Dalam minggu- minggu ini kita tak henti melantunkan ”Garuda di  Dadaku”, sepotong lagu dari grup Netral yang disadur dari nyanyian  rakyat Papua, ”Apuse Kokondao”. Lagu itu selain untuk memberi semangat  kepada tim nasional Indonesia yang tiba-tiba selalu menang, juga untuk  memantulkan rasa nasionalisme kita yang ternyata tak pernah kikis.
Seraya menyanyi kita membusungkan dada yang dibungkus kaus merah bergambar Garuda Pancasila. Garuda di dadaku!
Dalam  euforia sepak bola boleh jadi kita hanya berhenti di garuda ketika  melihat gambar itu. Tak lagi kita perhatikan, apalagi ingat, bahwa Sang  Garuda berbenak Pancasila yang melambangkan roh utama bangsa Indonesia.  Kekhawatiran inilah yang kemudian memancing pasal gugatan seorang ahli  hukum dengan menegaskan bahwa kesakralan Garuda Pancasila tak seharusnya  tereber-eber di kaus sepak bola.
Namun, seraya menghormati  gugatan si ahli hukum dan sambil ikut bersorak-sorai ala sepak bola,  kita bisa menggunakan momentum berkibarnya lambang Garuda sebagai  pengingat kembali hal ihwal yang berkait dengan Pancasila, sebuah  fundamental foundation of state, sebuah Lebensanshauung bangsa yang  telah dipakai 65 tahun lamanya. Pengingatan itu kontekstual bila masuk  dari wilayah seni rupa.
Terindah di dunia
Dalam  perupaan, nilai-nilai luhur Pancasila itu diformulasikan dalam  lambang-lambang visual. Setiap sila lalu terepresentasi dalam gambar.
Semoga  tidak seperti mengulang penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan  Pengamalan Pancasila), bolehlah diingat bahwa sila ”Ketuhanan yang  Mahaesa” diformulasikan dalam simbol bintang sebagai gambaran dari nur  atau cahaya. Sila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam simbol  rantai yang berangkai-rangkai. Sila ”Persatuan Indonesia” dalam simbol  beringin, pohon tempat berlindung.
Sila ”Kerakyatan Indonesia yang  dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan  perwakilan” digambarkan dalam simbol kepala banteng. Sila ”Keadilan  sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” disimbolkan dengan gambar padi dan  kapas.
Gambar-gambar itu dimaktubkan dalam perisai. Perisai itu  sebagai lambang dari penjaga jiwa tergantung di dada burung garuda.  Jadilah lambang Garuda Pancasila.
Gambar perlambang ini sejak awal  memang menarik, terutama dalam aspek irama bentuk atau komposisinya.  Lambang berbentuk nyaris simetris dengan sayap yang dilukiskan mengepak  halus. Gerakan sayap mencitrakan ke atas, diikuti dengan selempang  Bhinneka Tunggal Ika yang melengkung seperenam lingkaran sehingga secara  keseluruhan lambang ini dituntun oleh pola membulat yang mencitrakan  kesempurnaan.
Garuda Pancasila akhirnya tampil dengan estetik.  Sebagai lambang negara, Garuda Pancasila termasuk salah satu gambar  lambang yang terbaik di dunia. Nilai itu selain diangkat oleh faktor  penerapan simbol-simbolnya (jumlah bulu sayap yang 17, bulu ekor yang 8,  dan bulu tubuh yang 45), juga oleh eksekusi estetiknya. Suatu hal yang  menjadikan sang lambang punya nilai dekoratif.
Itu sebabnya, pada  beberapa waktu lalu Armani Exchange (A/X), perusahaan mode internasional  milik Giorgio Armani, mengeluarkan T-shirt berlambang Garuda Pancasila.  Di situ lambang Pancasila dalam perisai sedikit diubah. Kepala banteng  diganti dengan huruf ”A” dan pohon beringin diganti dengan huruf ”X”.  Entah apa salahnya T-shirt apik yang sesungguhnya membanggakan kita itu  dilarang beredar di Indonesia.
Bukan cuma perusahaan bernama harum  yang berminat kepada Garuda Pancasila. Gerombolan busuk pun ingin  memakai gambar itu sebagai bagian dari usahanya. Kelompok sindikat  narkoba di Afganistan menggunakan gambar lambang Garuda Pancasila  sebagai stempel hasil produksi olahan heroin.
Usaha yang  melecehkan ini terbongkar pada tengah Februari 2010 dan membuat Kepala  Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Polisi Gories Mere  melakukan penyelidikan serius.
Dikabarkan bahwa narkoba cap Garuda  Pancasila itu diproduksi oleh gerilyawan Taliban yang beroperasi di  Afganistan Selatan. Dalam kelompok Taliban ini diketahui memang ada  orang-orang Indonesia yang dulunya bergabung dengan kelompok Mujahidin  ketika Afganistan berperang melawan Rusia.
Dari Erlangga ke Soekarno
Sosok  garuda memang menarik. Namun, siapa yang memilih burung garuda sebagai  lambang negara? Ada yang mengatakan Muhamad Yamin dan Sultan Hamid II.  Kala itu Yamin menjadi Ketua Panitia Lencana Negara dan Sultan Hamid II  sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Indonesia Serikat.
Namun,  versi lain mengatakan bahwa Presiden Soekarno adalah orang yang paling  menentukan. Soekarno memiliki banyak referensi betapa garuda sejak  dahulu kala telah dipakai oleh raja-raja besar. Raja Erlangga, misalnya,  menggunakan lambang Garudamukha sebagai meterai kerajaan.
Dalam  buku tentang lambang-lambang kerajaan yang terbit pada tahun 1483,  tercantum gambar seorang raja Jawa yang naik di atas punggung burung  besar seperti phoenix. Pada bagian lain, seorang raja Sumatera tampak  mengendarai burung rajawali. Semua burung besar itu akhirnya disarikan  sebagai burung garuda.
Soekarno memang termasuk orang yang suka  sekali dengan sosok dan mitos burung garuda. Itu sebabnya, ia menamai  penerbangan Indonesia pertama dengan Garuda.
Keyakinannya bahwa  garuda adalah burung sakti dan perkasa milik Indonesia semakin terpaku  kuat ketika ia membaca sajak Noto Suroto yang ditulis dalam bahasa  Belanda. ”Ik ben Garuda, Vishnoe’s voegel, die zijn vleugels uitslaat  hoog boven uw einladen” (Aku adalah Garuda, burung kendaraan Wisnu, yang  membentangkan sayapnya menjulang tinggi di atas kepulauan). Karena itu,  pada 28 Desember 1949, pesawat tipe Douglas DC-3 Dakota PK-DPD  sumbangan pengusaha dan rakyat Aceh itu sudah memakai logo ”Garuda  Indonesia Airways” di tubuhnya yang gemuk.
Kini lambang Garuda itu  terpampang di dada puluhan ribu orang yang bertandang di Gelanggang  Olahraga Bung Karno. Sungguh relevan: Garuda Pancasila di dadaku!
AGUS DERMAWAN T Penulis Buku-buku Seni Rupa
Opini Kompas 24 Desember 2010 
23 Desember 2010
Garuda (Pancasila) di Dadaku!
Thank You!