29 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Komite Inovasi Nasional, ‘Quo Vadis’?

Komite Inovasi Nasional, ‘Quo Vadis’?

Profesor Riset Bidang Ekonomi Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI
Nasib perkembangan kemampuan teknologi nasional dalam arti luas (termasuk pengetahuan masyarakat) sejak deklarasi Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) tanggal 10 Agustus tahun 1995 masih berjalan di tempat. Dengan menggunakan ukuran total factor productivity (TFP), misalnya, tercatat bahwa selama 15 tahun kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi tidak pernah melebihi faktor produksi modal dan tenaga kerja.
Pada 2009, besarnya kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi diukur dari angka TFP hanya mencapai angka 1,02 persen dari total pertumbuhan ekonomi 4,5 persen. Sedangkan kontribusi faktor modal dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing mencapai angka 2,1 persen dan 1,38 persen.
Rendahnya kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut menyebabkan ranking technological readiness Indonesia di lingkup global berada pada urutan 88 dari 134 negara yang diukur (World Economic Forum, 2009). Di tingkat ASEAN, posisi Indonesia bahkan di bawah Vietnam yang berada pada urutan 79. Apalagi jika dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura. Kedua negara tersebut berada pada ranking 34 dan 7. Mengapa kemampuan teknologi nasional masih berjalan di tempat?
Tiga Faktor Penyebab
Tentu banyak faktor penyebabnya. Namun, paling tidak terdapat 3 penyebabnya, yaitu berkaitan dengan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), kelembagaan, dan keberlanjutan dan integrasi program serta jejaring inovasi. Masalah kuantitas dan kualitas SDM, misalnya, dapat diidentifikasi dari dominannya jumlah lulusan perguruan tinggi di bidang ilmu-ilmu sosial, dan hanya sedikit lulusan yang memiliki disiplin ilmu dasar, engineering dan aplikasi teknologi. Padahal bidang ilmu dan disiplin ini merupakan pedongkrak (leverage) terjadinya inovasi pengetahuan dan teknologi baru.
Sedangkan dalam hal kelembagaan, miskinnya fasilitas infrastruktur komersialisasi dan diseminasi seperti taman teknologi (technology parks), inkubator bisnis, dan modal operasi kegiatan merupakan satu kenyataan yang tidak dapat ditutupi. Tambahan lagi, banyak fokus penelitian dan pengembangan masih ditujukan pada pure conceptual knowledge sehingga tidak memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Belum lagi bicara soal keterkaitan antara pelaku usaha dan perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan yang juga masih buruk atau yang lebih dikenal dengan Triple Helix ABG (academicians, business, and government).
Dengan dibentuknya Komite Inovasi Nasional (KIN) baru-baru ini, lantas mau dibawa ke mana (quo vadis) upaya dalam mendongkrak inovasi teknologi nasional?
Tugas KIN
Dibentuknya Komite Inovasi Nasional (KIN) oleh Presiden SBY pada bulan Juni yang lalu melalui Perpres No. 32 Tahun 2010, tentu dimaksudkan untuk mengatasi berbagai persoalan di atas. Namun sayang, rumusan tugas pokok yang ditetapkan KIN saat ini masih terlalu umum yaitu memperkuat Sistem Inovasi Nasional (Sinas) dan mengembangkan budaya inovasi nasional. Oleh karena itu, rumusan tugas pokok komite ini harus dibuat lebih spesifik agar Presiden SBY dapat mendelegasikan tugas tersebut kepada para pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan efektif dan efisien.
Adapun tugas spesifik yang perlu dirumuskan KIN antara lain sebagai berikut. Pertama, KIN penting merumuskan kebijakan inovasi untuk meningkatkan kontribusi teknologi bagi pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan menyiasati tantangan globalisasi di lain pihak. Inovasi yang berkaitan dengan masalah perubahan iklim, kesehatan, pangan dan energi serta pengentasan kemiskinan adalah beberapa contoh rumusan yang harus dikerjakan oleh KIN.
Kedua, menyusun kebijakan sistem insentif untuk merangsang terbangunnya Sistem Inovasi Nasional. Sistem insentif yang dimaksud tidak hanya meliputi kebijakan makroekonomi dan antiinflasi saja, melainkan juga menyangkut kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan, perindustrian, investasi, dan persaingan domestik. Untuk yang disebut terakhir ini, perhatian pada penghilangan berbagai bentuk inefisiensi dan peraturan yang menghambat investasi inovasi teknologi impor harus dilakukan. Namun, kehati-hatian dalam ”open door policy” tersebut perlu kita lakukan agar jangan sampai masuknya investasi inovasi asing malah justru merugikan pembangunan inovasi domestik.
Ketiga, merumuskan program pembangunan dan pengembangan industri pendukung inovasi. Dalam hal ini tidak sebatas hanya dengan menambah jumlah lembaga inovasi pemerintah di tingkat pusat dan daerah saja, tetapi terutama membangun tumbuhnya lembaga inovasi swasta dan masyarakat. Bahkan inisiatif untuk bekerja sama dengan pihak asing dalam pengembangan inovasi domestik pun tidak perlu ”diharamkan” jika memberikan manfaat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, KIN harus pula menetapkan mekanisme fiskal dan pendanaan khusus untuk menumbuhkembangkan inovasi domestik. Namun, khusus untuk beban pendanaan kebijakan tersebut tidak boleh menjadi tanggung jawab pemerintah (APBN atau APBD) semata. Pihak swasta dan BUMN/D melalui dana CSR-nya (corporate social responsibility), misalnya, dapat menjadi salah satu sumber dananya. Hal ini dimaksudkan agar hasil inovasi dapat dikonsumsi oleh pasar sehingga langsung bermanfaat bagi masyarakat dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Kelima, KIN harus pula membuat rumusan mekanisme koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi antara para pihak yang berkepentingan dalam menjalankan sistim inovasi baik di tingkat nasional maupun daerah. Pentingnya rumusan ini untuk menghindari inefisiensi dan ketidakutuhan (integrity) dalam menjalankan program-program membangun sistim inovasi di satu pihak, dan dalam meningkatkan nilai ekonomi inovasi teknologi nasional di lain pihak.
Singkatnya, rumusan tugas yang dibuat KIN untuk membangun sistem inovasi harus lebih spesifik dan tampil beda dibandingkan dengan rumusan tugas dari institusi lain, seperti perguruan tinggi, Lembaga Penelitian Non-Kementerian, dan Lembaga Penelitian Kementerian serta industri dan Kementerian Riset dan Teknologi yang juga menangani masalah ini. Tanpa rumusan yang jelas, sistimatis dan berkesinambungan, keberadaan KIN sebagai institusi yang bertugas memberikan masukan kepada Presiden akan menjadi mubazir. Inilah tantangan sekaligus pekerjaan rumah KIN memasuki tahun 2011

Opini Lampung Pos 30 Desember 2010