25 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Negara tanpa Surga

Negara tanpa Surga

"Perbuatan jujur akan mengantar ke surga dan perbuatan dusta akan mengantarkan ke neraka." Demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Sabda itu sejatinya mengajarkan pada setiap manusia di muka bumi, khususnya yang berkedudukan mapan atau mendapatkan kepercayaan publik untuk menduduki pos strategis dalam menegakkan kejujuran dan tidak memberlakukan dusta (pembodohan). Kenapa fokus pembumian kejujuran ditujukan pada elite negara? Pasalnya, yang bisa membangun dan merobohkan 'surga' di negeri ini adalah kelompok strategisnya.


Kelompok strategis yang menentukan berdirinya 'surga' memang elite kekuasaan. Mereka ini sudah dipercaya masyarakat, yang amanat ini bersentuhan atau berelasi dengan kewajiban memenuhi kepentingan masyarakat. Jika kepentingan (hak-hak) masyarakat dilindungi dan dimediasi, seperti hak bebas dari diskriminasi dan perlakuan yang semena-mena, elemen kekuasaan ini berjasa menegakkan 'surga'.

Sebaliknya, ketika elite negara terkerangkeng dalam ketidakjujuran, mengamankan, dan suka menyelamatkan borok dengan cara mendustai masyarakat, mereka identik dengan menghadirkan 'neraka' di tengah masyarakat. Minimal yang terkait dengan peran strategis yang dimainkannya.

Sayangnya, elite kekuasaan di negeri ini masih lebih akrab mengemas perannya untuk menghadirkan 'neraka' daripada 'surga'. Ketidakjujuran lebih sering dan akrab dimenangkannya jika dibandingkan dengan menunjukkan diri sebagai pengabdi dan pembumi amanah secara istikamah. Mereka terperosok dalam praktik-praktik pengabaian dan peminggiran objektivitas, dan lebih suka memproduksi pembohongan di mana-mana.

Nyaris sulit mencari lembaga-lembaga strategis yang berelasi dengan layanan publik yang menunjukkan misi sebagai penegak kejujuran. Terbukti, baru satu lembaga yang disidak tim khusus (Satgas Antimafia Peradilan), sudah ditemukan borok yang mengerikan.

"Sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam genggaman tangan beberapa orang, melainkan informasi di tangan orang banyak," demikian pernyataan John Neisbith yang mengingatkan kita tentang strategis dan fundamentalnya kejujuran dan keterbukaan dalam memberikan dan mendistribusikan informasi. Semakin banyak informasi objektif atau bermuatan kejujuran yang diperoleh masyarakat, masyarakat akan mendapatkan kekuatan hebat.

Secara a contrario, kalau masyarakat dijauhkan, dialinasikan, dan dieliminasikan dari sumber informasi objektif atau jujur, berarti masyarakat dibuatnya kehilangan hak keberdayaannya. Kalau sampai masyarakat tidak berdaya atau kehilangan kekuatan fundamentalnya, berarti masyarakat ini tidak akan mampu atau kecil kemungkinannya bisa sukses mewujudkan mimpi-mimpi besarnya, di antaranya gagal meraih kesejahteraan hidup, terganjal mewujudkan demokratisasi, dan termarjinalisasi penegakan supremasi hukum yang benar-benar berpihak kepadanya, atau gagal menikmati kehidupan di negara yang menyuburkan 'surga'.

Apa yang diingatkan Neisbith sejatinya dapat dijadikan sebagai 'kritik radikal' terhadap setiap elemen bangsa, yang selama ini masih gagap dalam mewujudkan amanat jabatan atau kekuasaannya, dan belum menunjukkan komitmennya secara cerdas dan maksimal dalam membangun masyarakat inklusif, beradab, cerdas, demokratis, dan suka menegakkan keadilan.

Memang suatu kegagapan masyarakat umumnya mudah terbaca lewat tanda-tanda masih lekatnya penyakit atau borok yang dipertahankan, yang penyakit atau borok ini 'menghegemoni' kepribadian elitenya. Hegemoni penyakit atau borok tidak berusaha dibedah, disembuhkan, atau didekonstruksinya. Pasalnya akibat dari 'kompilasi patologi' ini, mereka mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Hegemoni borok ini dapat terbaca kelanjutannya manakala elite kita ternyata lebih suka bermain sandiwara yang lebih memenangkan dirinya sebagai demagogis (sang penipu), dan bukan sebagai elite pemimpin yang populis dan berkejujuran.

