29 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Indonesia sebagai Pusat Kekuatan Maritim Strategis

Indonesia sebagai Pusat Kekuatan Maritim Strategis

Penasihat Menteri Pertahanan AS (Amerika Serikat) dan penulis buku terkenal, Robert Kaplan, dalam buku terbarunya, Moonsoon (2010), menyebutkan bahwa wilayah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, secara de facto merupakan jantung kehidupan Asia.
Selat-selatnya merupakan urat nadi strategis perdagangan dunia dan juga menjadi jalur pelintasan kapal-kapal raksasa yang membawa supply energi.
Menurut jaringan media internasional, Aljazera (2009), sebanyak 94.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya. Jumlah ini ternyata jauh lebih banyak dibandingkan  Terusan Suez (25.000) dan Terusan Panama (12.000). Di samping itu, kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka mengangkut sekitar seperlima sampai seperempat dari perdagangan laut dunia dan setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal-kapal tanker. Fakta ini belum termasuk data strategis selat lainnya di perairan Nusantara dan kandungan kekayaan laut kita.
Berdasarkan gambaran di atas, pernyataan Robert Kaplan (2010) tersebut menjadi mengherankan, ternyata bangsa lain mampu melihat betapa strategisnya negara kita. Menariknya, kita seolah-olah tidak peduli akan keberadaan ruang hidup kita.
Momen meninggalkan tahun 2010 dan memasuki 2011, dapat digunakan sebagai titik awal memasuki sejarah dan babak baru kehidupan berketahanan negara. Kenyataan bahwa kita belum mampu menyadari di mana sesungguhnya “ruang hidup” kita dan belum mampu memosisikan diri sebagai pemain penting maritim di kawasan, pada tahun 2011 seharusnya mem­buat kita lebih berani menilai, membuat keputusan, dan meninggalkan pilihan-pilihan politik dan strategi pertahanan negeri ini yang mungkin salah.
Kembali mengingat apa yang terjadi sekitar 12 tahun yang lalu, dampak reformasi 1998 yang telah memisahkan persoalan pertahanan dengan keamanan secara hitam-putih ternyata malah menimbulkan deviasi dan inkonsistensi kebijakan pertahanan keamanan. Fakta ini terlihat pada UU yang berkaitan dengan pertahanan keamanan negara yang di­sahkan pada waktu itu. Namun, dampak yang lebih buruk adalah bagaimana kemudian kita semua seperti kehilangan arah untuk mendefinisikan secara tegas ancaman nyata yang harus dihadapi negeri ini dan bagaimana harus mem­bangun dan membagi peran militer kita.
Berdasarkan paradigma militeristik, keamanan negara sebenarnya dipandang sebagai keadaan di mana rakyat Indonesia secara penuh dilindungi dalam setiap aspek kehidupan, terutama ekonomi dan pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka menciptakan kesejahteraan negara. Untuk itu, usaha pertahanan negara harus diarahkan untuk menciptakan kondisi aman tersebut. Dengan demikian, pertahanan negara harus dibangun berdasarkan pendefinisian atas ancaman, mengingat ancaman mendasar dan terbesar terhadap kedaulatan bangsa berasal dari lingkungan internasional akibat globalisasi dan pasar bebas. Dengan demikian, persoalan pertahanan keamanan bukanlah konsep yang mutually exlusive, yang dapat dipisahkan secara hitam-putih.
Reformasi pertahanan berbasis human security yang diusung melalui agenda SSR (Security Sector Reform) faktanya juga telah menyebabkan pelemahan kekuatan pertahanan, sehingga menurunkan kapabilitas militer dalam melindungi wilayah laut, darat, dan udara Tanah Air kita.
Alih-alih berupaya kuat untuk membangun kembali, kita malah menggiringnya pada “penghakiman” sebagai tentara pelanggar HAM, pelaku bisnis yang tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi, TNI dianggap sebagai biang kerok berlangsungnya pemerintahan Orde Baru dengan tuduhan mematikan nilai-nilai demokrasi. Sepertinya kita sudah lupa, bahwa tentara sebagai alat negara, sejak lahirnya hingga detik ini, tugasnya semata hanya menjalankan keputusan politik sipil.
Terlepas dari rapor buruk yang dialamatkan pada TNI, fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang “ternyata” merupakan jantung dan urat nadi Asia, membuat kita sudah waktunya menyadari bahwa arah kebijakan untuk mem­bangun kekuatan negara perlu dikritisi lebih lanjut. Di mana seharusnya kebijakan dilandaskan pada visi maritim de­ngan fokus pada angkatan laut dalam sebuah Trimatra terpadu.
Jika gagasan ini disepakati, maka dalam proses perencanaan pembangunan sebagai sebuah negeri maritim yang kuat, terlebih dahulu harus dibahas konsepsi mengenai pertahanan dan keamanan negara untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pertahanan negara, strategi pembangunan, dan pembinaan kekuatan pertahanan negara, gelar kekuatan dan pengorganisasian TNI sebagai Trimatra Terpadu, pengelolaan rakyat, SDA, serta industri strategis. Selanjutnya, dirumuskan perencanaan program pembangunan jangka panjang, sedang dan pendek, juga rea­lisasi dukungan anggarannya. Terakhir, barulah dibahas legislasi dan peraturan yang mendukung pelaksanaan kebijakan, sampai tataran operasional. Dengan begitu, semua aspek dan tingkatan pelaksanaan, dapat teratur dan terukur.
Membangun TNI menjadi alat negara yang profesional dan disegani melalui postur yang kuat dan berteknologi tinggi merupakan tugas sipil. Dengan demikian, dibutuhkan kesadaran dari para elite politik sipil bahwa kebutuhan anggaran pertahanan seharusnya menjadi prioritas, dan yang terpenting adalah adanya political will untuk mewujudkannya. Berdasarkan pada pemahaman yang mendalam atas posisi geografi Indonesia yang strategis, bagaimanapun juga kita harus memiliki kemampuan meletakkan kepentingan internasional dalam melakukan analisis atas Indonesia berdasarkan arsitektur keamanan kawasan.
Pertanyaan selanjutnya, berapa jumlah persenjataan dan unit tempur yang dibutuhkan? Perhitungannya harus disesuaikan dengan kondisi wilayah dan direncanakan berbasis pada prioritas yang ditetapkan atas dasar fakta ancaman dengan meletakkan kepentingan internasional berdasarkan arsitektur keamanan kawasan. Di samping itu, pembangunan kekuatan maritim tersebut juga perlu dikelola dalam kerangka manajemen risiko.
Claudianus pernah berkata: “Minuunt prasentia famam”–ketika jauh sesuatu itu akan dikagumi, tetapi ketika terlalu dekat kekaguman itu selalu akan berkurang. Kiranya, sejenak kita harus memandang Indonesia dari luar sana, sehingga kita mampu menyadari betapa berharganya Tanah Air yang kita miliki. Dengan begitu, diawali kembali di tahun 2011, kita semua dapat secara sungguh-sungguh memiliki keinginan untuk menjaga, mempertahankan, serta melindungi Tanah Air kita tercinta, Indonesia. n

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Indonesia, Direktur Eksekutif IODAS (Institute of Defense and Security Studies).

Opini Sinar Harapan 30 Desember 2010