Akhirnya Wikileaks, sebuah situs yang memublikasi skandal-skandal pemerintahan dunia, terutama Amerika Serikat (AS), menembus Indonesia.
Situs ini akhirnya membuka satu tabir dari peristiwa yang belum lama, Pilpres 2004. Dalam dokumen yang dirilis situs ini, kedubes AS di Jakarta mengatakan Amerika akan mengalami masalah jika Wiranto menjadi presiden, maka mesin dukungan AS mengarah pada pasangan populis SBY-JK.
Serta-merta Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat saat itu, Yahya Sacawirya, naik pitam. “Tidak mungkin Amerika intervensi. Kalau intervensi tidak mungkin di putaran pertama suara SBY hanya 20 persen, tentu 50 persen.”
Informasi dari Wikileaks ini mungkin hanya “biasa” saja, tapi benak pembaca seperti saya merasa heran atas respons kelompok Demokrat yang berlebihan itu. Dalam posisi ini, Wikileaks telah menang, karena sukses mencuri energi pemerintah resmi. Seperti yang sudah-sudah, kita tahu ini bukan informasi pertama dan terakhir yang dibocorkan laman ini. Pasti ada banyak skandal, kebobrokan, dan perilaku koruptif pemimpin negara yang terus dibocorkan. Terakhir, Wikileaks membongkar sikap Australia mendaftarhitamkan Yunus Yosfiah, mantan Menteri Penerangan dan politikus PPP, terkait dengan keterlibatannya dalam pembunuhan lima wartawan asing saat aneksasi ke Timor Timur 16 Oktober 1975, atau yang dikenal dengan “Balibo Five Tragedy”.
“Wikileaksism”
Saya ingat pesan sejarawan Indonesia, Prof Taufik Abdullah, bahwa “seandainya dalam sejarah” (if in history), tidak bisa digunakan untuk membuat analogi atau membongkar kejadian masa lalu. “Andaikata” hanya boleh dibuat untuk mempertajam analisis, bukan untuk komparasi-logis pada sejarah sekarang.
Pembongkaran dokumen yang dilakukan Wikileaks adalah konsekuensi teknologi yang sudah semakin global. Informasi yang terbuka tidak mungkin disumbat lagi oleh teror dan horor senjata atau penjara. Wikileaks memanfaatkan keniscayaan budaya modern bahwa segalanya pantas diinformasikan. Tidak ada lagi tumbal ketika Musa ingin melihat cahaya Tuhan. Sebuah perumpamaan yang sama naifnya berpikir dunia akan lebih baik atau lebih buruk tanpa Wikileaks.
Sebenarnya, kemenangan SBY sebagai presiden pertama Indonesia yang dipilih secara langsung adalah fakta sejarah, telah lewat (post-pactum), dan tidak mungkin didaur ulang lagi. Namun setelah bocoran ini, fantasi publik malah makin aktif, “bisa jadi hal itu benar-benar ada”. Jika kita membaca buku John Perkins, The Secret History of The American Empire (2007) atau buku John Roosa, Pretext for the Mass Murder (2007), AS sejak 60-an telah menunjukkan antusiasmenya terhadap Indonesia. Sebab, Nusantara adalah negara tropis kaya-raya di kontinum Asia-Pasifik. Akan berbahaya jika jatuh ke pangkuan komunisme China atau Soviet. Kepentingan terhadap Indonesia melebihi kepentingan menguasai Vietnam atau Korea saat itu.
Hal inilah yang membuat saya berpikir bahwa dokumen itu masuk akal. Bayangkan jika presiden pemenang saat itu adalah Amien Rais yang “islamis” atau Wiranto yang militer-nasionalis berkarakter kuat. SBY adalah militer-nasionalis, namun “menyetirnya” lebih mudah dibandingkan dua “pembangkang” di atas.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa selama enam tahun memerintah, SBY tidak pernah menunjukkan pembangkangannya pada AS, bahkan membiarkan sejawatnya, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dicekal masuk AS tanpa nota keberatan resmi beberapa waktu lalu, atau ketika Siti Fadillah Supari kalah berseteru dengan lembaga riset Paman Sam, Namru 2 (The US Naval Medical Research Unit Two), isu yang berkembang pada tahun 2009. Lembaga riset kesehatan itu telah masuk Indonesia sejak 1968; satu dari sedikit institusi yang memiliki kekebalan diplomatik. Peran misteriusnya menimbulkan asumsi bahwa mereka juga melakukan kegiatan intelejen, hingga muncul tuduhan itu.
