Kisruh dugaan suap di Mahkamah Konstitusi menjadi bola liar tak terkendali. Ujungnya, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD bersama Akil Mochtar melaporkan Ketua Tim Investigasi Refly Harun ke KPK. Akankah opini Refly berujung kriminalisasi?
Pembentukan Tim Investigasi ala MK untuk membongkar kasus dugaan suap yang melibatkan oknum hakim konstitusi pada awalnya dinilai sebagai respons cepat MK untuk membersihkan institusinya. Opini Refly dengan judul ”Apakah MK Masih Bersih?” (Kompas, 25/10) serasa ”membakar” seluruh isi Gedung MK, hingga akhirnya cepat-cepat dibentuk tim eksternal untuk menyelidiki kebenaran berita dugaan suap tersebut. Pada titik ini, awalnya MK layak mendapat apresiasi.
Maka dibentuklah sebuah tim yang dikomandoi si pembuat opini sendiri dan empat anggota tim lainnya yang diberikan mandat selama 30 hari untuk membuktikan dugaan adanya praktik suap yang terjadi di MK.
Namun apa lacur, lambat laun kondisi di lapangan secara faktual menunjukkan hal yang justru kontraproduktif dengan semangat awal dibentuknya tim ini. Das Sollen berbanding 180 derajat dengan Das Sein. Lebih memprihatinkan lagi, banyak pihak menilai upaya destruktif untuk mengebiri Tim Investigasi malah muncul dari oknum hakim konstitusi sendiri yang seolah memersonalisasikan berita suap itu.
Hal ini terlihat dari banyaknya pernyataan bernada gelisah yang sebenarnya tidak berdasar hingga rencana untuk melaporkan Refly kepada pihak berwajib atas opininya tersebut. Padahal, dalam opininya, Refly tidak sepatah kata pun menyebutkan nama oknum hakim konstitusi yang diduga menerima suap dari pihak yang berperkara.
Pernyataan-pernyataan yang bernada sinis dan mempertanyakan obyektivitas kerja tim hingga pada keengganan hakim tertentu untuk diperiksa oleh Tim Investigasi membuat publik terheran-heran. Padahal, tim ini Justru dibentuk oleh keinginan para hakim konstitusi. Sikap ini seolah mereduksi kerja-kerja tim yang dibentuk oleh MK sendiri.
Apalagi jika dihubungkan dengan ”keengganan” MK untuk menyandingkan KPK bersama Tim Investigasi selama masa kerja 30 hari tersebut, maka semakin menguatkan keyakinan publik bahwa pembentukan Tim Investigasi seolah hanya kamuflase belaka untuk membongkar dugaan suap di MK. Hingga ujung-ujungnya Refly tersandera dalam ruang demokrasi dan alam kebebasan berbicara.
Serangan balik
Kalau saja Ketua MK Mahfud MD konsisten dengan opininya ”MK Minta Tolong pada Refly” (Kompas, 10/11), maka dipastikan Refly tidak akan dilaporkan ke KPK karena diduga mengetahui upaya penyuapan tersebut karena sifat tim hanya membantu (supporting system) MK untuk membongkar dugaan suap yang santer diberitakan. Ketika masa kerja tim ini berakhir, maka berakhir pula tanggung jawab Refly untuk ”menolong” MK.
Namun, ceritanya menjadi lain. Refly malah turut dilaporkan ke KPK. Sulit dibantah bahwa tindakan MK tersebut merupakan bentuk serangan balik terhadap yang bersangkutan. Hal ini terlihat dari dimensi konflik yang seolah-olah beralih dan menyempit menjadi perkara pribadi antara Refly dan beberapa hakim konstitusi yang merasa tersinggung secara personal dan merasa dicemarkan nama baiknya. ”Kemarahan” itu sesungguhnya sudah mulai tercium ketika MK menunjuk Refly sebagai Ketua Tim Investigasi.
Kasus dugaan suap di MK ini sejatinya menguji kenegarawanan para hakim konstitusi. Plato dalam bukunya, The Statesman, mengingatkan pentingnya kemampuan khusus (gnosis) yang harus dimiliki oleh negarawan, termasuk para hakim, yaitu kemampuan mengatur dengan adil dan baik serta mengutamakan kepentingan warga negara. Sehingga persoalan dugaan suap di MK sejatinya harus dipandang sebagai masalah bangsa yang harus diselesaikan bersama. Begitu pula seorang Refly yang seharusnya dipandang sebagai warga negara yang ingin turut serta memberantas korupsi dan bukan malah memosisikannya seumpama duri yang ingin ”menusuk” MK.
Jika MK tetap bertahan untuk melaporkan Refly ke KPK atas dasar mengetahui upaya penyuapan hakim konstitusi, tapi tidak melaporkannya kepada penegak hukum, sesungguhnya MK sudah sesat jalan. Opini Refly sejatinya merupakan bagian dari upaya untuk mengungkap dugaan skandal suap di MK. Andaikan saja Refly tidak menulis, kecil harapan persoalan ini akan menguak ke permukaan sehingga kita akan terus terkungkung dengan ”kotak” berpikir institusi MK masih bersih 100 persen. MK seharusnya tidak lagi mempersoalkan bungkusan partisipasi publik soal cara membongkar kasus korupsi, termasuk apa yang dilakukan Refly.
Jika berlanjut, dipastikan ini akan menjadi preseden buruk bagi keterlibatan masyarakat dalam memberantas korupsi. Kontribusi masyarakat untuk terlibat dalam social movement pemberantasan korupsi praktis akan semakin meredup. Ketakutan ini muncul setelah berkaca dari kasus Refly bahwa institusi seperti MK saja yang dibentuk untuk melindungi hak konstitusional warga negaranya malah seolah ”menerkam” hak konstitusional warganya untuk berbicara dan berekspresi.
Namun, belum terlambat untuk membalikkan keadaan. Publik masih yakin para hakim konstitusi akan bijak untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan cara yang lebih elegan. Karena kita tidak ingin MK menjadi Mahkamah Kriminalisasi hanya karena sebuah opini.
Donal Fariz Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Opini Kompas 15 Desember 2010