14 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Hiruk Pikuk Pemilu Mesir

Hiruk Pikuk Pemilu Mesir

Hasibullah Satrawi
(Peneliti Moderate Muslaim Society (MMS)  Jakarta)

Pada Ahad (28/11),  Mesir menyelenggarakan pemilihan umum  (pemilu) legislatif putaran pertama. Dari 18 partai peserta pemilu (ditambah  jalur independen) yang memperebutkan 508 kursi di parlemen Mesir (majelis sya'ab), tampak hanya lima partai yang berhasil  meloloskan kadernya ke parlemen Mesir periode 2010-2015. Yaitu, Partai  Nasional Demokrat (217), Partai Wafd (2), Partai Tajamuk (1), Partai al-Ghad (1), dan Partai  Keadilan (1). Adapun dari jalur idependen hanya ada tiga orang yang  langsung lolos ke gedung parlemen.

Ikhwan Muslimin yang dilarang mengikuti pemilu karena  statusnya sebagai ormas terlarang (tapi memajukan para kadernya melalui  jalur idenpenden) tidak medapatkan satu kursi pun dalam pemilu  legislatif putaran pertama ini. Padahal, Ikhwan Muslimin menjadi kuda  hitam pada Pemilu 2005 lalu dan mendapatkan sebanyak 88 kursi (20%) di  parlemen Mesir. Nasib buruk yang sama juga dialami oleh Partai Naserris  yang selama ini termasuk dari kekuatan  oposisi cukup diperhitungkan. Partai loyalis Jamal Abdel Nasser ini  tidak mendapatkan satu kursi pun dalam pemilu putaran pertama.

Perolehan suara yang sangat tidak berimbang (antara  partai penguasa dan partai-partai oposisi) sebagaimana di atas semakin  membesarkan dugaan bahkan tuduhan adanya kecurangan dalam pemilu Mesir  kali ini. Sebagai bentuk protes atas dugaan kecurangan yang ada, Ikhwan  Muslimin memundurkan diri (alias boikot) dari pemilu legislatif putaran  kedua yang akan digelar pada Ahad (05/12) besok. Padahal, ada 26  caleg dari Ikhwan Muslimin yang berpeluang untuk menjadi anggota  legislatif Mesir melalui pemilu putaran kedua ini. Dan, beberapa partai  oposisi lainnya (seperti Partai Wafd) dikabarkan mengikuti langkah boikot yang dilakukan oleh Ikhwan Muslimin (Ash-Sharq Al-Awsat, 02/12).

Ke mana Ikhwan Muslimin?

Ke mana Ikhwan Muslimin? Inilah pertanyaan yang  mengemuka di koran-koran Timur Tengah setelah komisi tinggi pemilihan  umum Mesir mengumumkan hasil pemilu putaran pertama sebagaimana di atas.  Munculnya pertanyaan bernada curiga seperti di atas sangat bisa  dipahami. Tidak semata-mata karena Ikhwan Muslimin berhasil mendapatkan  88 kursi parlemen pada Pemilu 2005 lalu. Lebih dari itu, karena  Ikhwan Muslimin mempunyai kekuatan yang sangat besar di Mesir, bahkan  juga dunia Arab dan dunia Islam pada umumnya.

Pada tahap tertentu, Ikhwan Muslimin di Mesir tak  ubahnya Hizbullah di Lebanon yang menjadi "negara di dalam negara".  Bedanya adalah Ikhwan Muslimin selama ini tidak menampakkan diri  sebagai kekuatan perlawanan bersenjata perang lengkap sebagaimana yang  dialami Hizbullah. Begitu juga, kebesaran Hizbullah di Lebanon tidak  melampaui batas teritori "negeri mongil" itu. Sedangkan kebesaran Ikhwan  Muslimin menembus batas-batas negara Arab dan dunia Islam, bahkan sampai ke Indonesia.

