Kami melihat semua adalah arti Vidimus omnia”. Kalimat ini semboyan Pentagon/Departemen Pertahanan AS.
Semboyan itu kini bermakna ketelanjangan. Sebentar lagi, 2010 meninggalkan kita, membuka mata kita semua untuk melihat ketelanjangan beragam peristiwa.
Dari luar negeri, kita terbelalak dengan publikasi situs WikiLeaks dengan tokoh Julian Assange yang memublikasikan dokumen rahasia terutama sepak terjang AS dalam mengamankan kepentingan sosial, politik, ekonomi dan kekuatan pertahanannya dalam rangka menancapkan hegemoni kekuasaan di seluruh penjuru jagat.
Banyak yang mencaci dua namun banyak juga yang memuji keberanian dia. Yang memuji termasuk media besar di Amerika Serikat seperti The New York Times, The Washington Post, Time dengan dalih bahwa publikasi itu mendorong transparansi. Bahkan Julian Assange menjadi kandidat terkuat Person Of The Year Majalah Time.
Yang menarik, ternyata ada lebih kurang 3.000 kawat rahasia yang bersumber dari Kedutaan Besar AS di Jakarta yang membuat Kementerian Luar Negeri kelabakan sebab banyak hal sensitif yang memberi pembenaran bahwa yang namanya “restu Washington” itu memang benar ada dalam penentuan kekuasaan di Indonesia.
Di dalam negeri, rakyat juga melihat semua ketelanjangan dunia politik, ekonomi dan hukum sebagai buah dari keterbukaan, kemerdekaan dan kebebasan pers sehingga akses terhadap media sedemikian mudah. Nyaris tidak ada rahasia yang mampu ditutupi. Jika sekarang masih menganggap rakyat kecil itu bodoh, objek kekuasaan, yang beranggapan demikian itulah yang bodoh. Rakyat cerdas dan dengan logikanya sendiri mampu berpikir jernih jauh dari logika bengkok para elit di pemerintahan, partai politik dan lain-lain. Vidimus Omnia!
Tahun 2010 adalah tahun ketelanjangan. Ketelanjangan yang paling nyata adalah kepergian Sri Mulyani Indrawati ke Washington menjadi Managing Director World Bank, meninggalkan kursi Menteri Keuangan lewat politik dagang sapi bernama Pansus Bank Century. Vidimus Omnia!
Gayus Tambunan, nama paling populer menambah daya gedor mata rakyat dalam melihat ketelanjangan. Lewat Gayus, rakyat jadi tahu bahwa yang namanya mafia hukum itu memang benar.
Di kepolisian, baru Komjen Susno Duadji, di kejaksaan muncul nama jaksa Cyrus Sinaga. Di kalangan advokat, nama haposan Hutagalung dan di pengadilan baru muncul nama hakim Muhammad Asnun yang apes nasibnya. Padahal, mafia itu ada di mana-mana namun untouchable (tak tersentuh). Hukum menjadi komoditas di kalangan penegak hukum. Semboyan fiat justitia ruat mundi, hukum tetap tegak meski dunia runtuh, hanya ada dalam diktat mata kuliah di Fakultas Hukum.
Ketelanjangan mata rakyat mampu melihat hal-hal yang kasatmata bahwa mengapa yang menjadi korban hanya mereka yang di level bawah? Mengapa hanya Gayus, AKP Sri Sumartini, Kompol Arafat? Ke mana perwira tinggi yang banyak disebut itu? Mengapa perusahaan pemberi suap kepada Gayus tidak disentuh sebagaimana permintaan pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution? Padahal nama perusahaan penyuap agar mendapat keringanan pajak sudah jelas disebut. Vidimus Omnia!
Tawar-menawar
Ada juga ketelanjangan dalam penentuan posisi Jaksa Agung dan Kapolri. Nama Jaksa Agung dan Kapolri lama sekali muncul terkait politik transaksional. Publik tahu bahwa banyak kepentingan dibalik penunjukan petinggi kejaksaan dan kepolisian. Ada tawar-menawar siapa dapat apa dan seberapa banyak.
