20 April 2010

» Home » Okezone » Ibu Sang Presiden

Ibu Sang Presiden

Seputar Hari Kartini yang jatuh pada 21 April, di media massa bermunculan tulisan tentang emansipasi kaum perempuan.

Meskipun terdapat kemajuan dalam berbagai bidang, aspek negatif seperti kekerasan dalam rumah tangga yang menjadikan perempuan sebagai korban tak kunjung mereda. Tulisan ini mengambil posisi bahwa emansipasi itu harus dimulai dari keluarga. Di dalam keluarga nilai-nilai tentang kepribadian yang positif serta penghargaan terhadap sesama ditanamkan sejak dini. Dalam hal ini peran ibu sangat menentukan dalam pembentukan kejiwaan anak. Artikel ini menyajikan contoh keteladanan proklamator kemerdekaan Indonesia yang pembentukan karakter mereka sudah dimulai sedari kecil. Soekarno dilahirkan di tengah keluarga yang sudah mengenal pluralisme. Tidak mengherankan kalau di kemudian hari beliau sangat menghargai kemajemukan.



Orang tua Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai Srimben yang menikah dengan Raden Soekeni Sosrodihardjo, seorang guru di Singaraja. Perkawinan beda suku agama yang mulanya ditentang pihak keluarga, membuahkan putri pertama bernama Soekarmini tahun 1899. Soekeni pindah mengajar ke Surabaya dan dua tahun kemudian lahir Koesno yang kemudian menjadi Soekarno. Jadi, sejak kecil Soekarno sudah hidup dalam keluarga yang menerapkan bhineka tunggal ika. Dua ratus meter dari rumah mereka terdapat kediaman HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam, yang kemudian menjadi tempat kos Soekarno. Waktu Soekarno di Penjara Sukamiskin, Bandung, tahun 1927, Nyoman Srimben datang menjenguk.

Ketika ditanya sipir penjara Belanda, dia menjawab, “Ibune Soekarno”. Sipir itu marah-marah karena perempuan tersebut tidak berbahasa Belanda, sedangkan Soekarno tertawa geli. Setelah putranya menjadi Presiden RI, Nyoman Rai Srimben tidak mau datang ke Istana. Justru anaknya yang disuruh ke rumahnya di Blitar. Dia adalah seorang ibu yang berwibawa dalam kesederhanaannya. Dalam berbagai foto terlihat Bung Karno yang sedang sungkem di depan ibunya di sana. Tahun 1958, ketika ibunya sakit keras, Soekarno segera berangkat ke Blitar dan sempat melepas kepergian ibunya menghadap sang Pencipta. Para anggota kabinet mencarter pesawat agar dapat hadir dalam acara pemakaman.***

Bagi Hatta (semula bernama Attar “harum”, kemudian dipanggil Atta lalu jadi Hatta) ibu juga tokoh sentral karena ayahnya meninggal sewaktu ia kecil. Ibunya, Saleha, sangat menyayanginya. Tatkala putranya di buang ke Digul, sang ibu mengirimi rendang. Rendang, masakan kesukaan Hatta, setiap kali harus ada di meja makan. Rendang itu dikirim ke Papua dalam kaleng mentega yang dipatri kembali agar minyaknya tidak tumpah. Yang tidak kalah penting pengaruhnya bagi perkembangan kejiwaan Hatta adalah pendidikan yang diberikan neneknya, Siti Aminah, untuk bersikap berani karena benar. Suatu ketika 30 ekor kuda milik sang nenek ditembak Belanda. Nenek marah dan menemui residen dengan pistol terselip di pinggang. Perempuan itu tidak takut kepada siapa saja bila haknya dirampas.

Perjuangan kemerdekaan telah menjadikan Soekarno dan Hatta sebagai proklamator. Namun, seorang diantara keduanya belum menikah karena telah berikrar tidak kawin sebelum Indonesia merdeka. Soekarnolah yang mencarikan jodoh bagi sahabatnya yang telah berusia lebih 40 tahun. Dan mengenalkannya dengan Rahmi yang kemudian dilamar di Bandung. Pernikahan itu dilangsungkan di Megamendung. Sebagai mas kawin, Hatta menyerahkan buku karyanya, Alam Pikiran Yunani. Padahal, ibunya sudah berkata, ”Saya mempunyai beberapa ringgit emas, berikanlah itu sebagai mas kawin”. Namun bagi Hatta, buku lebih berharga daripada emas. Tahun 1956, dwitunggal Soekarno- Hatta menjadi tanggal.

