29 Desember 2010

» Home » Okezone » Opini » Beban Jiwa Timnas

Beban Jiwa Timnas

Olahraga sewajarnya identik dengan menang dan kalah. Tetapi, begitu gawang tim nasional sepak bola Indonesia terbobol bertubi-tubi pada final leg pertama di Bukit Jalil, Malaysia, 26 Desember silam, terjadilah sebuah reaksi mendalam sehingga saya bersama lima orang teman yang ikut menonton di tribune tier 3 dapat ikut merasakan sebuah proses perubahan cepat dari klimaks menjadi antiklimaks.

Hanya setengah jam sebelumnya dua orang tenaga kerja wanita melonjak kegirangan sambil meneriakkan takbir karena mendapatkan dua tiket sisa, namun pada paruh kedua pertandingan Indonesia-Malaysia gegap gempita dukungan moril untuk para pemain tim nasional (timnas) pun meredup sunyi. Saya bahkan harus menyaksikan para penonton Indonesia yang berbondong-bondong beranjak pergi meninggalkan tribune. Rasa prihatin yang saya rasakan berubah menjadi rasa pilu yang tertahan. Saya tidak terbayang rasa hati pemain timnas pada saat mereka menoleh ke arah tribune para pendukung yang semakin surut dan hilanglah lautan warna merah dan jeritan optimistis Indonesia yang diselingi lagu Garuda di Dadaku walau hanya satu kali dinyanyikan.

Suasana Kejiwaan

Dalam kerangka pola kognisi perilaku, berlangsung sebuah rangkaian proses ABC, yaitu A sebagai peristiwa pencetus (activating event), B sebagai pikiran otomatis yang irasional dan bersifat negatif (belief),dan C sebagai konsekuensi perasaan dan perilaku (consequences). Beberapa peristiwa pencetus kondisi psikologis para pemain timnas adalah permainan yang berlangsung di kandang lawan kita dan bobolnya gawang Indonesia pascaprotes keras Markus tentang laser.

Peristiwa pencetus tersebut jika disertai dengan pikiran otomatis yang irasional dan bersifat negatif tentu akan berakhir pada beberapa konsekuensi buruk seperti perasaan tertekan, buyarnya konsentrasi, dan hilangnya kepercayaan diri sehingga bukan hanya permainan tidak berkembang tetapi juga berbuntut pada lengahnya pertahanan timnas secara kolektif. Selain mengecam berbagai ekspos media berlebihan dan salah kaprah rangkaian kegiatan yang nonproduktif sehingga ikut merusak jadwal koordinasi, istirahat, dan diet makan para pemain timnas, secara pribadi Riedl mempunyai insight bahwa timnas kalah pada saat kritis.

Dia tidak mengetahui apa isi pikiran dari para pemain timnas pada menit-menit tersebut. Riedl pun merasakan kedaruratan untuk mengajak berbicara setiap personel timnas tentang apa yang ada dalam pikiran mereka walau akhirnya semua akan dikembalikan kepada para pemain untuk memperbaiki dirinya. Di sini menjadi semacam entry point akan pentingnya peran psikiater dan psikolog untuk mendampingi secara lebih efektif para pemain timnas. Saya pribadi hanya bisa memprediksi beberapa kemungkinan isi pikiran otomatis mereka yang negatif, salah satunya ada awfulzing (pikiran yang bersifat memperburuk fakta) bahwa mereka khawatir akan mengecewakan bangsa Indonesia apabila kalah dalam final AFF 2010.

Kekhawatiran ini dipicu berbagai faktor. Pertama, ekspos media massa yang luar biasa menyanjung mereka sebagai “pahlawan”, tetapi kebablasan karena tidak memberikan mereka ruang untuk sterilisasi. Jurnalis masih diperbolehkan “menempel” ketat para pemain timnas sampai dalam pesawat menuju Kuala Lumpur sehingga alih- alih menjadi “pahlawan” malah menjadi “objek” pemberitaan demi rating TV dan ikut membuyarkan momen-momen penenangan jiwa para pemain jelang bertanding hidup mati melawan Malaysia. Tanpa dirancang khusus waktu untuk istigasah, timnas justru bisa berdoa di pesawat dengan lebih khusyuk. Kedua, perlakuan tokoh-tokoh yang bertentangan dengan kaidah reward-and-punishment yang tepat demi tercapainya konsistensi proses stimulasi semangat.

