Akan tetapi, seperti diutarakan Mulyadhi Kartanegara (2007), masyarakat yang bersikap terbuka atas pluralitas pemikiran keagamaan, menjunjung tinggi egaliteranianisme, serta selalu commited dengan misi kenabian dan pesan profetis agama: menebar rahmat ke seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Meski demikian, nilai moralitas di atas ternyata belum mampu diterjemahkan umat Islam dalam kehidupan nyata. Buktinya, beragam patologi sosial dan tindak kriminal lainnya masih saja menjadi fenomena yang kerap kita pergoki di setiap pemberitaan. Tengoklah bagaimana irasionalnya ganjaran hukuman para koruptor yang nyata-nyata memakan habis uang negara. Padahal, pejabat korup itu telah membuat beribu-ribu rakyat menjadi telantar.
Asumsi bahwa Islam cenderung mengamini perilaku homo homini lupus (manusia “memakan” manusia) dan konsep survival of the fittest (siapa berkuasa, dia yang menindas), semakin jelas dan kentara. Dengan kata lain, agama kita rapuh karena tidak mampu membawa misi progresifnya dalam tataran praksis. Apalagi, yang ditampakkan selama ini tak lebih dari aturan normatif yang hanya berbicara ihwal halal, haram, pahala, dosa, dst.
Pada aras ini, jika umat Islam mau mempelajari kembali Kitab Suci yang turun empat belas abad silam, banyak sekali ajaran di dalamnya yang membahas tentang konstruksi masyarakat madani. Yaitu kondisi sosial yang saling mengasihi, tidak membedakan ras, warna kulit, serta agama yang dipeluk masing-masing individu.
Bagi umat Islam, contoh manusia sempurna adalah Muhammad, dan setiap individu akan berusaha meniru semua perilakunya. Sedangkan pada tingkatan kolektif, umat Islam ingin membentuk kelompok yang didasarkan pada komunitas nabi di Madinah karena menganggapnya sebagai model masyarakat yang paling ideal. Wajar, jika sebagian (besar?) umat Islam berupaya keras menciptakan kembali kondisi semacam itu.
Sebab, masyarakat yang dipimpin Muhammad hingga wafatnya pada 632 M, memuat beragam karakteristik yang sangat sempurna, di mana umat Islam saat itu mampu menunaikan perintah-perintah suci yang telah diwahyukan; serta mampu membebaskan masyarakat Arab dari sikap jahiliah yang selalu berlaku syirik. Maka, terciptalah sebuah model sosial untuk ditiru umat Islam pada masa depan (Imam Feisal Abdul Rauf, 2007: 222).
Sikap masyarakat Madinah yang hebat dalam merajut persaudaraan itu, kemudian mendorong segenap komponen masyarakat untuk mewujudkan nilai-nilai kerakyatan, kemanusiaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang benar-benar didasarkan pada prinsip saling menghargai. Kuatnya persaudaraan itu tecermin melalui ikatan moral-politik yang ditandatangani bersama dalam bentuk Piagam Madinah.
Deklarasi ini sebenarnya ditujukan agar kehidupan masyarakat bisa berjalan normal dengan mesin kolektif yang didasarkan pada kesediaan saling meringankan beban yang lainnya, dan tidak mudah terseret dalam perilaku yang mengakibatkan sesamanya hidup berbalut penderitaan. Deklarasi ini pun dijadikan payung-dasar untuk mengatasi penyimpangan moral, ketidakadilan ekonomi, dan berbagai bentuk praktek yang membahayakan kesatuan masyarakat.
Menurut Syafi’i Maa’rif (1986), apa yang dituangkan dalam Piagam Madinah adalah penjabaran prinsip-prinsip kemasyarakatan yang diajarkan Alquran meski wahyu itu belum rampung diturunkan. Artinya, Piagam Madinah merupakan bentuk pembumian ajaran Alquran agar tercapainya tatanan sosial politik yang berlandaskan moralitas dan keimanan, serta menjamin hak kebebasan tiap golongan untuk mengembangkan pola budaya yang mereka pilih sesuai dengan keyakinannya.
Alhasil, menjadikan keberagamaan hari ini selaras dengan kondisi masyarakat nabi di Madinah, menurut saya, merupakan usaha yang tak akan berdampak positif dan tak berparalel dengan semangan zaman yang kini kian maju. Namun, yang masih harus terus digalakkan adalah perihal menghadirkan kembali spirit sosial yang diusung masyarakat nabi itu: persaudaraan, kebebasan, dan keadilan. Sebab, ketiga prinsip inilah yang menjadi landasan bagi terwujudnya masyarakat madani.
Opini Lampung Pos 24 Desember 2010