23 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Sepak Bola dan Katarsis Sosial-Politik

Sepak Bola dan Katarsis Sosial-Politik

Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kekuatan pendorong tersembunyi di balik pertarungan final Piala AFF 2010, Indonesia melawan Malaysia, adalah semacam nasionalisme yang menyala-nyala.
Sepak bola lebih daripada sekadar olahraga. Ia tak luput mengandung dan sekaligus merupakan ekspresi kebangsaan dan nasionalisme ketika tim nasional berhadapan dengan tim negara lain yang pernah terlibat kisruh sosial-politik dengannya.
Richard D Mandell benar ketika beragumen dalam karya klasiknya, Sport: A Cultural History terbitan Columbia University Press (1984), bahwa sepak bola sebagai olahraga modern meski sangat mengutamakan merit, demokrasi, dan prestasi yang teruji, juga sarat muatan ideologis-politis.
Ekspresi nasionalisme dalam pertandingan final Piala ASEAN Football Federation (AFF) 2010 antara Indonesia dan Malaysia terlihat lebih daripada persaingan sepak bola Indonesia dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, katakanlah Filipina atau Thailand atau Vietnam.
Banyak pendukung mengatakan bahwa Tim Nasional Indonesia ”boleh kalah” dari Filipina atau Thailand atau Vietnam, misalnya, tetapi tidak boleh sekali pun dengan Tim Nasional Malaysia. Karena itu, ekspresi nasionalisme Indonesia lewat sepak bola melawan Malaysia kini jauh lebih liat daripada persaingan dalam masa-masa sebelumnya.
Peningkatan kontestasi dan semangat kebangsaan sekarang ini terkait tidak hanya dengan persaingan kekuatan sepak bola, tetapi juga dengan dinamika politik, sosial, dan ekonomi di antara kedua negara: Indonesia versus Malaysia.
Kejengkelan politik
Begitu kentaranya sentimen politik—khususnya dari para pendukung Tim Nasional Indonesia—seperti terlihat dalam imbauan-imbauan yang beredar di Twitter dan Facebook, bahkan juga beberapa media cetak dan elektronik di negeri kita, yang tak habis-habisnya memberitakan dan mengulas berbagai sisi kedua tim nasional dan lingkungan lebih luas yang mengitarinya.
Misalnya saja ada imbauan yang cukup meluas agar para penonton Indonesia, baik di Stadium Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur, maupun Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, ramai-ramai memakai baju batik. Pesan di balik imbauan ini sudah jelas: batik adalah milik dan kekayaan asli Indonesia dan, karena itu, tidak patut didaku Malaysia. Padahal, tak banyak warga Indonesia yang sebenarnya tahu persis batik atau aspek perbatikan mana saja yang didaku Malaysia itu.
Daftar keributan dan kejengkelan baik terbuka maupun tersembunyi dalam psike banyak warga Indonesia bisa diperpanjang. Sumbernya jelas bukan hanya batik, tetapi juga mencakup kehebohan mengenai lagu ”Rasa Sayange”, reog Ponorogo, tari piring, dan lebih parah lagi tentang penderitaan dan kenestapaan sejumlah tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja wanita di tangan para majikannya di Malaysia.
Kacamata gelap yang dikenakan banyak warga Indonesia membuat kelamnya perspektif dalam melihat kasus-kasus ini. Cara pandang itu kian gelap dengan kasus-kasus yang lebih politis semacam Ambalat, pembalakan liar di perbatasan Kalimantan utara, tengah, dan timur, atau penangkapan ikan secara ilegal di perairan kawasan perbatasan yang masih merupakan wilayah saling klaim.
Padahal, jika publik Indonesia mau memakai kacamata lebih bening, khususnya menyangkut kasus nyanyian, tarian, dan tradisi budaya lain, terlihat bahwa semua itu justru mencerminkan hegemoni budaya Indonesia atas Malaysia.
