20 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pendidikan Perempuan

Pendidikan Perempuan

Oleh Budi Rajab

Saat usia Kartini menginjak 12 tahun (1881) dan telah menyelesaikan ELS (Europeesche Lagere School, Sekolah Dasar Belanda), dia memohon pada ayahnya, waktu itu Bupati Jepara, agar diizinkan pergi ke Semarang untuk meneruskan sekolah. ”Ia berlutut di hadapan Ayahnya… Ia menanti jawaban Ayahnya… Dan perlahan-lahan tetapi pasti keluar dari mulutnya: ’tidak!’ (lihat ”Kartini, Surat-surat Kepada Ny. R. M. Abendanon-Mandri dan Suaminya”, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1987, halaman 14). Pupuslah keinginan Kartini untuk melanjutkan sekolah.

Kartini meyakini, sekolah adalah salah satu lembaga untuk emansipasi perempuan. Melalui dan di dalam sekolah, intelektual perempuan terasah, dapat berpikir rasional, bisa mewujudkan potensi dan kreativitasnya, memiliki motivasi untuk maju dan berprestasi, berkarier, serta memperoleh martabat layaknya laki-laki. Sekolah adalah pembuka jalan yang memungkinkan perempuan berkiprah di dunia yang luas dan mengikuti perubahan yang terus berlangsung.



Mungkin pemikiran Kartini ini sedikit mirip dengan konsepsi John Dewey, filsuf pendidikan Amerika, meskipun arah pemikiran Dewey tidak dikhususkan untuk perempuan, yang menyatakan pendidikan berfungsi sebagai alat transformasi sosial. Bagi Dewey, sifat transformasi itu dimungkinkan karena melalui pengajaran di sekolah yang terorganisasikan manusia akan bisa mengenali kemampuan dirinya dan terdorong mencari kebenaran. Bagi Dewey, setiap warga negara harus mempunyai akses untuk memperoleh pendidikan dasar dalam rangka pengembangan intelektual dan menanamkan pengetahuan yang diperlukan untuk memperkuat kesejajaran semua kelompok dalam mendapatkan kebebasan.

Pencapaian dan kendala

Sampai awal abad ke-21 ini, lebih seabad setelah Kartini meyakini betapa pentingnya sekolah bagi perempuan, ditemukan fakta yang mengesankan.

Politik negara mengenai peningkatan peran perempuan tampaknya meletakkan pendidikan sekolah sebagai sarana yang diprioritaskan. Demikian pula bila melihat pada anggapan masyarakat umum mengenai emansipasi perempuan, mereka juga banyak memercayakan pada pendidikan sekolah. Implementasinya menunjukkan adanya perubahan, umpamanya jumlah perempuan yang bersekolah kian bertambah dan jenjang pendidikan yang dialami perempuan juga semakin tinggi. Namun, ditemukan pula fakta sebaliknya, di beberapa wilayah nusantara tetap terjadi kesenjangan gender pada pendidikan ini, bahkan sebagian besar penduduk yang buta huruf adalah perempuan.

Kiranya ada beberapa alasan mengapa perbedaan dalam kuantitas dan jenjang pendidikan ini masih tetap ada.

Pertama, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia. Sekolah dasar terdapat di hampir semua desa di Indonesia, maka murid SD tidak perlu keluar desa untuk sekolah. Akan tetapi seseorang harus menempuh perjalanan lebih jauh bila bersekolah di SMP, apalagi untuk tingkat SMA dan perguruan tinggi yang umumnya terkonsentrasi di kota-kota. Banyak orang tua yang enggan bila anak perempuan bersekolah yang jauh karena akan kehilangan bantuan di rumah tangga.

Kedua, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan. Pada keluarga miskin, orang tua lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki, tenaga perempuan lebih banyak dibutuhkan di rumah tangga.

Bukan perkembangan

Hingga kini stereotipe gender pada pendidikan sekolah itu sendiri tidak hilang. Kurikulum pendidikan masih cukup kental memisahkan peran perempuan dan laki-laki, perempuan tetap digambarkan dengan kegiatan-kegiatan kerumahtanggaannya dan prasangka kerendahdiriannya. Demikian pula dengan pilihan jurusan dan spesialisasi keilmuan, kurikulum, dan praktik pendidikan sekolah tetap mendorong perempuan supaya memilih jurusan dan ilmu yang dianggap sesuai dengan karakter keperempuanannya.

Oleh karena itu,  peran pendidikan tidak sepenuhnya mendorong pada percepatan emansipasi perempuan. Meski dalam perjalanan waktu tampak ada peningkatan jumlah perempuan bersekolah dan jenjangnya semakin tinggi, perbandingannya dengan laki-laki masih jauh dari setara. Di samping itu, pendidikan sekolah itu belum dapat mengeliminasi stereotipe gender, malah kecencenderungnya mempertahankan dan memperkuatnya, karena ia dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan itu sendiri. Dalam konteks inilah, pendidikan sekolah itu bahkan turut membantu menyebarluaskan ideologi yang bias gender, bukannya mengubahnya. Sudah tentu implikasinya menjadi jauh, sistem dan nilai patriarki, yang menempatkan laki-laki lebih superior daripada perempuan, tetap bercokol karena saluran sosialisasinya bertambah, yaitu lewat pendidikan sekolah, di samping tetap ditanamkan dalam keluarga dan lingkungan pergaulan sehari-hari.

Penambahan jumlah, peningkatan jenjang pendidikan, dan perluasan pekerjaan perempuan di sektor publik katakanlah merupakan indikator terjadinya perubahan peran perempuan. Akan tetapi perubahan itu tampaknya masih tetap berada di bawah bayang-bayang sistem dan nilai patriarki, belum menunjukkan terjadinya transformasi struktural atas dasar gender. Perubahan peran perempuan tersebut boleh dikatakan hanya pada tataran kuantitas, bukan pada tingkatan kualitas. Suatu perubahan yang memang menunjukkan pertumbuhan, tetapi bukan perkembangan (growth without development), atau sekadar perubahan bentuk, bukan perubahan substansial.

Perlu diperhatikan, agar posisi perempuan terlihat berubah secara substansial, bukan hanya bagaimana pendidikan sekolah mesti membuka diri untuk menerima perempuan, tetapi yang tak kalah penting adalah mengubah kurikulum pendidikan pada berbagai tingkatan agar tidak bias gender, tidak menempatkan perempuan sebagai kelompok yang inferior.

 Penulis, staf pengajar Jurusan Antropologi FISIP Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 21 April 2010