29 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Pilgub "Baru", untuk Siapa?

Pilgub "Baru", untuk Siapa?

satu hal yang dianggap mustahil di dunia ini adalah kembali ke masa lalu. Karena itu, banyak orang tidak ingin mengulangi kesalahan di masa lalu karena tidak bisa diulangi lagi.
Masa lalu dianggap sebagai pelajaran agar di masa depan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.
Namun tidak demikian dengan pemerintah kita. Pemerintah berencana untuk kembali lagi ke masa lalu. Baru-baru ini pemerintah mengklaim telah menyelesaikan RUU Pilkada yang baru. Dalam draft RUU Pilkada yang akan diserahkan ke DPR itu, pemerintah berencana kembali ke masa lalu dengan mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD. Meski sudah terbukti gagal di masa lalu, pemerintah berdalih titik berat otonomi daerah ada di level kabupaten atau kota sedangkan Gubernur merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah. Menurut pemerintah, pilkadasung hanya berlaku untuk kabupaten/kota, sedang kan Gubernur cukup dipilih DPRD saja. Disamping itu, pemilihan oleh DPRD ini juga disebut-sebut untuk menghemat anggaran Negara. Menurut pemerintah, karena gubernur merupakan wakil pemerintah pusat dan tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat, sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk pilgub tersebut, bisa dihemat.
Bukan pilihan bijak
Sebenarnya usulan pemilihan oleh DPRD ini, bukanlah lagi kali pertama. Jauh-jauh hari sebelumnya pemerintah sudah menghembuskan isu bahwa pilkada akan dikembalikan ke DPRD. Karena pilkadasung sejauh ini dianggap lebih banyak mudarat dari manfaatnya. Memang harus diakui, sejauh ini pilkadasung belum berhasil menghasilkan pemimpin yang kapabel seperti yang diimpikan sebelumnya. Pilkadasung malah menghasilkan sejumlah ekses negatif yang tak kalah mengkhawatirkan. Diantaranya, semakin masifnya politik uang, diwarnai kecurangan, kekisruhan, dan berbagai ekses negatif lainnya.
Akan tetapi dengan berbagai kelemahan yang ada pada pilkadasung, bukan pilihan bijak juga jika serta merta pemerintah langsung menggantinya secara total ke pola yang di masa lampau sudah terbukti gagal. Harusnya yang dilakukan adalah menyempurnakan pilkadasung agar benar-benar efektif dan sesuai harapan, bukan malah mengganti total seperti yang dilakukan pemerintah ini.
Sedikit flashback ke belakang, pemerintah harusnya tidak boleh melupakan sejarah gagasan lahirnya pilkadasung adalah adanya realitas empiris dimana telah terjadi pembajakan kekuasaan rakyat oleh DPRD. Kekuasaan yang besar yang diberikan kepada DPRD terutama dalam memilih dan menentukan kepala daerah waktu itu, dimanfaatkan DPRD untuk memuaskan nafsu politik pribadi dan golongannya. Fungsi check and balances yang ditugaskan Undang-udang pun diselewengkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Akibatnya, terjadi distorsi politik, dimana ada kecenderungan kepala daerah lebih "melayani" DPRD ketimbang masyarakat. Dalam perjalanan pemerintahan, kepala daerah lebih mengakomodir kepentingan DPRD dibanding kepentingan rakyat. Kepala daerah sepanjang periode "disandera" oleh DPRD dengan deal-deal politik yang disepakatai sewaktu pemilihan. "Hutang" pada saat pemilihan, dilunasi pada saat menjabat. Akibat status quo yang merugikan masyarakat ini, kemudian diusulkanlah pilkadasung. Harapannya agar kepala daerah terpilih bertanggung jawab langsung kepada rakyat, tidak lagi tertodong oleh DPRD.
Mencabut hak politik rakyat
Tentu saja kita heran mengapa pemerintah dengan begitu mudahnya mengganti pola yang sebenarnya menjadi solusi pada waktu itu dan mengembalikannya kepada pola yang dulu sudah merupakan bagian dari masalah. Sangat lebih bijak jika pola yang ada sekarang kita sempurnakan agar bisa berlangsung lebih demokratis, lebih efektif dan sesuai sasaran. Banyak langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengefektifkan pilgub langsung. Misalnya dengan memberlakukan pilkada serentak. Disamping itu pemerintah seharusnya perlu mengevaluasi mengapa pilkadasung terkesan mahal dan menghambur-hamburkan uang. Pemerintah harusnya jujur juga bahwa terjadinya banyak ekses-ekses negatif dalam pilkadasung selama ini karena minimnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam setiap pilkada. Daerah dibiarkan sesuka hatinya menentukan sendiri anggaran untuk melakukan pilkada sehingga yang terjadi seperti yang kita sesalkan tersebut yaitu penghambur-hamburan anggaran.
Maka sangat mengherankan jika pemerintah belum melakukan upaya penyempurnaan namun disisi lain langsung menggantinya dengan pola yang terbukti sudah korup dan tak bisa diandalkan. Melihat kesenjangan alur berpikir pemerintah ini, tidak usah heran jika banyak kalangan mencurigai kentalnya muatan politis dan kepentingan tertentu yang menjadi mainstream pengusulan kebijakan ini. Alasan penghematan dan otonomi daerah ditengarai hanya sebagai lipsticĂ­ untuk "membungkus" maksud dari kepentingan tersebut.
Satu hal lagi, pengembalian ke system lama ini berarti pemerintah tanpa sadar sedang men-depolitisasi kembali masyarakat. Strategi yang dulu dilakukan Orde baru untuk memuluskan semua langkah dan kebijakan politiknya, yaitu menjauhkan masyarakat dari politik. Masyarakat dilarang berpolitik supaya semua kebijakan Orba bisa langgeng dan tanpa protes. Tidak tertutup kemungkinan hal yang sama juga dilakukan rezim yang sedang berkuasa. Diakui atau tidak, pemerintah telah mencabut hak politik masyarakat yang selama ini sudah diberikan meski hanya untuk satu kategori saja yaitu pemilihan gubernur. Pemerintah telah "melarang" masyarakat berpolitik atau menggunakan hak politiknya dalam memilih pemimpinnya dalam hal ini gubernur. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik, aktif di Perkamen.

Opini Analisa Daily 30 Desember 2010