14 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » BBM Bersubsidi Bukan untuk Orang Kaya

BBM Bersubsidi Bukan untuk Orang Kaya

Oleh : Dicky Sembiring
Ternyata hidup di alam demokrasi itu indah. Semua masalah dapat dibicarakan. Semua persoalan dapat dirundingkan dengan cara-cara halus dan sopan, namun ada juga sampai kepada cara-cara yang keras.
Tergantung pada esensi dan seberapa besar kepentingannya terhadap mereka yang terlibat perundingan.
Pada akhir Mei 2010, pemerintah melalui Pertamina (Perusahaan Minyak Nasional) merencanakan penghapusan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di tingkat masyarakat. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata target penghapusan subsidi itu untuk pengguna premium atau lazim disebut bensin.
Harga Rp 4.500,- per liter premium akan ditiadakan dan akan diganti dengan pertamax yang dipatok mulai dari Rp 7.600,- per liter, tergantung dari jenis pertamax-nya. Ada pertamax biasa, pertamax plus, bio pertamax, dan seterusnya.
Tepat Sasaran
Kembali sejenak ke belakang saat program konversi dari minyak tanah ke gas hendak digulirkan pemerintah, maka reaksi masyarakat pun muncul. Banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah sebelum akhirnya program tersebut disetujui DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Memang sampai saat ini program dimaksud terbilang sukses. Mulai dari proses pengadaan tabung gas 3 kilogram dan pemberian kompor gas 1 tungku secara cuma-cuma kepada masyarakat pun berjalan lancar. Ditambah lagi sosialisasi dari pihak PGN (Perusahaan Gas Negara) tentang cara-cara memasang dan mengoperasikan kompor gas yang benar.
Tak dapat dipungkiri pula bahwa penggunaan tabung gas 3 kg ini ditingkat masyarakat sempat menimbulkan dilema. Banyak terjadi ledakan tabung gas di seluruh wilayah Indonesia. Korban jiwa pun jatuh, dari luka ringan hingga meninggal dunia.
Patut disayangkan karena setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata kesalahan tidak mutlak dilakukan oleh pengguna, tetapi juga ditingkat pengecer. Untuk memperoleh keuntungan dengan cara tidak wajar maka kepala tabung yang berisi karet dan pegas kecil cenderung lekas rusak dan mengakibatkan kebocoran.
Sekarang manfaat penggunaan gas sudah dapat dirasakan masyarakat kecil. Lebih hemat dan lebih bersih daripada menggunakan bahan bakar minyak tanah.
Program konversi gas tersebut merupakan pelajaran penting bagi pihak-pihak pelaksana program, dalam hal ini pemerintah dan Perusahaan Gas Negara (PGN). Sebuah pelajaran yang bisa diserap oleh Pertamina untuk meluncurkan program penghapusan subsidi BBM bagi kalangan menengah ke atas.
Masalah yang dihadapi pemerintah dan Pertamina saat ini sebelum program tersebut disetujui oleh DPR adalah seperti apa mekanisme yang dipakai kelak agar program dimaksud tepat sasaran.
Berbagai kalangan memberikan pendapat mereka. Ada yang mengatakan semua mobil pribadi tidak diperbolehkan menggunakan premium, ada juga yang memberi pendapat bahwa katagori mobil pribadi tersebut harus dipilah lagi, yaitu mobil pribadi produksi tahun 2005 ke atas. Lalu ada lagi yang mengatakan bahwa tidak fair jika semua jenis angkutan umum mendapatkan subsidi BBM, sekarang beberapa perusahaan taksi justru menggunakan mobil mewah dengan tarif VIP (Very Important People) di Jakarta dan kota besar lainnya. Apakah mereka juga layak disubsidi?
Memang cara yang paling mudah dari sisi logika berpikir adalah semua mobil pribadi tidak layak mendapatkan BBM bersubsidi. Namun masalah yang dihadapi di lapangan nantinya bisa lebih kompleks daripada itu. Tidak ada larangan menggunakan mobil mewah untuk angkutan umum. Jika demikian pengecualian bisa ditetapkan melalui perusahaan yang menaungi angkutan umum tersebut. Apabila terjadi pelanggaran, maka perusahaannya bisa saja diberikan sanksi sesuai dengan mekanisme hukum yang ada.