Wacana Tanpa Referensi
Di samping cerita tentang bungker canggih antisenjata nuklir, yang melindungi server-server masa depan, termasuk Wikileaks, di perbukitan penuh salju abadi di Stockholm, Swedia, situs ini sendiri adalah sebuah batu wacana.
Wikileaks adalah pipa penyembur rahasia. Bukan karena rahasia itu sama sekali tidak diketahui publik, tetapi karena tidak pernah ada jalur protokoler atau birokrasi yang memastikan kebenaran informasi-informasi itu. Persis seperti ungkapan Jacques Lacan atas cerita The Purloined Letter (surat yang tercuri). Seluruh kisah hanya berputar-putar pada kecurigaan sang raja atas pengkhianatan bawahannya yang telah mencuri surat rahasianya, tapi sampai akhir tidak pernah ada kisah tentang apa isi surat itu. Namun pembaca yakin bahwa surat itu benar-benar dicuri dan bukan permainan raja semata.
Semua kisah yang dibongkar dalam Wikileaks tanpa sumber atau referensi. Meski informasi ilmiah selalu menuntut referensi, Wikileaks mampu membangun–mengambil istilah Umberto Eco–“praanggapan mandiri”(existential presupposition) tentang informasi yang disampaikan pada pembaca. Meski tanpa sumber, informasi dari Wikileaks selalu mendapat porsi utama dalam pemberitaan media-media resmi. Wikileaks mampu menyita perhatian (Verwerfung), merepresi alam bawah sadar (Verdraengung), dan menyangkal informasi-informasi (Verneinung) yang kadung dikonsumsi publik.
Posisinya tidak bisa disamakan dengan Wikipedia. Informasi dari laman ensiklopedia ini dapat diunggah oleh siapa saja. Banyak universitas tidak membenarkan Wikipedia dijadikan sumber kutipan, tetapi WiliLeaks? Siapa yang peduli sumbernya? Namun orang berduyun-duyun mengaksesnya dan memercayainya. Ketika Wikileaks diserang, ada ratusan situs peretas yang bersolidaritas membaginya lagi. Bagai pembiakan sel kanker ganas dan semakin sulit dihentikan.
Hal ini terjadi karena “dunia” memang sedang muak dengan kebohongan-kebohongan Amerika. Selama ini salah satu cara men-satire kebohongan global itu adalah melalui film seperti Blood Diamond (2006), Body of Lies ( 2008), The International (2009), dan RED/Retired Extremely Dangerous (2010). Film-film kritis semakin mendapat ruang untuk mengetahui “kerajaan” adidaya AS, dan orang semakin mengetahui bahwa banyak hal ternyata tidak baik-baik saja.
Aksi kriminalitas yang diorganisasi CIA tidak lebih manusiawi dibanding KGB di masa perang dingin lalu. Tipuan AS atas bantuan ekonomi bagi negara-negara yang bersepakat pada protokol iklim Kyoto dan Kopenhagen tentang carbon trading semakin terbuka oleh bocornya dokumen-dokumen yang berhasil didapatkan situs yang didirikan Julian Assage itu. Orang semakin tidak percaya dengan kepahlawanan dan janji muluk AS.
Kita tak akan tahu seperti apa letupan “bom-bom fakta” yang akan diinformasikan Wikileaks lagi, namun sepertinya AS, negara-negara korup, termasuk Indonesia, sedang terguncang oleh permainan simulacrum sites ini. Sebuah fotokopi informasi–seperti dikatakan filsuf Perancis, Jean Buadrillard–dari teks asli yang tidak tahu di mana. Saya rasa tesis Francis Fukuyama saat ini telah koyak-moyak, karena yang muncul adalah The End of History of The USA.
Penulis adalah Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh.
Opini Sinar Harapan 24 Desember 2010
23 Desember 2010
Semburan Lumpur Informasi Wikileaks
Thank You!