Pertimbangan komunitas elite itu menunjukkan kalau dalam dirinya sudah mengidap krisis dan 'kematian' jiwa kenegarawanan, lebih terfokus pada pengemasan perilaku demagogis guna menjadi magnet yang mendatangkan keuntungan. Mereka ini berhasil mengemas dirinya lewat agregasi dan aksi serta konspirasi yang menunjukkan sebagai pribadi yang pecah (split personality).

'Pribadi pecah' tersebut mencerminkan sosok manusia Indonesia yang berstigma elitis, yang menyembunyikan kebenaran, mengamputasi kejujuran, mengimpotensikan keadilan, atau mengendapkan objektivitas, atau dalam keseharian perilakunya, khususnya yang berelasi dengan kepentingan fundamental bangsa seperti perlindungan atau penegakan hak-hak publik, tidak ditunjukkan secara transparan dan objektif.

Sosok seperti itu umumnya sibuk menjadi oportunis di zona 'basah' atau giat menciptakan lubang-lubang yang menguntungkannya, meskipun demi memenuhi syahwat keserakahannya itu, hak-hak masyarakat (HAM) dikorbankan atau ditumbalkannya. Salah satu modusnya dengan menciptakan wacana publik yang membingungkan, mengaburkan, atau menyebarkan informasi dengan bahasa bias yang tentu saja mengandung rekayasa sistemik gaya sosok demagogis.

Cara seperti itu sudah lama 'diwahyukan' Nicollo Machiavelli lewat kalimat populer het doel heiling de middelen atau segala cara apa pun boleh (halal) dilakukan, asalkan kepentingan (tujuan) bisa diraih. Kejujuran, kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran harus dihalang-halangi atau dimatikan supaya tidak menjadi serigala yang mengaum sehingga segala bentuk penipuan (dusta) tetap bisa tampil menjadi pemenangnya.

Perilaku oknum pejabat yang suka memalsukan kejujuran atau menjadikan kejujuran sebagai objek permainan merupakan tampilan pribadi 'berkedaulatan demagogis'. Itu tentu akan semakin membuat atmosfer kehidupan kenegaraan lebih mengarah pada pembenaran dan penjustifikasian dugaan masih kuatnya budaya politik dan bernegara yang serbarekayasa dan bermodus ketidaktransparanan, ketidakjujuran, pembengkokan, dan bahkan barangkali pembusukan informasi (information decay) sistemik. Pembusukan itu bisa lebih vulgar dan terbuka, manakala dewan semakin nekat dalam mengkriminalisasikan diri dan komunitas oportunisnya.

Potret penghancuran surga di negeri senyatanya masih demikian hegemonik mencengkeram, yang mengakibatkan masyarakat kesulitan atau mengidap kegagapan untuk memilah mana di antaranya yang benar-benar seirama antara kata dan fakta. Masyarakat terus saja dibuatnya sebagai keranjang sampah yang dimuati akselerasi pertarungan politik memperebutkan kepentingan yang bersifat anomalistik, yang petarungnya ini sangat arogan menghadirkan dan menguatkan gaya barbarian.

Itu mengindikasikan bahwa elemen elite pejabat atau pemegang kekuasaan strategis negeri ini tidak sedikit yang belum berkeinginan kuat atau berobsesi agung untuk mengalahkan akumulasi penyakit (racun) yang menjangkiti secara kronis anatomi institusinya, atau masih bersahabat dekat dan mengintegrasi dengan beragam penyakit, yang penyakit ini bahkan dikapitalismekan dan dijadikan mesin dan amunisi politik yang mampu mendatangkan banyak keuntungan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Elite bangsa yang menyukai dan gampang memproduksi penyakit semacam amoralitas dan kriminalisasi profesi atau profesi beraliran dan berasaskan dusta.

Dus, ke depan, tampaknya potret buram negeri ini akan semakin gelap. Pasalnya komunitas elitenya di berbagai lembaga masih belum berkeinginan bercerai dari penasbihan atau pengabsolutan kepentingan abuse of power-nya.

Oleh Prof Dr Bashori Muchsin, MSi Guru Besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang
Opini Media Indonesia 26 Januari 2010