20 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Inspirasi Kartini bagi sang Adik

Inspirasi Kartini bagi sang Adik

KETURUNAN Sosroningrat adalah anak-anak yang cerdas dan sangat peduli terhadap perjuangan bangsanya. Bukan hanya Kartini, kakak dan adik-adiknya pun cukup memberi warna pada perjuangan bangsa ini ,khususnya bagi kemajuan kaum perempuan. Salah satu adik yang banyak jasanya mewujudkan cita-cita Kartini adalah Kardinah.

Waktu kecil Kardinah bercita-cita menjadi guru dan ia memilih sekolah kerumahtanggaan. Walaupun tidak berhasil bersekolah guru, ia mendirikan sekolah dan mengajar dengan membuat buku-buku pelajaran sendiri.

Kardinah bukanlah seorang dokter tetapi cita-citanya membantu pribumi yang sakit cukup kuat. Tahun 1927 dia mewujudkan mimpinya dengan membangun rumah sakit di Tegal: Rumah Sakit Kardinah di Jalan Karel Sasuit Tubun. Rumah sakit ini sekarang menjadi rujukan se-Eks Karesidenan Pekalongan.


Kardinah sangat menghormati  Kartini karena ia  mendapat perlakuan istimewa. Kartini membebaskan adik-adiknya berperilaku biasa terhadapnya, tidak perlu menyembah, tidak perlu laku dhodhok, dan tidak perlu berbahasa krama inggil.

Sangat menghormati bukan berarti kakak beradik itu tidak pernah bersitegang. Kartini pernah mengatakan bahwa adiknya itu jauh  lebih angkuh. Mengenai hal itu, Kartini pernah menulis kepada Nyonya van Kol:

Juga dengan adikku saya pernah bentrok, adik kesayangan saya ...yang lebih angkuh lagi daripada saya.Angkuh berbenturan dengan angkuh, padahal kami begitu saling mencintai. Itu sesungguhnya berat,...rasanya seperti di neraka. Sekarang pelajaran itu cukup. (Kartini Sebuah Biografi, Sitisoemandari Soeroto, 1983:69).

Keangkuhan dalam bahasa Kartini maksudnya masing-masing mempunyai pendirian dan kemandirian kokoh. Kemandirian itulah yang kemudian melahirkan ide dan karya  cemerlang.
Adat pada saat itu tidak memperkenankan seorang ningrat bergaul lekat dengan rakyat biasa.

Ningrat harus bergaul dengan ningrat. Hal seperti ini sengaja dilestarikan oleh pemerintah kolonial, agar para ningrat kehilangan kepekaan terhadap problematika rakyatnya, menghindari keberpihakan ningrat kepada rakyat yang tertindas; sekaligus  memperbesar jarak agar antara ningrat dan rakyat tidak tergalang suatu kekuatan untuk melawan penguasa.

Dalam situasi demikian, dapat dipahami bila pergaulan Kartini terbatas pada lingkungan keluarga dan orang-orang Belanda. Banyak orang Belanda di Hindia Belanda ataupun di Negeri Belanda ingin menjalin persahabatan dengan Kartini, namun umumnya mereka ini adalah musuh dalam selimut yang ingin memperalat Kartini dan memandulkan pemikirannya.
Memenuhi Ambisi Upaya memperalat Kartini sangat terlihat pada perilaku Ir  Henri Hubert van Kol. Sebelum berkenalan dengan Kartini, van Kol pernah tinggal di Jawa, yaitu di Tegal selama 16 tahun, 1879-1892 (Kartini Sebuah Biografi, Sitisoemandari Soeroto, 1976 : 252).

Van Kol merupakan anggota terkemuka Parlemen Belanda. Selain sebagai insinyur hidrolik, ia ahli dalam masalah-masalah kolonial. Van Kol mendukung dan memperjuangkan kepergian Kartini ke Belanda atas biaya pemerintahnya.

Namun, rupanya ada udang di balik batu, van Kol berharap dapat menjadikan Kartini sebagai “saksi hidup” kebobrokan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Semua ini untuk memenuhi ambisinya memenangi partainya (Sosialis) di parlemen. Walau pada akhirnya Kartini gagal ke Belanda.

Kartini sering mengajak Kardinah  ke rumah keluarga Ovink, Asisten Residen Jepara kala itu. Mereka merasa menemukan  orang yang mengerti perasaan dan pikiran-pikiran mereka yang merindukan alam modern.

Perkenalan Kardinah dengan orang-orang Belanda berlanjut dengan saling berkirim surat, khususnya dengan keluarga Abendanon. Korespondensinya dengan keluarga Abendanon berlanjut sepeninggal Kartini. Dari surat menyurat inilah Kardinah banyak mengetahui perkembangan dunia luar.

Dengan usia yang mencapai 90 tahun lebih dia memiliki kesempatan lebih banyak mewujudkan cita-citanya. Namun perjuangannya  di bawah bayang-bayang Kartini. (10)

— Yono Daryono, budayawan, tinggal di Tegal

Wacana Suara Merdeka 21 April 2010