20 April 2010

» Home » Jawa Pos » Refleksi Hari Kartini, 21 April 2010

Refleksi Hari Kartini, 21 April 2010

Dalam panggung dunia,

semua laki-laki dan perempuan hanyalah pemain.

Masing-masing keluar dan masuk, dan satu orang pada masanya memainkan banyak peran.

(William Shakespeare, dalam drama 'as you like it')

SAAT itu mungkin belum terbayangkan oleh Shakespeare -karena dia bukan seorang cenayang- bahwa kemajuan perempuan di berbagai bidang sepesat sekarang.

Ketika perempuan mampu memainkan banyak peran dalam kehidupan domestik maupun publik; ketika kesempatan membentang bagai cakrawala luas; ketika warna kehidupan perempuan adalah sebuah pilihan, bukan keterpaksaan budaya. Termasuk menjadi pemimpin, yang mempunyai konotasi kekuasaan, sebuah kata yang sering justru diemohi perempuan karena munculnya ketakutan terhadap terancamnya eksistensi feminitasnya. (Itulah) konsekuensi tugas high profile yang bakal menjauhkan perempuan dari zona nyamannya.


Menjadi pemimpin berarti mempunyai nyali untuk berdiri di ruang publik, dicermati dengan saksama untuk dianalisis, dikritisi, dan bahkan dibidik untuk dijatuhkan. Dan situasi tersebut sangat berisiko, dapat menggoyang stabilitas feminitasnya sekaligus mengganggu kebutuhan akan ketergantungan yang kerap mereka balut dalam peran yang tak begitu menuntut tanggung jawab berat serta berisiko.

***

Untuk menjadi pemimpin yang efektif, seorang perempuan harus berhenti berpikir bahwa dia adalah seorang perempuan. Begitulah yang dikatakan Flory Bramnick, senior eksekutif dari Sony Pictures Television. Sebab, perempuan pemimpin tidak bisa lagi memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri, sebagai pembenaran untuk tetap mendapatkan privilege dari lingkungan sosial-budayanya hanya lantaran ''karena aku seorang perempuan...''. Tentu saja (itu) tidak mudah karena membutuhkan usaha keras agar visi perjalanan selaras.

Berhenti menjadi perempuan bukan berarti harus bermetamorfosis menjadi laki-laki, misalnya. Tapi, menjadi seseorang yang berpikir dalam konteks lebih luas, tujuan kemanusiaan yang lepas dari batas-batas gender yang justru kerap membentuk stereotipe tertentu dan malah menjeratnya untuk bisa berpikir lebih fleksibel.

Perempuan yang memasuki wilayah kepemimpinan tidak lagi bisa menjadi ''anak manis'' seperti dulu lagi, yang bisa menggantungkan sebagian besar tanggung jawabnya kepada orang-orang di sekitarnya dan selalu ingin menyenangkan orang lain untuk memuaskan rasa ketergantungannya. (Itulah) suatu konflik mendasar intrapsikis yang sering melanda perempuan ketika harus menentukan pilihan. Masalah yang dikaitkan dengan budaya plus pola asuh yang membawa perempuan kesulitan dalam melepaskan konsep ''sindrom perempuan baik-baik'' telanjur melekat dalam dirinya. Akibatnya, sering perempuan mengalami kegamangan justru ketika puncak pimpinan tinggal selangkah lagi.

Saat dia mendaki puncak kekuasaan, tentu saja kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan ke pundaknya kian berat seiring dengan hak-hak yang bisa diraihnya. Padahal, di titik tersebut mereka dituntut mampu membuat keputusan sendiri sebagai refleksi sebuah kemandirian sejati, tanpa banyak berharap pertolongan orang lain.

Betapa menakutkan bagi sebagian besar perempuan; mereka akan mengalami konflik antara ketergantungan dan kemandirian sejati. Di titik krusial inilah mereka terkadang melakukan kompensasi yang merugikan, menghambat laju karirnya sendiri, atau sebaliknya, tetap melangkah dengan memakai jaket ''wanita besi''. (Itulah) situasi ketika mereka merasa insecure.

Konflik ketergantungan dan kemandirian sering membuat perempuan menjelma menjadi ''wanita besi'' yang kukuh, tapi nyaris tanpa fleksibilitas. (Itulah) kondisi yang membuat mereka lebih menjauh dari zona nyamannya. ''Wanita besi'' yang sejatinya rapuh di dalam dan untuk menjaganya lantas membungkus diri dalam cangkang yang keras tanpa kompromi.

Sejatinya, tak perlu perempuan menyia-nyiakan kesempatan dan kemampuan tinggi yang sudah di depan mata andai saja mereka mampu melihat nilai lebih dan kurangnya eksistensi mereka, plus kemampuan menebalkan telinga tipis yang sudah menjadi bawaan. Mendengarkan kata hatinya sekaligus orang lain dengan adonan akal sehat, bukan sekadar perasaan yang sering mendominasi mereka.

***

Perempuan pemimpin sebetulnya dikaruniai kelebihan. Sisi keibuan alami (motherhood) yang mengajarkan manajemen, komitmen tinggi, sifat welas asih, keterampilan bernegosiasi, kemampuan membuat keseimbangan, dan empati bawaan terhadap masalah kemanusiaan adalah modal dasar yang bisa dikembangkan dalam membawa gerbong kerja sama menuju keberhasilan. Belum lagi kemampuannya dalam menghargai relationship, bukan semata memakai ''kepalanya'', tapi juga ''telinga dan mata hatinya''.

Sekaligus menyadari serta mengendalikan kelemahan dasar mereka dalam memimpin, misalnya, kerap kurang bisa mendelegasikan tugas, kurang berani mengambil risiko (safety player), mem-''personal''-kan masalah yang timbul dalam lingkungan pekerjaan dan dapat mudah menjebaknya dalam sikap subjektif, serta mencampuradukkan pekerjaan dan urusan pribadi. (Itulah) kondisi yang bisa dikatakan satu paket sebagai manusia, sebagaimana dipunyai laki-laki pula.

Menjadi pemimpin berarti mempunyai keberanian menjumput risiko untuk tidak bisa menyenangkan semua pihak, sesuatu yang berlawanan dengan konsep ''perempuan baik-baik''. Artinya, tidak dapat meramalkan hasil akhir yang lebih pasti yang memberikan rasa aman. Sebaliknya, tidak mengambil risiko juga, malah memberikan kepastian situasi yang tidak akan berubah.

Ketika Kartini memandang ke bumi, dia berharap berbondongnya perempuan masa kini yang riuh rendah meraih kesempatan dan kemampuan jauh di atas daripada yang dapat diraih kaumnya saat itu dapat memberikan pencerahan bagi peradaban manusia. Bukan sekadar pesta sementara bagi perempuan. Mampukah?

*). Nalini Muhdi, psikiater konsultan 'women's mental health', staf RSU Dr Soetomo/FK Unair

Opini Jawa Pos 21 April 2010