29 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Potret Penegakan Hukum

Potret Penegakan Hukum

"Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapamu, dan kaum kerabatmu."
Q.S. 4 (An-Nisaa): 135
Rekam jejak perjalanan hukum tahun 2010 memberi informasi tentang perspektif perjalanan hukum kita. Bagaimana potret dan penegakan hukum di Indonesia? Satu yang terlupakan bahwa realitas perubahan politik berdampak pada pekerjaan hukum. Senyatanya kekuatan politik telah bekerja secara diam-diam dan tetap menempatkan pengadilan bekerja di bawah kekuasaannya.
Upaya penegakan hukum secara profesional masih diliputi kendala rapuhnya sistem yang disebabkan moralitas elite politik dan metodologi implementasinya dalam kebijakan politik riil. Akibatnya, proses peradilan menjadi korup, ditambah sikap masyarakat yang permisif. Lihat saja kasus Bibit dan Chandra yang menuai polemik, Bank Century, megakorupsi BLBI yang merugikan hingga ratusan triliun rupiah sampai kini belum mendapat perhatian dan komitmen dari lembaga penegak hukum. Pengungkapan mafia hukum oleh mantan Kabareskrim Susno Duaji, kekerasan yang menimpa aktivis antikorupsi Tama Satrya Langkun, pelesiran Gayus ke Bali, kasus terorisme kurang memperhatikan mekanisme kelayakan demokratik, dan dugaan suap hakim Mahkamah Konstitusi.
Misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk lembaga penegak hukum. Di sisi lain, tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena diskresi perlakuan yang diperbolehkan undang-undang. Pada sisi lain, keberadaan pengacara tidak jarang melenceng dari koridor, bablas tanpa etika.
Negara demokrasi tetapi penegakan hukumnya menggunakan cara-cara otoritarian seperti kebiasaan menangkap dan menahan, sedangkan bukti urusan belakangan. Inilah yang disebut dengan rezim male captus bene detentus yang pernah dipraktikkan AS di Guantanamo. Perubahan besar dari rezim Orde Baru ke rezim Orde Reformasi berpengaruh terhadap cara berhukum.
Demokratisasi dalam hukum melahirkan lembaga-lembaga independen, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan banyak komisi lainnya. Namun di sisi lain, mengakibatkan disorientasi polisi, jaksa, dan hakim yang tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal tersebut. Yang terjadi kontrol internal dilakukan masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal. Sementara kontrol eksternal dilakukan orang dalam lembaga penegak hukum itu sendiri. Tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa. Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar.
Kini segalanya terbuka untuk dilihat, dituntut, dan digugat. Hakim, jaksa, legislator, menjadi bulan-bulanan rakyat atas nama demokrasi, akuntabilitas, dan transparansi. Siapa saja, kapan saja, dapat tampil di hadapan Mahkamah Konstitusi untuk menggugat produk-produk legislatif.
Banyaknya kasus mafia hukum yang terungkap membuat masyarakat semakin tidak percaya terhadap aparat penegak hukum Indonesia. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak memercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur. Untuk itu, institution building dimulai dari titik nol dengan melakukan pembabatan yang ekstrem terhadap seluruh instrumen penegak hukum yang terbukti terlibat dalam praktik mafia peradilan.
Praktik penegakan hukum yang memihak dan korup menjadi duri dalam proses reformasi hukum. Nuansa ketidakpastian hukum yang melebar semakin membuat pesimistis banyak pihak, ditandai dengan banyaknya pengaduan masyarakat tentang berbagai kasus yang tidak selesai atau diselesaikan dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak memperkuat sistem ekonomi nasional, bahkan meruntuhkan efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi serta menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.
Proses penegakan keadilan melalui instrumen hukum selalu diterpa dilema yang tak berkesudahan. Tarik-menarik kepentingan hukum dengan kepentingan di luar hukum mengayun pendulum keadilan yang sering tidak memosisikan diri pada porsi yang semestinya. Pengembangan sistem peradilan harus merujuk kepada spirit moralitas konstitusional. Diperlukan kematangan konseptual untuk bergerak dari teks ke konteks dengan pendekatan hermeneutik.
Salah satu tiang penyangga tegaknya kedaulatan negara adalah pengadilan berdaulat. Entitas pengadilan sejatinya merupakan lembaga yang bertugas mencerahkan dan memberi arah perjalanan pera-daban bangsa. Penyelesaian sengketa antara rakyat dan pe-nguasa atau antara sesama warga yang diproses melalui peradilan yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat kohesi sosial bagi para pihak yang bersengketa. Kezaliman dalam penegakan hukum harus dihentikan di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa dan berkemanusiaan yang adil dan beradab. Saat-saat berat ini harus dihadapi dan kita berharap tidak kehilangan kompas serta memiliki extraordinary people untuk menjadikan negara hukum ini rumah yang membahagiakan seluruh rakyatnya.***
Penulis, kandidat doktor Ilmu Hukum Unpad, dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Unisba.

Opini Pikiran Rakyat 30 Desember 2010