Dari segi kekuatan, Ikhwan Muslimin hampit tidak ada  bedanya dengan Partai Nasional Demokrat (NDP) sebagai partai penguasa.  Sebagaimana NDP, Ikhwan Muslimin mempunyai sumber pendanaan yang sangat  kuat, mendirikan banyak lembaga pendidikan keagamaan, bahkan juga  mempunyai banyak rumah sakit. Bedanya adalah Ikhwan Muslimin tidak  cukup kuat menguasai birokrasi negara yang digenggam kuat oleh NDP  sebagai partai penguasa. Namun demikian, Ikhwan Muslimin mempunyai kekuatan "birokrasi keagamaan".

Semenjak didirikan oleh Hasan Al-Banna pada 1928 lalu, Ikhwan Muslimin sangat piawai memanfaatkan kelemahan negara-negara Arab,  terutama dalam menghadapi persoalan krusial seperti  konflik Israel-Palestina. Ikhwan Muslimin juga sangat tajam membaca  "detak-nadi" masyarakat Arab dan dunia Islam.

Ketika negara-negara Arab dan dunia  Islam cenderung tunduk-patuh pada negara-negara Barat, contohnya Ikhwan  Muslimin justru "menegakkan" kepala dan menentang negara-negara Barat.  Hingga sebagian masyarakat Muslim (terutama di Mesir) kerap  mendukung gerakan Ikhwan Muslimin dan memosisikannya sebagai pahlawan nurani umat. Inilah kekuatan Ikhwan Musmilin yang tak dimiliki  oleh NDP ataupun partai-partai lain di Mesir, bahkan juga di dunia  Islam. Pemilu Mesir kali ini menampakkan adanya tuntutan  arus perubahan yang semakin kuat kepada rezim penguasa yang dipimpin  oleh Presiden Hosni Mobarak. Arus perubahan ini menjadi kendaraan  bersama bagi Ikhwan Muslimin, partai-partai oposisi, lembaga swadaya  masyarakat, dan koalisi sipil untuk menyampaikan tuntutan yang sama  kepada pihak yang sama pula, yaitu perubahan. Ibarat kendaraan umum, Ikhwan Muslimin, partai-partai  oposisi dan koalisi sipil mempunyai tujuan yang sama, yaitu perubahan.  Untuk sampai ke tujuan tersebut, mereka tidak memperhatikan  "warna-warni" ideologi yang melekat dalam dirinya masing-masing. Karena, yang terpenting adalah kendaraan itu terus berjalan dan menyampaikan  mereka ke tujuan bersama.

Inilah yang sangat diantisipasi oleh NDP sebagai  partai penguasa dan jajaran pemerintah pada umumnya. Para pemantau dari  luar negeri pun tidak diperbolehkan memantau jalannya pemilu Mesir kali  ini dengan dalih mencampuri "persoalan nasional" Mesir. Bahkan, Pemerintah Mesir tetap bersikeras pada sikapnya di atas walaupun ada  tekanan dari Amerika Serikat (AS) agar para pemantau dari luar negeri  diperbolehkan. Terlepas dari semua kekurangan yang ada,  pemilu Mesir kali ini tetaplah sebuah langkah maju dalam beradaptasi  dengan sistem pemerintahan dan pemilihan modern yang demokratis.  Setidak-tidaknya karena "pemilu-pemiluan" seperti ini sulit ditemukan  padannya di dunia Arab dan Timur Tengah (kecuali Iran dan Israel). Dengan kata lain, Pemerintah Mesir yang dipimpin oleh  Presiden Hosni Mobarak selama 29 tahun (semenjak 1981) memang telah  menggulirkan "bola" demokrasi. Tapi, pemerintah tampak tidak mau bola  itu bergerak liar di antara "kaki-kaki" oposisi dengan umpan-umpan  silang mematikan. Hingga bola itu membobol  gawang pemerintah sendiri.

Opini Suara Merdeka 15 Desember 2010