20 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Kartini dan Koruptor

Kartini dan Koruptor

Oleh Yesmil Anwar

Habis gelap terbitlah terang, sebuah optimisme tentang harapan yang dimaknai seorang R.A. Kartini sebagai perempuan Indonesia  yang merdeka dalam berpikir dan bertindak. Habis Gelap Terbitlah Terang, adalah judul buku yang sangat monumental. Isinya berupa kumpulan surat Kartini seorang putri bupati kepada sahabatnya Nona Abendanon, perempuan kulit putih, warga negara Belanda tentang kegelisahan, harapan dan cita-cita Kartini untuk memajukan kaum perempuan Indonesia yang terkurung dalam tradisi yang masif. Kartini ingin perempuan Indonesia dapat bebas bersekolah, mengenyam pendidikan setinggi-tingginya sama dengan kaum laki-laki.

Namun yang lebih penting adalah kenyataan bahwa Kartini pada saat itu dapat dianggap mewakili bangsa yang dijajah, dan Nona Abendanon merupakan perwakilan dari bangsa yang menjajah. Meskipun demikian, mereka sebagai individu dapat melepaskan diri dari prasangka situasi dua bangsa yang saling berseberangan.



Tulisan ini ingin menyoroti secara selintas bagaimana kita melihat dan mewujudkan nilai-nilai kekartinian pada masa kini yang esensinya telah dituangkan Kartini dalam isi suratnya  tentang optimisme perempuan Indonesia yang memiliki kebebasan (liberty), kesamaan (equality) dan persaudaraan (fraternity) di dalam kehidupannya. Pemikiran Kartini pada masa itu melampaui batasan pemikiran perempuan Indonesia pada umumnya dan tidak hanya menembus keberadaan perempuan dalam konsep gender, tetapi juga merupakan deklarasi tentang keberadaan perempuan Indonesia di mata dunia, di mata perempuan, dan di mata Kartini sendiri.

Lalu apakah yang dapat dipetik dari nilai-nilai kekartinian yang dalam sebuah lagu didengungkan sebagai ”pendekar bangsa”? Bagaimana kita memandang nilai-nilai kartini dalam konsep kebangsaan, politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan hukum? Apakah kita sudah mampu mengimplementasikan konsep kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan dalam konteks kekinian di bumi Indonesia? Bagaimana kita memandang nilai-nilai kekartinian dari sudut moralitas dan etika sebagaimana yang diharapkan oleh bangsa dan negara?

Betapa ironisnya jika perempuan Indonesia diberi julukan ”ratu ekstasi”, ”ratu ngebor”, ”ratu goyang gergaji”, dan berbagai julukan lainnya untuk hal-hal yang negatif. Di sidang pengadilan, saksi koruptor yang notabene adalah perempuan Indonesia bernama Nunun Nurbaeti dan Sumarni, sekretaris Nunun, mendapat julukan ”miss pelupa” karena tidak mampu mengingat kepada siapa saja uang satu miliar diberikan dalam bentuk cek. Tumbuh pertanyaan, sejauh mana peranan perempuan dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki?

Dalam teori kriminologi kuno dari filosof Aristoteles bahwa penyebab kejahatan ada dua macam; pertama adalah emas, yang kedua adalah wanita. Orang sering mengatakan, istri menjadi faktor pendorong bagi terjadinya korupsi yang dilakukan sang suami  karena menuruti keinginan istrinya untuk hidup melampaui kemampuan. Sang istri ingin rumah mewah, mobil bagus, deposito berlimpah. Namun apa daya gaji suami tidak mencukupi. Besar pasak daripada tiang, kata pepatah. Meskipun tidak semua istri mendorong suaminya menjadi koruptor. Namun, potensi ke arah sana terbuka lebar. Sikap mental yang buruk, kesempatan yang terbuka lebar, sistem pengawasan yang longgar plus istri yang jauh dari nilai-nilai kekartinian akan mudah menjerumuskan sang suami menjadi koruptor. Perempuan Indonesia yang terdidik dengan baik, nalar ataupun akhlaknya, akan sangat berguna untuk menjauhkan diri dan keluarganya dari peluang menjadi koruptor.

Di era emansipasi ini, banyak sekali perempuan yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan, sebagai bupati, wali kota, penegak hukum, anggota parlemen, bahkan menteri sekalipun. Banyak di antara mereka yang dijebloskan ke dalam penjara karena menjadi koruptor. Artinya, emansipasi dalam lapangan pekerjaan antara perempuan dan laki-laki, bukan hanya akan berdampak positif pada harkat dan martabat perempuan Indonesia. Kalau tidak diisi dengan nilai-nilai kekartinian yang mulia, maka peranan perempuan Indonesia dalam tindak pidana korupsi, dapat secara langsung maupun tidak langsung menyuburkan penyakit korupsi di Indonesia.

Apakah kita akan membiarkan koruptor ini lolos dari jeratan hukum karena saksi yang kebetulan perempuan Indonesia dengan ringan mengatakan lupa sehingga hukum seolah-olah tak berdaya. Apakah potret perempuan Indonesia semacam ini dapat menjadi salah satu pendekar memberantas korupsi? Tentu saja jawabannya tidak. Ironis sekali bila kita simak bunyi lirik lagu ”Ibu kita Kartini pendekar bangsa” yang kita nyanyikan pada 21 April setiap tahun dalam acara-acara peringatan Hari Kartini, di sekolah-sekolah dari tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi, di kantor-kantor pemerintah maupun swasta, di RT/RW berbagai permukiman, dan berbagai komunitas perempuan di Indonesia. Hal ini sangat memperihatinkan.

Dalam era keterbukaan informasi dan kesetaraan gender, ternyata perempuan Indonesia sebagian besar masih dimarginalkan oleh keadaan dan berada dalam kegelapan, diperalat untuk kepentingan politik, dan melancarkan transaksi koruptor. Banyak sekali kasus korupsi yang melibatkan wanita semacam itu, sebagai contoh Artalita (ayin) dalam kasus jaksa Urip.

Inilah sisi lain yang membuka kesempatan bagi perempuan untuk berbenah diri agar mampu mengimplementasikan nilai-nilai kekartinian dan dengan lantang menyatakan ”say no to corruption”. Selamat Hari Kartini.***

Penulis, dosen Fakultas Hukum Unpad dan Unpas.
Opini Pikiran Rakyat 21 April 2010