Nama Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo beredar kuat sebelum munculnya nama Komjen Timur Pradopo yang pangkat dan jabatannya naik berkali-kali dalam hitungan jam dan akhirnya menjadi Kapolri.
Publik melihat dengan telanjang bahwa yang dikehendaki oleh Cikeas adalah Komjen Imam Sudjarwo untuk memberi ruang kepada Mayjen Pramono Edhie Wibowo, ipar SBY, menjadi KSAD bahkan Panglima TNI sebab sama-sama lulusan Akabri 1980. Yang satu Kapolri, yang satunya lagi KSAD dan setelah itu Panglima TNI.
Cikeas akhirnya pilih Timur Pradopo sebab ada penolakan internal kepolisian terutama perwira tinggi angkatan 1978. Vidimus Omnia!
Yang paling akhir ketelanjangan di negeri ini adalah statement Presiden SBY tentang monarki di dalam NKRI yang menyulut emosi elemen masyarakat Yogyakarta. Naif jika SBY tidak mengerti sejarah dan kontribusi Yogyakarta terhadap NKRI. Akhirnya publik tahu bahwa Sultan HB X adalah batu sandungan Presiden SBY baik lewat Nasional Demokrat (Nasdem) maupun lewat Sultan sendiri yang sangat kritis. SBY paham bahwa dalam kultur Mataram tidak boleh ada matahari kembar. Satu-satunya jalan menjegal Sultan HB X adalah lewat produk bernama UU mengenai Keistimewaan DIY. Vidimus Omnia!
Banyak hal aneh yang mampu dilihat dengan mata telanjang oleh rakyat selama 2010 ini. Untunglah rakyat memiliki sikap welas asih terhadap pemimpinnya meskipun mereka sering dibohongi. Mereka tidak marah, malah tertawa geli sambil menyanyikan salah satu aria dalam Opera Julius Caecar karangan William Shakespeare ”Odero si potero. Si non vis amabo”. Artinya, kalau aku bisa aku akan membencimu, karena aku tidak bisa membenci maka aku akan tetap mencintaimu! Hidup rakyat! -
Semboyan itu kini bermakna ketelanjangan. Sebentar lagi, 2010 meninggalkan kita, membuka mata kita semua untuk melihat ketelanjangan beragam peristiwa.
Dari luar negeri, kita terbelalak dengan publikasi situs WikiLeaks dengan tokoh Julian Assange yang memublikasikan dokumen rahasia terutama sepak terjang AS dalam mengamankan kepentingan sosial, politik, ekonomi dan kekuatan pertahanannya dalam rangka menancapkan hegemoni kekuasaan di seluruh penjuru jagat.
Banyak yang mencaci dua namun banyak juga yang memuji keberanian dia. Yang memuji termasuk media besar di Amerika Serikat seperti The New York Times, The Washington Post, Time dengan dalih bahwa publikasi itu mendorong transparansi. Bahkan Julian Assange menjadi kandidat terkuat Person Of The Year Majalah Time.
Yang menarik, ternyata ada lebih kurang 3.000 kawat rahasia yang bersumber dari Kedutaan Besar AS di Jakarta yang membuat Kementerian Luar Negeri kelabakan sebab banyak hal sensitif yang memberi pembenaran bahwa yang namanya “restu Washington” itu memang benar ada dalam penentuan kekuasaan di Indonesia.
Di dalam negeri, rakyat juga melihat semua ketelanjangan dunia politik, ekonomi dan hukum sebagai buah dari keterbukaan, kemerdekaan dan kebebasan pers sehingga akses terhadap media sedemikian mudah. Nyaris tidak ada rahasia yang mampu ditutupi. Jika sekarang masih menganggap rakyat kecil itu bodoh, objek kekuasaan, yang beranggapan demikian itulah yang bodoh. Rakyat cerdas dan dengan logikanya sendiri mampu berpikir jernih jauh dari logika bengkok para elit di pemerintahan, partai politik dan lain-lain. Vidimus Omnia!