Masih Dibutuhkan Pemikiran dan Perencanaan Matang
Nampaknya pemerintah mempunyai beban tersendiri terhadap subsidi BBM ini. Rentang Mei dan November 2010 tidaklah terlalu jauh. Kalau pada Mei 2010 rencana penghapusan subsidi diperuntukkan bagi semua kendaraan, maka pada November 2010 rencana yang sama kembali digelar dengan sasaran yang berbeda.
Premium lebih banyak digunakan masyarakat pengguna sepeda motor dan angkutan umum roda 3 seperti becak, dan Solar (bahan bakar diesel) lebih banyak digunakan oleh angkutan umum maupun angkutan barang. Masyarakat pengguna sepeda motor (yang hanya memiliki sepeda motor - pen) pada kenyataannya merupakan kalangan sosial menengah ke bawah. Mobilitas mereka untuk mencari nafkah dan lain-lain sangat tergantung pada kendaraan roda dua tersebut. Bila premium digantikan dengan BBM yang lebih mahal hanya akan membebani ekonomi mereka.
Kesiapan SPBU Pertamina di tanah air harus pula dipikirkan. Pelanggaran aturan-aturan yang ditetapkan oleh Pertamina selaku regulator SPBU resmi di Indonesia, justru sering dilanggar oleh SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) itu sendiri.
Larangan mengisi BBM ke dalam jeriken (dengan tujuan untuk dijual kembali) merupakan salah satu contoh kecil dan paling nyata yang sering dilanggar oleh SPBU. Memang selagi pelanggaran tersebut tidak menjadi penyebab utama kelangkaan BBM di satu SPBU, masyarakat tidak mempermasalahkannya.
Sebagian besar masyarakat pengguna
kendaraan di Indonesia belum familiar dengan pertamax, kecuali untuk masyarakat di ibukota provinsi.
Mereka tentu akan kebingungan mengatur ekonomi rumah tangga apabila premium tidak bisa lagi diperoleh. Mungkin efek demikian terlihat sepele, pun bukan urusan Pertamina mengenai ekonomi rumah tangga masyarakat. Tetapi gejolak bisa saja terjadi dalam berbagai bentuk yang tak terduga dari efek tersebut.
Dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD 1945) negara kita yang secara ringkas dan tegas mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Artinya, minyak bumi sebagai salah satu kekayaan alam sejatinya kepunyaan rakyat Indonesia. Negara diserahi untuk menguasai dan mengolahnya, dan hasilnya harus sebesar-besarnya dikembalikan kepada rakyat atau demi kemakmuran rakyat. Lalu siapa yang patut disalahkan bila rakyat susah karena tingginya harga hasil olahan kekayaan alam tersebut?
Pertimbangan lain demi lancarnya penghapusan subsidi BBM yang tepat sasaran adalah harga minyak dunia. Sebagai ilustrasi, lonjakan harga minyak mentah dunia ternyata justru cenderung menurun per 2 Juni 2010.
Harga emas hitam ini masih terus tergerus memasuki hari ketiga pada tanggal 2 Juni 2010.
Harga kontrak minyak untuk pengiriman Juni 2010 di NY - MEX (baca: pasar komoditi Amerika Serikat), sempat berada di US$ 71,93 per barel atau melemah 3,5% dibanding posisi tiga hari sebelumnya di US$ 74,55 per barel. Koreksi harga minyak mentah tersebut dipicu oleh jatuhnya nilai tukar euro terhadap dollar AS yang membatasi daya tarik komoditi (Rubrik Investasi Kontan, 03/06/2010).
Bagi kita masyarakat biasa pastilah terlalu sulit memahami uraian laporan di atas. Yang jelas, kalau trend harga minyak dunia cenderung turun pada suatu waktu, maka harga BBM di tanah air harus pula diturunkan pada saat itu.
Selama ini yang terjadi tidak demikian. Ketika terjadi trend penurunan harga minyak dunia, maka harga BBM di Indonesia tetap. Namun apabila trend harga minyak dunia naik, maka pemerintah serta-merta menjadikan alasan tersebut untuk menaikkan harga BBM di dalam negeri.
Kita berharap pemegang kebijakan di negara ini dapat semakin bijaksana dan semakin transparan bila menentukan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang dalam hal ini masyarakat Indonesia. Sebab pengambil kebijakan pun bagian dari masyarakat tanpa kecuali.***
Penulis adalah karyawan salah satu bank swasta nasional.
Opini Analisa Daily 14 Desember 2010