20 April 2010

» Home » Suara Merdeka » PPATK Jerat Koruptor

PPATK Jerat Koruptor

SUNGGUH menarik mencermati temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode Februari-Desember 2009, yang melaporkan sedikitnya 1.100 aliran dana mencurigakan di rekening pegawai Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai. Temuan tersebut  sudah dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk segera ditindaklanjuti. Terlebih setelah tertangkapnya Gayus Tambunan, staf Ditjen Pajak di Jakarta yang ditengarai mengorupsi pajak.

Temuan serupa diduga pula melibatkan anggota DPR, pejabat setingkat menteri, dan direktur jenderal. Artinya, pada rekening mereka ditemukan adanya aliran dana mencurigakan.  Sayangnya, selama ini belum banyak koruptor yang tertangkap basah melalui laporan PPATK ini. Mungkin, unjuk kerja dari pusat pelaporan itu tak segera bisa diketahui langsung layaknya kerja KPK.


Namun bukan tidak mungkin, prestasi aparat penegak hukum adalah karena back up data dari PPATK, yang memang tidak memiliki kewenangan menangkap koruptor.  Kendati demikian, hasil analisis yang kemudian disajikan dalam bentuk laporan ini bisa dijadikan entry point dan ditindaklanjuti untuk membidik koruptor dan pencuci uang.

Menurut UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang sudah direvisi dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, khususnya Pasal 13, para penyedia jasa keuangan (PJK) wajib menyampaikan dua hal kepada PPATK.
Sering Dijumpai Pertama; transaksi keuangan yang mencurigakan, dan kedua; transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai seumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih, atau mata uang asing senilai setara, baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 hari (dari satu rekening yang sama).
Hal yang disebut pertama, sangat sering dijumpai, yakni unusual transaction di mana transaksi yang dilakukan keluar dari profil nasabah yang bersangkutan. Mengapa dikatakan bahwa unusual transaction sering terjadi di bank, karena hampir semua pelaku kejahatan keuangan (termasuk koruptor), bisa dipastikan memiliki rekening di bank atau penyedia jasa keuangan (PJK) lainnya.

Di sini, PJK sebenarnya sudah memiliki profil dari nasabah, termasuk profil si koruptor. Saat awal berhubungan dengan PJK, nasabah biasanya diwajibkan mengisi formulir know your customer (KYC) yang berfungsi untuk mengetahui profil dan karakteristik transaksi dari nasabah yang bersangkutan. Di sinilah  titik awal pengelola PJK mengenal nasabahnya, termasuk profil dan kekuatan keuangannya.

Logikanya, PJK semestinya juga bisa mengendus dan mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh si pelaku tindak kejahatan keuangan. Misalnya, seorang PNS ”biasa” dengan profil sumber dana berasal dari gaji tiba-tiba melakukan transaksi dalam jumlah besar di luar batas kewajaran sehingga muncul dalam laporan transaksi tidak sesuai dengan pendapatan, dan tidak ada informasi yang dapat meyakinkan kewajaran transaksi tersebut. Maka berdasarkan kondisi tersebut, serta merujuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan UU TPPU, bank harus membuat laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM)/ cash transaction report (CTR) kepada PPATK.
Apabila laporan mencurigakan pada satu orang itu ditemukan di banyak PJK dengan identitas yang sama atau ada hubungan keluarga, maka PPATK biasanya akan memberikan rekomendasi bahwa transaksi keuangan dari orang tersebut berindikasi menyimpang dan perlu ditelusuri lebih lanjut.

Bila semua PJK seperti bank, asuransi, pedagang valas, pemain pasar modal, manager investasi, multifinance, kospin, leasing, dealer mobil, pengembang (developer), agen properti, pedagang emas dan perhiasan, BMT, lawyer, notaris, pihak pemberi izin investasi serta PJK lainnya melakukan hal sama, bisa dipastikan ruang gerak koruptor dan pencuci uang, makin terbatas.

Terlebih bila PPATK mengaudit PJK untuk memperoleh detail transaksi, termasuk meminta bank penyedia jasa save deposit box (SDB) untuk melaporkan pemilik boks itu, yang mungkin saja dipakai oleh seorang koruptor untuk menyimpan mata uang asing, utamanya dolar AS. Atau menyelidiki keberadaan penjualan cek perjalanan (traveler cheque) yang sering dipakai untuk mengurangi transaksi tunai. (10)

— Susidarto, praktisi perbankan, tinggal di Yogyakarta

Wacana Suara Merdeka 21 April 2010