23 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Memuliakan Kehidupan

Memuliakan Kehidupan

Banyak tokoh sejarah yang telah memperkaya dan mewariskan peradaban unggul, baik yang dikelompokkan sebagai figur pembawa ajaran agama maupun tokoh ilmuwan dan negarawan. Salah satunya adalah sosok Yesus Kristus.
Sesungguhnya, apa pun kategori seorang tokoh sejarah, pada akhirnya warisannya akan bermuara pada panggung kemanusiaan. Oleh karena itu, untuk menimbang kebesaran dan kontribusi seorang tokoh agama seperti Yesus, akan lebih mudah jika ditempatkan dalam konteks dampak yang ditinggalkan bagi kemanusiaan. Sedangkan aspek teologis dan keyakinan eskatologis biarlah itu menjadi urusan Tuhan.
Begitu banyak keyakinan agama di muka Bumi yang tidak mungkin diseragamkan manusia karena pluralitas agama, bahasa, dan bangsa merupakan bagian dari desain Tuhan agar kehidupan menjadi warna-warni. Tentu saja dalam pluralitas itu selalu ada kandungan wilayah yang abu-abu sehingga menjadi bahan perdebatan.
Saat ini dari jumlah penduduk bumi yang sekitar enam miliar, dua pertiganya mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus. Mereka merasa terinspirasi dan memperoleh panutan serta fondasi hidup, terlepas apakah mereka rajin datang ke gereja atau tidak. Agama apa pun yang dipeluk, bagi sebagian orang memang ada yang sekadar menjadi identitas sosial ketimbang sebagai penghayatan dan pengalaman spiritual.
Meski Yesus lahir di wilayah Jerusalem, secara sosial-kultural agama Kristen—juga Yahudi—lebih berkembang dan dipersepsikan sebagai agama Barat, lalu Islam dipersepsikan sebagai agama Arab. Namun, sejak tiga dekade terakhir ini di Barat mulai populer istilah Abrahamic religions yang berusaha mencari titik-titik temu tiga agama di atas yang pembawanya sama- sama keturunan Ibrahim dan pengaruh ajarannya sangat besar ke dalam agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Stop kekerasan
Dalam kajian filsafat dan antropologi agama, ajaran Yesus menonjol dengan pesan feminisme Ilahi yang mengutamakan cinta kasih, kelembutan, dan perdamaian. Ini kebalikan dari aspek maskulinisme yang mengetengahkan hukum dan kekuatan seperti ajaran Musa yang membawa misi membebaskan Bani Israel dari penindasan Firaun.
Pesan feminitas Ilahi ini sangat cocok untuk lebih dihayati ketika dunia sudah lelah dengan kekerasan dan peperangan. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Mengakhiri sebuah peperangan jauh lebih sulit ketimbang memulainya. Anak-cucu dan generasi penerusnya yang merasa orangtua mereka menjadi korban kezaliman pasti menyimpan dendam dan berusaha membalasnya.
Maka, jika pengikut Yesus Kristus ditanya, pesan dan ajaran apa yang paling fundamental, jawabannya adalah kasih sayang dan pesan perdamaian untuk memuliakan kehidupan. Hidup itu anugerah Tuhan yang mesti dijaga kemuliaannya. Namun, tak ada kemuliaan tanpa didasari sikap untuk saling mengasihi dan memuliakan sesama.
Yesus mengajarkan, jika ingin dicintai Tuhan, maka cintailah sesama manusia. Jika ingin dekat dengan Tuhan, maka dekatilah mereka yang tengah menderita. Etos cinta kasih dan pelayanan inilah yang mendorong umat Kristiani menaruh perhatian untuk mendirikan rumah sakit dan sekolah bagi orang-orang miskin, baik di kota maupun di daerah pedalaman.
Masalah penyebaran berita gembira (Injil) yang menawarkan cinta kasih dan keselamatan ini muncul ketika kekuatan politik merangkul dan menjadikannya sebagai kendaraan agenda politik dan ekonomi. Fenomena serupa juga terjadi pada agama-agama lain. Namun, sejarah mengajarkan dan umat beragama sebaiknya juga mulai belajar dari sejarah, bahwa jebakan dan kubangan yang menyeret agama ke ranah pertikaian politik dan ekonomi mesti diakhiri, minimal sekali disadari dan dikurangi.
Lembaran hitam Perang Salib setelah sekian ratus tahun berlalu terlihat lebih gamblang dan mudah diurai anatomi penyebabnya. Sumbernya tak lain adalah konflik dan perebutan politik yang memanipulasi simbol dan emosi agama untuk mengerahkan massa.
Tokoh-tokoh politik di Eropa waktu itu melakukan provokasi dan mobilisasi massa, bahwa melawan umat Islam di Jerusalem adalah pintu terdekat untuk masuk surga, persis provokasi jihad dengan bom bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini. Agama dan kekerasan begitu menyatu, begitu dijanjikan pintu surga telah menunggu di balik kekerasan untuk saling membunuh dengan nama Tuhan.
Menjunjung kehidupan
Semua agama tentu saja memiliki keunikan doktrin dan ritual, tetapi semua agama juga memiliki dimensi kesamaan dalam etika sosial untuk sama-sama menjunjung tinggi kehidupan. Di sinilah sesungguhnya keunikan negara Pancasila yang mewajibkan pemeluknya untuk bertuhan dan saling menghormati agama-agama yang ada.
Keragaman dan kerukunan hidup beragama di Indonesia akhir-akhir ini semakin memperoleh perhatian negara-negara Eropa khususnya karena saat ini mereka mesti menerima komunitas agama yang berbeda, terutama para imigran Muslim, yang sering memicu gesekan sosial.
Meski demikian, mereka yang secara teologis-kultural dianggap kelompok minoritas kondisinya sangat berbeda antara Indonesia dan Eropa. Umat Islam di Eropa umumnya adalah para imigran yang tidak mudah melebur dalam pergaulan sosial sehari-hari dengan warga setempat. Bahkan loyalitas pada negara tempat tinggal barunya juga diragukan. Mereka mengalami split integrity and identity, satu kaki berada di negara asalnya yang satu lagi berada di Eropa. Sedangkan di Indonesia, baik yang dianggap mayoritas maupun minoritas adalah sama-sama warga setempat sehingga dalam pergaulan sehari-hari di dalam masyarakat, kita semua sudah melebur tidak bisa lagi dibedakan.
Di beberapa daerah ketika datang pesta Natal bagi umat Kristiani dan Lebaran bagi umat Islam semua saling berkunjung ikut memeriahkan. Begitu pun masyarakat Islam di sekitar Candi Borobudur turut memeriahkan upacara Waisak. Dengan demikian, pesan dan keteladan Yesus yang sangat mencintai dan menghargai sesamanya sangat relevan untuk dihayati dan diterapkan mengingat setiap agama sesungguhnya juga memiliki pesan dan ajaran yang sama.
Maka, dari begitu banyak tokoh sejarah yang menjadi sumber inspirasi dan penerang zaman, salah satunya adalah Yesus yang dikagumi, dicintai, dan dibela oleh miliaran hati penduduk Bumi meski tidak hidup sezaman.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia saat ini sangat membutuhkan pemimpin yang jadi penerang dan penggerak zaman untuk keluar dari suasana keluh-kesah dan jenuh dengan bombardir berita korupsi yang tak kunjung menyusut, yang telah membuat rapuh pilar-pilar bernegara dan berbangsa.
Komaruddin Hidayat Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Opini Kompas 24 Desember 2010