29 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Remunerasi dan Profesionalisme Polr

Remunerasi dan Profesionalisme Polr

Memasuki 2011, ada kabar gembira bagi jajaran kepolisian. Jika tidak ada aral melintang, berdasarkan Peraturan Presiden No. 73 Tahun 2010 tentang Tunjangan Kerja Pegawai di Lingkungan Kepolisian, setiap anggota Polri dari pangkat yang terendah sampai tertinggi akan menerima tunjangan kinerja (remunerasi). Tentunya ini hal wajar, jika menilik kinerja polisi selama ini terutama di level bintara dan perwira pertama yang bekerja tidak mengenal waktu. Hari libur pun mereka disibukkan dengan pekerjaan yang menunggu kehadiran mereka seperti pengaturan arus lalu lintas, pengamanan objek vital, tempat ibadah, melakukan patroli, mendatangi tempat kejadian perkara (TKP), mengejar pelaku kejahatan, dan sebagainya.
Roda organisasi Polri bekerja selama 24 jam dalam melayani kepentingan masyarakat agar tercipta situasi aman dan nyaman. Maslow menyebutkan, kebutuhan fisik atau jasmaniah (physical needs) dan memperoleh keselamatan/perasaan aman (security needs) adalah dua hal terpenting yang sangat menentukan perilaku dan tindakan manusia. Oleh karena itu, untuk menciptakan rasa aman dan tentram, Polri dituntut bekerja secara proporsional, profesional, independen, tanpa diskriminasi dan beradab. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Diharapkan remunerasi akan memotong mata rantai atau meminimalisasi praktik tidak terpuji yang terjadi selama ini seperti pungutan liar, suap, kongkalikong, korupsi yang dilakukan oknum aparat, sehingga merusak citra Korps Bhayangkara.
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegak hukum menjalankan dua tugas, yaitu di satu pihak untuk mencapai ketertiban (order) dan di pihak lain melaksanakan hukum (law). Ini tampak dalam tugas kepolisian. Namun, hukum dan ketertiban sering bertentangan sehingga pekerjaan polisi pun paling gampang mendapat kecaman dari masyarakat (R. Abdusalam, 1997 :4). Apalagi, jika perilaku koruptif sudah membudaya, tentunya akan memperlemah upaya penegakan hukum, karena dijalankan atau dikerjakan hanya lips service.
Namun, bukan tanpa beban jika benar remunerasi akan turun, polisi dituntut lebih meningkatkan kompetensi di berbagai bidang, seperti dalam pelayanan pengurusan SIM, STNK, BPKB, pembuatan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), yang bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Ini sebenarnya sudah terangkum dalam program kerja kepolisian dalam rangka reformasi birokrasi dan dijabarkan dalam Quick Win Polri. Transparansi, akuntabel, modern, dan humanis, menuju polisi profesional dan proporsional. Itulah komitmen Polri saat ini, dalam meraih kepercayaan publik (trust building).
Akan tetapi dalam praktiknya, harapan tersebut masih memerlukan kerja keras dari seluruh jajaran kepolisian. Polisi harus berani mengambil terobosan atau inovasi agar masyarakat tidak susah dengan berbagai aturan yang dianggap baku tetapi tetap menyulitkan masyarakat, tanpa mengabaikan penegakan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pun dalam penegakan hukum, polisi harus berani melawan cukong yang mengajak kongkalikong atau intervensi. Selama ini ada kecurigaan, perilaku koruptif yang terjadi adalah mata rantai yang terjadi, tidak berjalan secara individu tetapi ada tekanan dari atasan kepada bawahan. Tentunya ini harus menjadi bahan evaluasi dan mawas diri dari kalangan internal.
Tren kejahatan
Memasuki 2011 diyakini tantangan tugas Polri dalam rangka melindungi, mengayomi, serta menegakkan hukum semakin berat. Angka kriminalitas dan keanekaragaman kejahatan bermunculan, mulai dari jenis kejahatan konvensional, transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara termasuk terorisme, serta tindakan menyimpang lainnya, seperti berandal bermotor.
Sebagai gambaran di Kota Bandung, kurun waktu Januari-November 2010, data pencurian kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor) terjadi 1.559 kejadian, roda empat (mobil) 159 kejadian, curat 630 kejadian, curas 354 kejadian. Begitu pula pergolakan sosial, politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan, yang berkembang begitu cepat, terkadang kebablasan dan berakhir dengan tindakan tidak menguntungkan terhadap situasi keamanan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Semua itu harus diimbangi dengan kemampuan SDM yang kuat disertai tersedianya alat khusus yang canggih. Hal itu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka meningkatkan kompetensi kinerja anggota kepolisian memberikan pelayanan, perlindungan, dan penegakan hukum terbaik bagi kepentingan masyarakat. Kita berharap, remunerasi akan dijadikan tantangan bagi kepolisian untuk meningkatkan profesionalismenya, baik dalam pelayanan maupun penegakan hukum.***
Penulis, alumnus STIA LAN Bandung.

Opini Pikiran Rakyat 30 Desember 2010