25 Januari 2010

» Home » Kompas » Bijak Menghadapi Kritik Media

Bijak Menghadapi Kritik Media

Ali Sadikin adalah gejala tersendiri dalam konteks relasi antara pejabat publik dengan unsur masyarakat dan pers. Meski bukan figur yang tergolong ramah terhadap LSM dan media, Bang Ali selalu berusaha terbuka dan berpikiran positif terhadap kritik.
Sebagai gubernur DKI, Bang Ali bahkan merasa terbantu oleh kritik LSM dan media. Kritik membantunya mendapat gambaran sesungguhnya tentang kualitas pemerintahannya: pelayanan publik serta kelemahan dan penyelewengan di lapangan.


Dari anak-buahnya, para birokrat yang alergi kritik, hanya ada laporan bertipe asal bapak senang. Isinya, penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik, normal, meski yang terjadi sebaliknya: sarat pelanggaran dan penyelewengan. Bang Ali paham laporan seperti ini hanya membuatnya keliru menganalisis keadaan dan mengambil keputusan. Ia justru mengandalkan masukan dan kritik eksternal saat mengevaluasi pemerintahannya.
Mentalitas Bang Ali sangat relevan ketika kita menghadapi respons negatif pemerintah terhadap kritik media belakangan ini. Tak diragukan lagi, peran media sungguh signifikan mengangkat kontroversi cicak versus buaya, kriminalisasi KPK, penalangan Bank Century, dan mafia peradilan. Pemberitaan media mampu meletakkan opini publik sebagai faktor determinan dalam pengambilan putusan di tingkat eksekutif ataupun legislatif.
Dihadapkan pada situasi seperti ini, yang diperagakan para pemimpin kita bukan mentalitas Bang Ali. Sebaliknya malah sikap reaktif dan tidak proporsional. Secara apriori dan tanpa rujukan yang jelas, mereka gemar melontarkan penilaian, seperti ”kebebasan pers telah kebablasan”, ”media melakukan tirani opini”, ”pers jangan menjadi provokator”, dan ”masyarakat makin kreatif memfitnah”.
Efek delegitimasi
Muncul kepanikan ketika kritik media menimbulkan efek delegitimasi signifikan terhadap unsur politik tertentu. Yang mengemuka bukan mawas diri dan kreativitas menghadapi paparan media, namun justru praduga, bahkan niat buruk. Ini terjadi ketika Wapres Boediono melontarkan gagasan sinergi TVRI, RRI dan Antara ke dalam satu institusi untuk membantu pemerintah mengimbangi kritik media massa. Tersirat keinginan menjadikan tiga lembaga itu sebagai instrumen politik pemerintah.
Gagasan ini jelas kontroversial dan kontraproduktif. Pertama, UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 menegaskan TVRI-RRI adalah lembaga penyiaran publik yang independen, netral, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Salah besar membayangkan fungsinya sebagai organ pemerintah guna mengimbangi kritik media komersial.
Fungsi penyiaran publik di mana pun menjalankan keutamaan publik: pendidikan kewargaan, ruang publik budaya, pemberdayaan sosial ekonomi. TVRI-RRI tak dapat diidentifikasi sebagai lembaga milik pemerintah sebab didanai APBN yang adalah dana publik, bukan dana pemerintah. Gagasan menjadikan TVRI-RRI instrumen politik pemerintah hanya lazim muncul dalam rezim otoriter. Gagasan ini menunjukkan ketakpahaman terhadap spirit kelembagaan penyiaran publik.
Kontrol
Kedua, dalam rezim yang demokratis, sudah pada tempatnya pers mengontrol pemerintah. Pers adalah perangkat masyarakat guna mengawasi penyelenggaraan kekuasaan dalam berbagai bentuk. Cara efektif menghadapi kritik pers bukanlah dengan menciptakan tandingannya atau mencoba membungkamnya melalui produk kebijakan. Satu-satunya cara: mereduksi tindakan, kebijakan, dan situasi yang dapat memicu kontroversi. Agar terhindar dari paparan negatif media, pemerintah jangan membuat kesalahan. Penuhi harapan publik akan pemerintahan efektif dan bersih!
Tentu ini tak berarti pemberitaan media sama sekali tak menguntungkan pemerintah. Pemberitaan media tentang fasilitas mewah narapidana berduit jelas memperkuat alasan Menhuk dan HAM menertibkan jajarannya. Kontroversi media tentang cicak versus buaya menghindarkan Presiden dari kesalahan fatal melemahkan KPK dan mengkriminalkan anggotanya.
Pemberitaan intensif tentang dana talangan Century pada sisi lain juga mengondisikan DPR benar-benar mengusut tuntas kasus ini. Persoalannya, apakah pejabat kita bermental Bang Ali. Apakah mereka mau melihat pers secara kritis, proporsional, dan konstruktif?
Dalam beberapa kasus, pers masih mengabaikan etika dan profesionalisme. Kelemahan ini cukup menuntut perbaikan kualitas pemberitaan media, tetapi jelas tak memadai mengintroduksi kebijakan yang antikebebasan pers. Keberatan pemerintah dan unsur politik terhadap pemberitaan media seharusnya didasari itikad memperbaiki kualitas ruang publik media sehingga adil terhadap semua pihak, bukan niat ”balas-dendam” atau hasrat membelenggu kebebasan media.
Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta
Opini Kompas 26 Januari 2010