Jika cara pandang ini yang dipakai, Indonesia tidak perlu ribut dengan Malaysia, malah seharusnya berbangga. Akibatnya, pada tahap ini, masuknya sentimen politik yang mengambil bentuk semacam nasionalisme yang kasar di kalangan masyarakat Indonesia ke dalam pertarungan sepak bola seolah-olah tidak lagi terelakkan.
Meski secara legal—sesuai dengan ketentuan FIFA—dan etis hal ini tidak bisa dibenarkan, arus deras sentimen itu sangat sulit terbendung. Menghadapi gejala ini, antisipasi perlu dilakukan PSSI dan aparat keamanan untuk menjamin dan memastikan agar sentimen dan emosi itu tidak berubah menjadi hooliganism, khususnya pada pertandingan final kedua di Gelora Bung Karno, Senayan.
Antisipasi dan kewaspadaan kian perlu ditingkatkan ketika jangan-jangan Dewi Fortuna tidak berpihak kepada Tim Nasional Indonesia karena ”bola itu bundar”.
Katarsis sosial-politik
Jika banyak pendukung tim sepak bola negara tertentu, seperti Indonesia sekarang ini, sudah mengalirkan kejengkelan budaya, ekonomi, dan sosial-politiknya ke dalam sepak bola, tidak bisa lain ia telah menjadikan olahraga ini sebagai katarsis.
Katarsis, istilah Yunani yang berarti ’membilas’ atau ’menyucikan’, mengandung gagasan bahwa orang-orang memerlukan kesempatan untuk membilas, melepaskan, sekaligus menyucikan emosi, sentimen, dan bahkan kemarahan yang terpendam. Keadaan psikologis ini bisa berbahaya bagi kondisi mental dan psikologis yang bersangkutan jika semua itu tetap terpendam, tidak terlepaskan.
Memang, seperti argumen Andrew Lambert dalam The Evolution of the Football Fan and the Way of Virtue (2010), sepak bola bisa menjadi katarsis positif di tengah berbagai sentimen, emosi, kemarahan, dan rasa frustrasi terkait berbagai kesulitan dan masalah—khususnya ekonomi, sosial dan politik—yang ditemui para pendukung dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, menurut Lambert, katarsis adalah suatu cara untuk membuat kita sendiri tetap sehat secara mental.
Bagi kalangan warga Indonesia, tumpukan emosi, sentimen, kemarahan, dan rasa frustrasi itu tidak hanya terkait dengan kasus-kasus menyangkut Malaysia, tetapi juga dengan realitas domestik, baik berkenaan langsung dengan sepak bola Indonesia itu sendiri maupun dengan realitas ekonomi dan sosial-politik lebih luas.
Karena itu, meski Tim Nasional Indonesia selalu menang dalam tiga pertandingan penyisihan dan dua kali semifinal di Gelora Bung Karno, Senayan, teriakan-teriakan yang menghujat dan menuntut supaya Nurdin Halid mundur dari kedudukannya sebagai Ketua Umum PSSI tetap muncul dari waktu ke waktu. Inilah sebuah katarsis: walaupun katarsis yang lebih langsung terkait dengan politik nasional tidak muncul terbuka.
Akan tetapi, kehidupan modern yang telah begitu teregulasi—termasuk juga sepak bola dan para pendukungnya—hanya menyisakan sedikit ruang untuk meletupkan sentimen, emosi, dan kemarahan menjadi katarsis secara semaunya.
Pengungkapan katarsis secara sembrono mengandung risiko sangat besar, khususnya terhadap dunia persepakbolaan Indonesia, yang kini sudah terlihat kembali menjanjikan.
Tantangan bagi para pendukung Tim Nasional Indonesia hari-hari ini adalah mengungkapkan katarsis secara relatif bebas, tetapi tetap dengan tidak melakukan pelanggaran serius terhadap norma-norma etik dan keadaban publik.
Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Opini Kompas 24 Desember 2010