Karena jika kita melirik riwayat para pesepakbola dahulu, seperti Maulwi Saelan yang dalam wawancara mengatakan tidak ada iming-iming reward uang atau almarhum Sutjipto Suntoro yang pada tahun 70-an menjadi Asian All Star dan akhirnya sakit kanker hati. Tak ada jaminan sosial baginya sebagai “pahlawan” yang kebetulan juga digandrungi perempuan-perempuan Thailand kecuali uluran tangan para teman dan penggemar bola untuk membiayai penyembuhan. Ketiga, beban historis yang dipikul oleh para pemain timnas kini. Dunia sepak bola Indonesia telah begitu lama tidak berprestasi dalam turnamen-turnamen internasional seperti SEA Games, Asian Games, AFF, Olimpiade, dan lain-lain.

Wajar jika timbul kekhawatiran berlebih bahwa jika mereka kalah, masa depan dunia sepak bola Indonesia akan kembali suram dan tidak terurus. Padahal tugas timnas cukup fokus bermain, dan biarkan PSSI yang wajib hukumnya untuk membenahi sistem. Sebagai pemain ke-12 dari kesebelasan timnas, suporter timnas ikut mengalami reaksi kekecewaan. Ada dua kemungkinan kenapa para pendukung di Bukit Jalil turut frustrasi atau merasa down sehingga memutuskan untuk pergi tanpa menunggu pertandingan kelar. Pertama, rasa empati dan melebur terhadap kondisi kekalahan timnas sehingga tidak sanggup melihat para pahlawan mereka pada sisa-sisa detik terakhir pertandingan.

Kedua, tidak siap (denial) untuk kembali tidak menang yang disalahartikan bahwa tidak menang identik dengan kalah dan pecundang, bukan kemenangan yang tertunda atau butuh perbaikan ke depan. Ketiga, lupa bahwa timnas sudah masuk ke final AFF 2010 dan menjadi stimulan dari hadirnya kembali kebanggaan nasional (national pride). Jika terpelihara, lambat laun hasil stimulasi ini akan menjadi internalisasi nilai dalam setiap jiwa rakyat Indonesia dan mengkristal menjadi jiwa patriot sehingga tidak hanya semata-mata ikut menyanyikan lagu Garuda di Dadaku, tetapi tumbuh keinginan kuat untuk berprestasi bagi Indonesia seperti para pahlawan mereka dalam timnas.

Strong Word

Pada Rabu, 29 Desember 2010, akan menjadi salah satu hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Ada tumpuan harapan seluruh nusa dan bangsa bahwa sebuah keajaiban dan kemampuan superhero akan membalikkan situasi di mana skor akhir pertandingan leg kedua antara Indonesia-Malaysia akan berakhir dengan skor 4-0 atau 5-1 untuk Indonesia. Tidak ada yang tidak mungkin, tetapi pada saat kita menggunakan strong word seperti timnas “harus” atau “pasti” menang pada pertandingan leg kedua, sebuah beban baru yang sangat berat dipikulkan pada bahu masing-masing pemain timnas.

Riedl sudah mengatakan bahwa dilakukan evaluasi performa timnas di leg pertama untuk mengatur strategi di leg kedua. Hal ini menunjukkan kedewasaan dan sportivitas yang jomplang dengan pembelaan diri dari berbagai pihak yang menggunakan “proyeksi” alias mencari kambing hitam atas kekalahan (sementara) di leg pertama. Jika memang sudah teridentifikasi, baik penyalahgunaan laser, petasan, provokasi penonton Malaysia, dan kemungkinan absurd seperti serbuk penyebab gatal, selesaikanlah dengan mengoordinasi bentuk-bentuk antisipasi, yang seharusnya juga dilakukan pra-Bukit Jalil.

Semoga juga tim psikiater dan psikolog yang mendampingi para pemain timnas dalam periode penting menuju leg kedua dapat mendampingi dengan berbagai metode, termasuk memberikan kesempatan bagi para pemain untuk mengeluarkan keluh-kesah atau ventilasi kondisi batin masingmasing. Saya berharap selain steril dari media massa, juga pemain tidak perlu menggunakan jejaring media sosial seperti Twitter untuk sementara waktu. Para pemain timnas tidak wajib memberikan penjelasan atas hasil leg pertama (3-0) di Bukit Jalil, Malaysia. Biarkan para pendukung diehard timnas yang menganalisis jalannya permainan.

Merekalah yang kemudian ikut menjelaskan ke masyarakat dan mengarahkan seluruh rakyat Indonesia untuk terus mencintai timnas yang telah mengharumkan nama bangsa dengan prestasi spektakuler. Yang terpenting adalah Stadion Gelora Bung Karno bergetar oleh sikap patriot para pendukung timnas dan para pemain dapat tampil lepas dengan tetap terukur pada leg kedua. Menang atau kalah, tidak ada yang kuasa menyangkal bahwa timnas adalah pahlawan bagi bangsa Indonesia.(*)

dr Nova Riyanti Yusuf SpKJ
Anggota Komisi IX DPR RI, Fraksi Partai Demokrat


Opini Okezone 30 Desember 2010