. Persekongkolan antarelite tak semata-mata meluas, melainkan justru mendalam. Independensi suatu hiburan sejenis sepak bola—jika olahraga ini boleh dijadikan contoh—hampir tak lagi dapat dijamin lantaran dirasuki oleh kepentingan sempit para elite. Bagaimana motif tersembunyi itu diartikulasikan? Apa akibat yang mungkin akan ditanggung?
Artikulasi paling nyata tentu saja dapat dilihat dari logika timbal-balik antara pemberi dan penerima—sementara rakyat tetap saja menduduki peran penonton.
John Nauright dan Schimmel (2005) melihat lebih dalam ihwal masuknya laku ekonomi-politik dalam olahraga. Dalam bentuk ekonomi-politik, maka olahraga menjadi komoditas yang diperas demi suatu kepentingan. Itu sebabnya, PSSI tak kuasa menahan pembusukannya sendiri karena sirkulasi pengurus yang seolah-olah dikukuhkan secara ”abadi” tanpa pengganti.
Rendy P Wadipalapa Peneliti pada LPPM Stikosa AWS Surabaya


Opini Kompas 30 Desember 2010