Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menulis pesan Natal 2010 dengan tema Terang yang sesungguhnya sedang datang ke dalam dunia (Yohanes 1:9). Kalimat yang menjadi inti pesan Natal bersama ini secara teologis merupakan informasi paling mendalam tentang Sang Juru Selamat dalam diri Yesus Kristus. Terang, dalam pemahaman kita, akan menjadi jelas dalam kontras abadi dengan 'gelap'. Namun, dalam bagian selanjutnya dari Injil Yohanes disebutkan bahwa 'kegelapan' tidak dapat menguasai 'terang' itu.
Secara sosiologis, tema yang ditonjolkan dalam pesan Natal Gereja Indonesia 2010 menerbitkan kecemasan serentak harapan. Kecemasan, terutama untuk kecenderungan pola laku sosial dan tata kelola politik yang memukul balik segala kerinduan membangun Indonesia menjadi lebih baik. Harapan, terutama untuk kesadaran akan dedikasi dan kejujuran yang masih menjadi pertimbangan dalam diri segelintir pemimpin di negeri ini. Ada kerinduan bahwa dedikasi semacam ini akan menjadi terang yang semakin bersinar demi mencahayai nurani sosial politik.
Secara tegas, ini menjadi sebuah pengakuan paling murni bahwa kegelapan sedang menguasai kehidupan bersama. Kegelapan sedang mengurung suasana umum kehidupan. Kekuatan kegelapan yang melakukan sabotase atas niat baik, kehendak tulus, pengabdian suci menuju keindonesiaan. Ini menjadi peringatan bagi kita semua tentang 'terang' yang mesti memancar dari ruang kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara!
Kotak-isme
Gagasan-gagasan mendasar ini tentu berbenturan dengan pilihan-pilihan politik kehidupan di negeri ini. Semakin banyak alasan yang mendorong orang membangun pengelolaan kehidupan yang sempit, dangkal, dan destruktif. Perbedaan pilihan politik, basis ideologi, ruang lingkup kultural berkembang dengan cepat sebagai pembenaran atas sikap permusuhan sosial politik. Kehidupan bersama dihiasi tatapan mata kebencian. Ruang sosial, yang seharusnya menjadi sandaran terakhir untuk mengimbangi kisruh politik di medan pertarungan kekuasaan, bersimbah kekejian antarwarga dan komunitas sosial.
Diskriminasi sosial yang dialami segelintir warga politik di negeri ini menguatkan kesimpulan mencemaskan bahwa kriminalisasi menjadi metode kehidupan yang secara perlahan menggembosi kesadaran dan akal sehat.
Komunalisme sempit menjadi pilihan model kehidupan sosial yang semakin digemari dari waktu ke waktu. Bangsa ini semakin sumpek akibat 'kotak-kotak' sosial yang terbangun dalam banyak alasan dan motivasi mematikan. Ini menjadi fenomena yang berakar kuat dalam naluri pembasmian dan pemusnahan sosial. Semua ini akan menyedot terlalu banyak energi positif dari tubuh kehidupan bersama. Ini yang akan mengakibatkan kita menjadi bangsa bahkan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sepele.
'Kotak-isme' tidak hanya menjadi simbolisme pahit kehidupan sosial. Di level politik, ini menjadi penanda buruk yang amat telanjang betapa para penguasa dan elite politik membangun 'kotak' eksklusif dan arogansi. Mereka menaruh 'kotak' egoisme itu jauh dari jangkauan harapan publik. Hidup nyaman dalam 'egoisme' semacam ini justru telah menyebabkan hilangnya kepekaan 'demokratik' dari praktik kekuasaan para pelaku politik di negeri ini.
Solidaritas
Menilik beberapa kejadian sosial politik yang membuat dahi mengernyit, kita tiba pada satu kesadaran bahwa negeri ini tidak hanya butuh otoritas. Tidak cukup hanya dengan wewenang hukum yang jelas dan adequate untuk mengelola kehidupan bersama menjadi adil dan manusiawi. Apa yang kurang dalam hal wewenang yang dimiliki para penguasa di negeri ini. Ketika banyak kalangan meragukan KPK dalam kepemimpinan Bapak Busyro Muqoddas, itu sama sekali tidak berhubungan dengan basis legitimasi yuridis untuk sebuah wewenang formal (Media Indonesia, 21/12/2010). Keraguan itu terutama berkaitan dengan fondasi etis setiap wewenang hukum yang ada di wilayah kekuasaan. Konkretnya, ada dalam pertanyaan sederhana ini, apakah wewenang hukum pada ranah krusial seperti KPK memiliki suasana etis memadai? Tidak hanya berhubungan dengan institusi KPK, melainkan keseluruhan jaringan kekuasaan negara!
