29 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Meruwat Bangsa

Meruwat Bangsa

Ritual modern Tahun Baru merupakan bentuk sekuler penghayatan waktu tanpa fondasi sakral. Waktu dihayati bergerak maju linier tak pernah kembali, menjadi panggung bagi pengalaman dan hal baru. Tahun berganti tahun, tetapi waktu tidak begitu saja menghadirkan kebaikan.
Tahun Baru Ro’sh ha-Shana khusyuk dirayakan sebagai hari pengadilan Tuhan. Tiap orang diadili. Nasibnya di tahun baru ditentukan di hari kesepuluh. Sepuluh hari orang berintrospeksi, berdoa, bertobat, berorientasi baru, dan bersedekah. Semua demi terhindar dari nasib buruk.
Ruwatan periodik
Dalam ritual tradisional pergantian tahun tak hanya perayaan siklus alam, tetapi juga regenerasi hidup. Demikian Mircea Eliade dalam Cosmos and History: The Myth of Eternal Return. Reproduksi pengalaman kosmogonis. Aktivasi pengalaman penciptaan dari khaos ke kosmos. Putusnya rantai khaos, kekeliruan, keburukan, dan kemalangan untuk keteraturan, kebenaran, kebaikan, dan keberuntungan.
Pada 2009 banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Namun, Indonesia hanyut dalam euforia negeri ketiga di Asia dengan pertumbuhan positif tertinggi. Momentum itu tak dimanfaatkan memperkukuh kedaulatan perekonomian nasional. Pemerintah larut dalam pujian negara maju yang sulit mengekspansi ekonomi. Indonesia jadi pasar negara maju dan pelabuhan yang aman untuk membungakan kapital mereka.
Pada 2010 pertumbuhan ekonomi banyak negara melampaui pertumbuhan Indonesia. Untuk tahun 2011 beberapa negara bahkan mematok pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Namun, optimisme itu tak dimiliki Indonesia. Belum terlihat tanda pembalikan arus deindustrialisasi.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat bahwa APBN dari tahun ke tahun terus naik. Namun, kenaikan itu lebih banyak untuk membiayai kepentingan birokrasi dan elite politik daripada jadi ongkos kesejahteraan rakyat. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia terus turun dan pada 2009 di urutan ke- 111, lebih buruk daripada Palestina (110).
Meski pendapatan per kapita sudah 3.000 dollar AS, Indonesia masih dengan 70 juta penduduk layak menerima beras untuk rakyat miskin, 76,4 juta penduduk layak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin, hampir 100 juta penduduk (42 persen) berpengeluaran kurang dari 2 dollar AS per hari. Dengan kualitas sumber daya manusia seperti itu, Indonesia sulit jadi negara maju.
Imbauan agar berpolitik sehat di tahun baru dan menteri berefleksi tak diikuti dengan identifikasi apa sakit dan soalnya. Itu sebabnya, di tahun yang baru kita tetap mengidap penyakit lama. Elite politik saling menyandera dengan kasus korupsi. Politisasi persoalan hukum. Selalu ada momentum mengoperasi kanker bangsa, tetapi hanya kegaduhan dan antiklimaks. Substansial Indonesia belum berubah.
Asketisme politik
Negara berkembang yang kaya sumber daya alam sering tak berdaya menyejahterakan rakyat. Daripada mengambinghitamkan kapitalisme, keburukan tata kelola pemerintahan dan kelambanan reformasi birokrasi sesungguhnya sumber masalah, demikian Hernando de Soto dalam The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Falls Everywhere Else.
Banyak elite politik Indonesia tidak peduli masa depan kedaulatan bangsa. Tak ada upaya sistematis memperbaiki sistem investasi perminyakan yang menguntungkan rakyat dan negara. Di era globalisasi kita kalah di kandang sendiri. Produk kita kalah bersaing dalam harga dan mutu, termasuk hasil pertanian. Indonesia belum jadi negara-bangsa yang tangguh.
Sejauh ini korporasi global tak sulit menaklukkan Indonesia. India sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi kedua di dunia dalam posisi jual mahal saat didekati kelima pemimpin negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia juga didekati, tetapi dalam posisi jual murah karena nasionalisme dan karakter elite politiknya lemah.
Mungkin nasionalisme kita sudah hancur sejak G30S seperti kata Tan Swie Leng dalam G30S, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme: Pemikiran Cina Jelata Korban Orba. Kejatuhan Soekarno memulai rezim pro-penanaman modal asing yang dalam pelaksanaannya identik dengan menggadaikan kekayaan alam. Sampai kini liberalisasi tak diikuti ketahanan nasional di seluruh aspek.
Sedikit pujian Barat untuk demokratisasi di Indonesia cukup membuat elite politik terbuai, tak menciptakan terobosan demokrasi yang efisien, murah, dan berkualitas. Bentuk monarki dipersoalkan dengan kegaduhan yang tidak perlu, sementara takhta untuk rakyat sudah lama tak berada di panggung politik. Kekuasaan hanya dilihat sebagai jalan memperkaya diri dan dimanfaatkan keluarga pejabat.
Saat berada di ibu kota sebuah provinsi yang kaya sumber daya alam tetapi termasuk termiskin, saya berseloroh kepada teman, ”Kotamu tahun ini termasuk yang terkorup dari 50 kota besar di Indonesia.” Jawabnya, ”Itu tanda kami banyak uang.” Berbeda dari elite politik China yang berjuang memperkaya pundi-pundi negara, politisi kita menikmati dan menghamburkan uang negara, tak prihatin dengan besarnya utang negara.
Persoalan kita adalah birokrasi korup dan penegakan hukum yang lemah. Mudah melihat aroma korupsi dalam pengaspalan. Mudah memergoki layanan publik yang sarat pungutan liar. Namun, pemerintah tak proaktif bersihkan diri dari praktik semacam itu. Dalihnya, menunggu laporan masyarakat di tengah publik yang permisif dan apatis. Korupsi birokrasi berjenjang, saling kasih kesempatan.
Pemerintah tidak serius mengikis mentalitas proyek dalam kultur birokrasi. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menaikkan tarif korupsi karena risiko tertangkap tangan lebih besar. Koruptor masih dihukum ringan, tetapi terpidana makar karena mengibarkan bendera lain dihukum 15 tahun penjara.
Koruptor kita berlindung pada partai dan kekuasaan. Politik nasional digiring memihak kepentingan pengusaha di atas keterpurukan rakyat kecil. Riuh rendah politik di Tanah Air berbanding terbalik dengan sedikit elite politik yang berhasil memenangkan hati rakyat, menjadi pelaku sejarah yang mengubah azab bangsa, menciptakan getar dalam jiwa rakyat, merekayasa keadaban dan peradaban bangsa.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Opini Kompas 30 Desember 2010