09 Januari 2011

» Home » Opini » Sinar Harapan » Refleksi Awal Tahun Kasus HAM Masa Lalu

Refleksi Awal Tahun Kasus HAM Masa Lalu

Dalam salah satu buah pemikirannya, Satjipto Rahardjo pernah mengajarkan penegakan hukum “mesu budi”, yaitu pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri.

Satjipto mengajarkan perlu individu-individu yang mau menjadi vigilante (pejuang) dalam penegakan hukum. Di­perlukan aparat penegak hu­kum seperti Hakim Agung Andi Andojo yang berani me­lakukan “mesu budi”, bukan penegak hukum yang hanya mementingkan keselamatan karier.
Gagasan besar tersebut sangat relevan untuk memotret penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) saat ini. Praktis sulit sekali menemu­kan perangkat hukum, baik jaksa, hakim, polisi maupun peng­a­cara yang mau berhu­kum se­cara “mesu budi”, tidak hanya menirukan bunyi un­dang-un­dang tetapi berani me­lakukan ijtihad untuk meng­hadirkan keadilan substansi.
Sepanjang tahun 2010, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berjalan di tempat. Beberapa kasus antara lain:  kasus 1965–1966, kasus penembakan misterius  1981–1983, kasus Talangsari Lampung 1989, kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus 13–15 Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997–1998, tak satu pun menghadirkan cerita manis untuk para korban.
Secara garis besar, kasus-kasus tersebut masih berkisar di wilayah penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung. Sepanjang tahun ini, Komnas HAM masih berkutat dengan proses penyelidikan kasus 1965– 1966 dan penembakan misterius, namun hingga di pengujung tahun 2010, belum tampak hasil laporan final penyelidikan.
Sementara itu, kasus-kasus yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung: kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus 13–15 Mei 1998 serta penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 tak kunjung ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung.
Secara keseluruhan, konstelasi penanganan kasus tidak mengalami perubahan signifikan, praktis hanya kasus penghilangan paksa akivis 1997–1998 mengalami sedikit kemajuan, pascaparipurna DPR mengeluarkan empat rekomendasi politik pada 28 September 2009, antara lain: pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian 13 orang aktivis yang masih hilang, pemulihan hak para korban dan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Sementara itu, berdasar­kan catatan Kontras, nasib yang tidak kalah tragis juga dialami oleh sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa lalu lainnya: kasus DOM Aceh 1989-1998, darurat mili­ter Aceh 2003, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, dan DOM Papua.
Selain itu, beberapa kasus berdimensi hak ekonomi, sosial, budaya: kasus lumpur Lapindo, sengketa tanah warga dengan TNI, penembakan petani di Alas Tlogo, kasus Bulu Kumba, Mang­ga­rai, dan beberapa kasus lainnya, tidak satu pun dari kasus tersebut yang diselidiki oleh Komnas HAM. Penanganan kasus-kasus tersebut hanya sebatas pengkajian dan pemantauan tanpa kejelasan tindak lanjut.
Kondisi para korban dan keluarga korban dari berbagai kasus tersebut secara umum sangat memprihatinkan, dan dari tahun ke tahun sepanjang 12 tahun reformasi terus mengalami kemunduran kualitas hidup, antara lain hidup dalam kemiskinan, trauma, dan gangguan psikologis serta masih mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Potret HAM 2010
Sepanjang tahun 2010, praktis pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak berjalan efektif. Mandat penyelidikan oleh Komnas HAM, pasal 18–20 UU No 26 Tahun 2000, tidak cukup mampu menghadirkan terobosan untuk mendongkrak kualitas laporan, tumpul dalam berdiplomasi dengan sesama lembaga negara dan tidak cukup memiliki nilai tawar sebagai institusi penegak HAM.
Salah satu contohnya yaitu dalam upaya menghadirkan orang yang diduga kuat bertanggung jawab dalam sebuah kejahatan HAM.
Fenomena di atas terjadi karena absennya mekanisme vetting, yakni sebuah mekanisme untuk menyeleksi seseorang menjadi pejabat publik atau menduduki jabatan setrategis, baik dalam institusi sipil maupun militer.
Mekanisme vetting sendiri pada prinsipnya dapat dikategorikan menjadi dua, pertama vetting klasik, yakni didasar­kan pada kemampuan dan kecerdasan seseorang untuk menduduki jabatan publik atau strategis dalam institusi negara. Yang kedua, vetting modern, yakni mekanisme seleksi didasarkan pada rekam jejak atau catatan masa lalu, apakah pernah melakukan pelanggaran HAM atau tidak.
Di Indonesia, sebenarnya memiliki mekanisme fit and proper test untuk menyeleksi pejabat publik selevel panglima TNI, ketua komisi negara, bahkan kapolri. Namun, me­ka­nisme ini tidak cukup efektif menyaring calon dengan standar vetting, karena fit and proper test tidak jarang berujung dengan transaksi politik. Selain itu, hal ini menyebab­kan tidak cukupnya ruang partisipatif bagi masyarakat sipil untuk memberikan ma­suk­an atau menyodorkan kandidat. Jikapun ada, itu masih sebatas formalitas karena ti­dak cukup memberi warna da­lam pengambilan keputusan.
Untuk respons negara, berdasarkan catatan Kontras: beberapa institusi negara setingkat menteri politik hukum dan keamanan, menteri hukum dan HAM, staf khusus presiden bidang hukum dan HAM, bahkan Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), secara keseluruhan memberikan respons yang cukup baik dan konstruktif. Hal ini terlihat dari interaksi dengan korban dan keluarga korban melalui forum audiensi.
Namun, sayang, pernyataan dan tanggapan dari beberapa institusi tersebut tidak kunjung dikonversi menjadi se­buah kebijakan konkret ter­kait penyelesaian kasus HAM masa lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semes­ti­nya memegang peran pen­ting, namun hingga di pengujung ta­hun 2010, Presiden SBY ti­dak mengeluarkan kebijakan terkait HAM. Kebijakan lebih banyak terfokus pada soal ko­rupsi, perbaikan sektor ekonomi, dan penanganan terorisme.
Setelah dicabutnya UU 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), pemerintah akhir akhir ini kembali merumuskan RUU KKR sebagai komponen tambahan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Saat ini, RUU KKR masuk dalam salah satu RUU yang mendapat prioritas dalam Program Legislasi Na­sional (Prolegnas). Hal ini juga mengacu pada Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2010–2015 yang memasukkan pengesahan RUU KKR.
Meski RUU KKR kembali hadir, itu sulit diharapkan mampu memberikan solusi alternatif untuk para korban, mengingat isi dari RUU ini tidak lebih baik dari UU sebelumnya.
Kelangkaan cara berhu­kum dengan metode “mesu budi” adalah pangkal dari buruknya penyelesaian kasus HAM masa lalu. Mestinya, spirit ini harus ditanam kuat-kuat dalam sanubari setiap perangkat penegak hukum dan segenap penyelenggara negara ini. Penegakan hukum normatif kita menjadi semakin mengerikan karena telah dibingkai dengan politik transaksional.
Untuk itu, tidak ada pilihan bagi para korban selain menjaga dan terus menggelorakan semangat dan harapan. Hal ini penting untuk menjaga kewajiban negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terus mengapung ke permu­kaan. Ini karena potret peradaban yang akan datang sama dengan bagaimana negara ini memperlakukan masa lalu.

OLEH: CHRISBIANTORO
Penulis adalah Advokat HAM dan Aktif dalam Advokasi Kasus Pelanggaran HAM berat.
Opini Sinar Harapan 8  Januari 2011