20 April 2010

» Home » Lampung Post » Kartini, Peran, dan Jejak Literernya

Kartini, Peran, dan Jejak Literernya

Misbahus Surur
Pegiat sejarah, sekolah S-2 di UIN Maliki Malang
Pada mulanya Kartini (1879--1904) hanyalah satu dari sekian perempuan Jawa biasa yang tak bi(a)sa menerima kodrat zaman yang terejawantah dalam tradisi menelikung kuasa keperempuanannya. Apalagi, saat itu, realitas sosial di sekelilingnya; ihwal kehidupan diri dan masyarakatnya, dirasanya berbanding terbalik dengan apa yang selama ini menjadi idealitas pikiran dan hatinya. Hal itu mengaduk-aduk ceruk pikirannya. Kemudian ia memikirkan banyak hal, misal tentang perjodohan, perkawinan, pendeknya segala yang berhubungan dengan regulasi adat Jawa bersama masyarakatnya. Khususnya pertalian tradisi dalam meletakkan hubungan lelaki dan perempuan, yang dirasanya penuh dengan dikotomi juga diskriminasi. Karena, sudah sejak lama Kartini merasa dipasung tradisi, yang sangat meringkus kebebasan kreatifnya.
Dari keterimpitan itu, akhirnya seorang Kartini dapat memikirkan beragam hal yang lebih luas; tentang dirinya, perempuan Jawa, nasib bangsanya, dan masalah sosial di sekelilingnya yang berjalin lindan.


Surat-Surat Kartini
Hal yang tampak luar biasa dari diri Kartini adalah wujud teks-teks surat di sisinya. Kartini menulis dengan gaya bahasa dan pemikiran yang melampaui perempuan di masanya. Lebih luar biasa lagi, surat-surat itu ditulis bukan dengan bahasa ibunya, Jawa, melainkan bahasa kolonial yang hanya didapatnya melalui bangku sekolah rendahan (ELS), setingkat SD di zaman sekarang.
Senarai surat-surat yang diterbitkan selang beberapa tahun sesudah meninggalnya tahun 1904 itu, diprakarsai J.H. Abendanon, salah satu lawan korespondensinya, seorang mantan pejabat Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat di Hindia Belanda. Entah karena niat tulus demi Kartini atau terselip niatan lain, tentu kita semua tak dapat mengendus gelagat penerbitan itu, jika memang ada. Anehnya, Abendanon tak pernah meminta pertimbangan pada masyarakat Indonesia atau minimal pada keluarga Kartini dalam usaha penerbitan itu. Baik terkait komposisi surat maupun segala hal yang berhubungan dengan fisik surat-surat tersebut.
Tapi, menurut Pramudya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, penerbitan itu hanyalah one-man business-nya Abendanon yang patut diselidiki lebih lanjut. Karena si Abendanon ini, bagi Pramudya, meski di sisi lain telah berjasa menerbitkan surat-surat itu sehingga dibaca banyak orang, ia juga adalah aparat kecil gerakan kaum liberal Belanda yang boleh jadi tak lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu.
Rentang 7 tahun sepeninggal Kartini, surat itu benar-benar terbit, tepatnya tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Lich (DDtL). Judul yang diambil dari bait awal syair Jawa yang tertera pada salah satu surat yang ditulis Kartini. Atau dalam terjemahan harfiah bahasa Melayunya berbunyi Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebuah edisi terjemahan yang dalam tingkatan tertentu, kata Pram, sangat berpeluang untuk mereduksi pemikiran dan perjuangan Kartini dalam edisi bahasa aslinya.
Kumpulan surat itu pada awal terbitnya berjumlah sekitar 105 buah dengan tambahan nukilan catatan harian, beberapa buah sajak dan sebuah nota mengenai pendidikan dan pengajaran atas permintaan Mr. Slingenberg, seorang utusan Pemerintahan Belanda. Dengan lebih dari separuhnya (porsi terbesar), sekira 61 pucuk, teruntuk keluarga Abendanon sendiri. Secara finansial, terbitan surat-surat itu pun menemui kesuksesan besar sejak terbitan pertamanya, hingga naik cetak beberapa kali.
Hari ini, apa yang kasat mata bagi generasi kita dari sosok Kartini, tentu saja adalah kumpulan surat-surat itu. Suatu genre kepenulisan yang sangat berbeda dan lebih punya kebebasan dalam segi ekspresi dan pengucapan. Kendati ia tetap terikat dengan pertimbangan-pertimbangan terhadap, misal lawan dialognya. Bahkan jika diteliti lebih lanjut, kemungkinan besar Kartini punya motif-motif tertentu dalam tiap-tiap suratnya. Belum lagi surat-surat yang tak diterbitkan karena beberapa orang yang disurati, seperti Estella Zeehandelaar, Annie Glaser hanya memberikan sebagian surat. Tentu di samping usaha Abendanon yang terlalu banyak melakukan penyortiran dan pengguntingan-pengguntingan secara sengaja. Entah karena muatannya yang mengecam keculasan praktek penjajahan atau ketidakjujuran diri seorang Abendanon. Kata Pram, disinyalir usaha penerbitan itu juga adalah cemburu internasional pihak kolonial Belanda pada Inggris. Karena India sebagai negeri jajahan Inggris saat itu punya wanita maju, Pandita Ramabai, yang karena sepak terjangnya sempat mendapat simpati dunia.
Tak ayal, Kartini memang adalah prototipe wanita pendobrak. Ia tak mau hanya mengunci mulutnya saat suara kaum perempuan ditumbangkan. Sosok yang surat-suratnya terus diselimuti mitos ini, ibarat sebongkah batu untuk membangun menara tinggi menusuk cakrawala,-meminjam frase-frase dalam suratnya bertarikh 20 Agustus 1902. Mayoritas orang Indonesia tentu tahu siapa Kartini, tapi tahukah mereka perannya dalam sejarah? Sejauh mana generasi sekarang meneladani jejaknya, berapa banyak yang telah membaca surat-suratnya. Pertanyaan-pertanyaan itu layak diajukan, minimal agar Kartini dan kumpulan surat-suratnya tak melulu dilingkupi kabut legenda tak terjangkau. Selamat Hari Kartini.
Opini Lampung Post 21 April 2010