14 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Bangklung

Bangklung

Oleh DJASEPUDIN

Kabupaten Garut tidak hanya terkenal dengan manis nan legitnya dodol garut. Garut tidak melulu identik dengan ketangkasan domba garut. Switzerland van Java ini juga kaya dengan beragam seni tradisi.

Salah satu seni tradisi yang kurang dikenal oleh generasi terkini adalah seni bangklung. Sesuai dengan namanya, bangklung, kesenian ini lahir dari perpaduan dua kesenian Sunda yang memberdayakan waditra atau perangkat kesenian bernama terebang dan angklung.

Di masa lalu, kesenian ini belum memiliki nama yang pasti. Namun, menurut salah seorang pupuhu (ketua) Perkumpulan Seni Bangklung Adjuk Heryanto, nama bangklung téh pemberian dari Kepala Seksi Bidang Kesenian Depdikbud Garut, Rukasah. Pada tanggal 12 Desember 1968, di Desa Cicéro, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut setelah pentas kesenian tersebut berakhir, Rukasah menamai kesenian itu dengan sebutan bangklung.

Masih menurut Adjuk, seni tradisi ini sudah ada ketika Belanda dan Jepang berkuasa di tanah Sunda. "Bapa sorangan, saleresna mah ngan neraskeun tapak lacak sepuh-sepuh kapungkur (Bapak sendiri sebenarnya hanya melanjutkan jejak langkah para leluhur)," kata Adjuk yang ketika saya wawancarai sudah menjadi aki-aki.

Salah seorang yang merintis seni bangklung adalah Aki Madsurpi dan Haji Masum. Aki Madsurpi yang memainkan angklung, Haji Masum kebagian menabuh terebang. Adjuk sendiri mengenal kesenian ini sejak ia masih kecil.

Dia mengenang, "Ketika sedang main layangan, jika kebetulan mengalahkan musuh, pihak yang menang sering sorak-sorai, gembira tiada tara, berjoget, menari tiada henti dengan diiringi waditra terebang dan angklung."

Di awal kelahirannya, seni ini belum memiliki lagu. Karena dirasa ada yang kurang sempurna, oleh Adjuk dan kawan-kawan seni bangklung ini lantas dipercantik dengan memasukkan beragam kakawihan.

Lagu atau kakawihan dalam seni bangklung di antaranya "Tonggérét", "Anjrog", "Cis Kacang Buncis", "Soléang", "Ya Maula", "Ya Nabi Salam", "Solalloh". Melihat judul-judul yang tertera dapat dipastikan kesenian ini sangat kental dengan religiositas keislaman.

Kesenian ini sering dipentaskan dalam rangka mapag atau menyambut dan memeriahkan anak kecil yang hendak disunat. Sebelum dikhitan, pengantin sunat biasanya diarak mengelilingi lembur atau kampung dengan iringan kesenian bangklung. Ritus tersebut dikenal dengan istilah ngaleunggeuh.

Seni bangklung biasanya ditanggap pula ketika gelaran miceun runtah. Miceun runtah yang dimaksud dengan kesenian ini adalah selama hajat perkawinan atau sunatan, dalam jangka seminggu atau dua minggu, sampah yang berserakan di sekitar rumah tidak dibuang tetapi hanya dikumpulkan. Setelah pesta perkawinan berakhir, sampah yang telah menggunung baru dibuang. Ketika proses pembuangan seperti itu, seni bangklung midang alias tampil di hadapan banyak orang.

Seni bangklung kerap midang juga ketika rumpek jami ampih paré, yaitu setelah dibuat (memanen padi dengan ani-ani), padi terlebih dahulu dijemur di sawah, lantas di-geugeus-dipangkek (diikat), ketika sudah kering baru bisa dibawa ke kampung atau ke leuit (lumbung). Proses membawa padi dari sawah ke kampung merupakan saat seni bangklung kembali beraksi.

Selain dalam acara ngaleunggeuh, miceun runtah, atau rumpek jami ampih paré, seni bangklung dipentaskan juga khusus untuk hiburan. Tentu saja hiburan yang tetap mengedepankan pendidikan.

Seni bangklung baheula dan ayeuna sudah berbeda. Baheula, sebelum kesenian ini dipentaskan, para sesepuh kerap mengadakan ritus ngukus, melafalkan beragam mantra lengkap dengan persyaratan lainnya agar selama pentas berlangsung diberkati keselamatan.

Namun, menurut Adjuk, ritus ngukus seperti itu tidak ia lakukan sebab, selain kurang mengerti, tidak mengadakan tahapan ngukus juga dianggap tidak melanggar kapamalian (pertabuan).

Berdasarkan melihat langsung dan membaca pelbagai kepustakaan, seni bangklung waditra utamanya terdiri atas terebang anak, terebang kempring, terebang tempas, terebang bangsing, dan terebang indung yang berfungsi sebagai gong.

Angklung yang digunakan adalah angklung badud, angklung ambruk, angklung tempas, dan anglung roel, juga digunakan batok kelapa dan keprak yang terbuat dari bambu.

Beragam jenis musik itu untuk mengisi beluk (vokal) dalam melantunkan kawih-kawih yang nyunda dan islami. Agar suasana tetap hegar alias segar nan ingar-bingar, seni bangklung juga menyiapkan juru bodor atau penghibur yang mengeluarkan humor-humor.

Sayang, saat ini kesenian ini kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Selain masyarakat Garut, peran pemerintah juga sangat diharapkan agar kesenian khas Garut itu derajatnya kembali terangkat dan makin terhormat.***

Penulis, guru honorer di SD Islam Al-Azhar 27 Cibinong, alumnus Program Studi Sastra Sunda Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 15 Desember 2010