Kekacauan sosial politik dan ketidakberdayaan hukum melawan para perusak kehidupan bersama merupakan penjelasan terbaik kegelapan zaman masa kini. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk melawan dan menolak anggapan ini. Kekuasaan yang dijalankan tanpa wewenang moral yang kuat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang melawan akal sehat dan harapan rakyat. Selebihnya, mereka tidak mampu memaksa diri mereka untuk bersikap tegas demi kepentingan kerakyatan.
Kita akan memiliki sikap sosial politik mencerahkan manakala basis etis setiap wewenang politik dan hukum diletakkan dalam kekuatan solidaritas sosial yang tidak ditawar-tawar kehadirannya. Hanya pemimpin yang memiliki solidaritas sosial saja dapat melampaui kedudukan dan wewenang yang dimiliki untuk melakukan tindakan-tindakan yang mencahayai kehidupan bersama. Sekaligus, memunculkan inspirasi yang menuntun orang (publik) ke arah kebenaran dan kebaikan. Benar apa yang ditulis Peter Jones (Scotsman.com, 21/12/2010) bahwa solidaritas berguna membangun kebersamaan sosial, bukan kebersamaan yang memudar akibat egoisme dan keserakahan. Para pemimpin di negeri ini akan menjadi 'terang' hanya dengan perangkat solidaritas dan kepekaan sosial yang semakin tajam dalam pola laku kekuasaan.
Habituasi
Natal, peringatan dan perayaan kelahiran Yesus Kristus Sang Juru Selamat, menjelaskan kedalaman misteri cinta kasih Tuhan bagi manusia. Dia tidak merasa nyaman berada di singgasana kemuliaan kekuasaan-Nya manakala menyaksikan manusia dan kehidupan terkurung dalam kegelapan dosa dan maut. Dia memiliki kerelaan dalam diri-Nya untuk menyentuh kehidupan paling konkret. Bahkan dengan cara paling hina namun istimewa, Dia menjadi manusia, tinggal bersama manusia, berjalan bersama rakyat yang terlempar dalam banyak jenis penjara kehidupan. Dari situ, Dia mengingatkan para pemimpin politik dan agama untuk menjadi 'terang' bagi manusia.
Dia menjadi 'terang' karena kerelaan menaruh kehidupan-Nya dalam pengalaman penderitaan manusia. Pilihan ini serentak mempertegas kehadiran-Nya sebagai 'terang sebenarnya' di antara manusia. Ini menjadi model sikap hidup bersama. Sikap hidup keindonesiaan. Hanya dengan menaruh dan mempertaruhkan jabatan dan kekuasaan di medan kehidupan konkret masyarakat maka para pemimpin politik dan kekuasaan akan menjadikan kehadiran mereka sebagai 'terang' keindonesiaan. Rakyat akan menjadi 'terang' sosial dengan mengembangkan ruang lingkup pergaulan bersama yang adil, beradab, dan demokratis.
Elizabeth C Hirschman (Rutgers University) dan Priscillsa A LaBarbera (New York University), dalam buku The Meaning of Christmas (1989) merefleksikan makna Natal dalam teropong teologis sebagai langkah berani Tuhan menyapa kehidupan manusia secara langsung. Solidaritas Tuhan menjadi sebuah kesempatan bagi manusia untuk menikmati cahaya dan menjadi 'terang' bagi orang lain. Makna teologis ini semestinya akan menerbitkan rasa tanggung jawab sosial politik bersama membangun keindonesiaan yang lebih baik. Solidaritas akan menjadi jembatan penghubung kehidupan antarwarga politik, rakyat dan negara, kaya dan miskin, yang tertinggal dan maju. Yang kekurangan akan dibantu, yang berkelebihan akan menyelipkan pertolongan sosial bagi para penderita. Nilai-nilai ini harus mengalami proses 'pembiasaan' dalam bingkai keindonesiaan hingga menjadi energi yang mengalir secara spontan dan abadi dalam kehidupan kita bersama. Pada titik ini, kuasa kegelapan tidak akan bisa membajak kesadaran sosial politik di negeri ini. Selamat Pesta Natal 2010! Damai di hati, damai di bumi!
Oleh Max Regus
Rohaniwan, alumnus Pascasarjana Sosiologi UI
Opini Media Indonesia 24 Desember 2010
23 Desember 2010
Natal, Keindonesiaan dan Jembatan Solidaritas
Thank You!