Tahun 2010 adalah tahun ketelanjangan. Ketelanjangan yang paling nyata adalah kepergian Sri Mulyani Indrawati ke Washington menjadi Managing Director World Bank, meninggalkan kursi Menteri Keuangan lewat politik dagang sapi bernama Pansus Bank Century. Vidimus Omnia!
Gayus Tambunan, nama paling populer menambah daya gedor mata rakyat dalam melihat ketelanjangan. Lewat Gayus, rakyat jadi tahu bahwa yang namanya mafia hukum itu memang benar.
Di kepolisian, baru Komjen Susno Duadji, di kejaksaan muncul nama jaksa Cyrus Sinaga. Di kalangan advokat, nama haposan Hutagalung dan di pengadilan baru muncul nama hakim Muhammad Asnun yang apes nasibnya. Padahal, mafia itu ada di mana-mana namun untouchable (tak tersentuh). Hukum menjadi komoditas di kalangan penegak hukum. Semboyan fiat justitia ruat mundi, hukum tetap tegak meski dunia runtuh, hanya ada dalam diktat mata kuliah di Fakultas Hukum.
Ketelanjangan mata rakyat mampu melihat hal-hal yang kasatmata bahwa mengapa yang menjadi korban hanya mereka yang di level bawah? Mengapa hanya Gayus, AKP Sri Sumartini, Kompol Arafat? Ke mana perwira tinggi yang banyak disebut itu? Mengapa perusahaan pemberi suap kepada Gayus tidak disentuh sebagaimana permintaan pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution? Padahal nama perusahaan penyuap agar mendapat keringanan pajak sudah jelas disebut. Vidimus Omnia!
Tawar-menawar
Ada juga ketelanjangan dalam penentuan posisi Jaksa Agung dan Kapolri. Nama Jaksa Agung dan Kapolri lama sekali muncul terkait politik transaksional. Publik tahu bahwa banyak kepentingan dibalik penunjukan petinggi kejaksaan dan kepolisian. Ada tawar-menawar siapa dapat apa dan seberapa banyak.
Nama Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo beredar kuat sebelum munculnya nama Komjen Timur Pradopo yang pangkat dan jabatannya naik berkali-kali dalam hitungan jam dan akhirnya menjadi Kapolri.
Publik melihat dengan telanjang bahwa yang dikehendaki oleh Cikeas adalah Komjen Imam Sudjarwo untuk memberi ruang kepada Mayjen Pramono Edhie Wibowo, ipar SBY, menjadi KSAD bahkan Panglima TNI sebab sama-sama lulusan Akabri 1980. Yang satu Kapolri, yang satunya lagi KSAD dan setelah itu Panglima TNI.
Cikeas akhirnya pilih Timur Pradopo sebab ada penolakan internal kepolisian terutama perwira tinggi angkatan 1978. Vidimus Omnia!
Yang paling akhir ketelanjangan di negeri ini adalah statement Presiden SBY tentang monarki di dalam NKRI yang menyulut emosi elemen masyarakat Yogyakarta. Naif jika SBY tidak mengerti sejarah dan kontribusi Yogyakarta terhadap NKRI. Akhirnya publik tahu bahwa Sultan HB X adalah batu sandungan Presiden SBY baik lewat Nasional Demokrat (Nasdem) maupun lewat Sultan sendiri yang sangat kritis. SBY paham bahwa dalam kultur Mataram tidak boleh ada matahari kembar. Satu-satunya jalan menjegal Sultan HB X adalah lewat produk bernama UU mengenai Keistimewaan DIY. Vidimus Omnia!
Banyak hal aneh yang mampu dilihat dengan mata telanjang oleh rakyat selama 2010 ini. Untunglah rakyat memiliki sikap welas asih terhadap pemimpinnya meskipun mereka sering dibohongi. Mereka tidak marah, malah tertawa geli sambil menyanyikan salah satu aria dalam Opera Julius Caecar karangan William Shakespeare ”Odero si potero. Si non vis amabo”. Artinya, kalau aku bisa aku akan membencimu, karena aku tidak bisa membenci maka aku akan tetap mencintaimu! Hidup rakyat! -
Oleh : Rumongso Pendidik, aktif di Komunitas Sapu Lidi
Opini Solo Pos 14 Desember 2010