Hatta yang berbeda pendapat dengan Soekarno tentang penyelenggaraan negara memutuskan mundur. Walaupun demikian, hubungan pribadi antarkeduanya tetap baik. Kadang-kadang Hatta menulis surat kepada Bung Karno bila ada hal-hal yang dirasanya tidak tepat. Sejak 1968 boleh dikatakan Soekarno mengalami “tahanan rumah”.“No, apa kabar ?” panggil Hatta ketika membesuk di tempat tidur. Soekarno membuka matanya dan memandang beberapa lama sebelum mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda. Hatta memijit lengan Bung Karno, air mata Presiden RI pertama itu menetes ke bantal. Pertemuan terakhir antara kedua proklamator berlangsung selama 30 menit. Beberapa hari kemudian (pada bulan Juni 1970) Soekarno berpulang. Hatta sendiri wafat bulan Maret 1980.

Pada saat-saat terakhir, istri Soekarno, Fatmawati, membimbing dia membaca kalimat syahadat. Hatta mengikuti dengan suara terbata-bata sebelum menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Namun, tepat dua bulan kemudian Fatmawati juga berpulang ke rahmatullah. Fatmawati adalah perempuan yang memegang prinsip dengan teguh. Ketika Soekarno menyatakan keinginan untuk menikahinya karena tidak memperoleh anak dari istrinya, Inggit Garnasih, Fatmawati tidak mau dimadu. Kelak di kemudian hari, tatkala Presiden RI pertama itu mengawini Hartini, maka Fatmawati memilih tinggal di luar istana.***

Dalam usia 13 tahun BJ Habibie ditinggal wafat ayahnya, AA Habibie, bekas Kepala Jawatan Pertanian Sulawesi Selatan. Ibunya yang berasal Yogyakarta, membesarkannya. ‘’Sedang hamil delapan bulan, Ibu bersumpah di sisi jenazah Ayah, akan menyekolahkan anak-anaknya,’’ kata anak keempat ini. Dia, atas anjuran ibunya, sendirian berangkat ke Bandung untuk masuk SMP. Ibunya menyusul kemudian setelah dia kelas dua SMA. Setahun di ITB, atas usaha ibunya, dia beroleh beasiswa P&K untuk belajar di Jerman Barat. Sementara itu, ibunya berdagang dan menyewakan pemondokan kepada para mahasiswa. Nyai Salihah binti Bisri Sjansuri atau Nyai Wahid Hasyim, ibu dari Gus Dur, juga seorang perempuan pemberani.

Suatu siang terdengar suara mobil patroli Belanda berhenti mendadak di depan rumah, Nyai Wahid Hasyim dengan sigap mengambil bundelan dokumen penting dari dalam lemari Kiai Wahid Hasyim dan dibawanya ke sumur di belakang rumah. Sembarangan dia raih pula beberapa potong pakaian yang terjangkau tangan. Bundelan dokumen itu diletakkannya di lantai sumur, lalu ditutup dengan ember yang ditengkurapkan. Pakaian-pakaian dimasukkan ember lain, lalu diguyur air sedapatnya. Nyai Wahid menduduki ember penutup dokumen itu dan mulai mengucek pakaian. Serdadu Belanda membentak- bentak namun Nyai Wahid diam saja. Putus asa, si komandan berbalik, membawa pergi anak buahnya dengan tangan hampa.

Tanggal 23 Februari 2010, ibunda SBY, Siti Habibah (83 tahun), dirawat di RS Husada Jakarta Pusat karena mengalami gangguan di bagian empedu. SBY yang didampingi Ani Yudhoyono berujar, “Saya berada di Rumah Sakit Husada ini untuk menunggui ibunda saya,” kata SBY. Sementara beberapa agenda kepresidenan terpaksa diwakilkan kepada Wapres Boediono, salah satunya, peresmian Tol Kebon Jeruk-Penjaringan.

Penggalan sejarah di atas mengungkapkan pentingnya ibu serta peran sentral keluarga bagi pembentukan karakter seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Dari dulu sampai sekarang.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

Opini Okezone 21 April 2010