25 Januari 2010

» Home » Okezone » Susah Netral dalam Alam yang Tidak Netral

Susah Netral dalam Alam yang Tidak Netral

Seorang bernama Ranabaja mengatakan di Twitter: ”Apa pun ujung Pansus, itu akan dimulai dengan perpecahan di pangkal jalan buntu.” Blok satu mau impeachment.

Yang lain cuma mau gusur Sri Mulyani. Orang awam bingung baca tweet ini. Tidak ada harapan bahwa Pansus akan membongkar kejahatan aliran dana dan tidak ada harapan bahwa Pansus akan menyatakan Menteri Keuangan bebas dari kesalahan. Tidak akan ada keluar vonis tidak bersalah karena target partai yang diwakili dalam Pansus DPR adalah mencari kesalahan. Seperti soal ujian yang jawabannya sudah diberikan, tinggal menyusun cara penyelesaiannya.

Tanpa pretensi keilmiahan, kita bisa mengatakan bahwa sekarang ini ada dua medan perjuangan opini publik: mainstream dan social media. Mainstream didominasi oleh koran dan televisi. Social media berwujud dalam situs seperti Facebook, Twitter, dan blog. Karena media mainstream dikuasai modal besar yang berhimpit dengan kekuatan politik tertentu, sudah nyata keberpihakannya adalah pada program untuk menimpakan kesalahan Bank Century kepada Menteri Keuangan. Itu media mainstream, terutama televisi tertentu.

Adapun pada social media seperti Facebook, Twitter, dan koprol yang digerakkan oleh orang tanpa agenda politik, maka tidak ada kesimpulan tertentu di dalamnya. Yang ada hanya rasa ingin tahu, itu pun bagi yang memikirkan. Banyak yang merasa urusan politik tidak menyenangkan dan karenanya dia tidak mau ikut bersikap.

Tidak terasa oleh golongan yang tidak mau tahu ini bahwa netralitas akan menguntungkan pihak yang gencar berinisiatif, yaitu kekuatan modal dan politik yang mendorong Pansus seperti gerobak di atas jalan yang berlubang. Orang beranggapan bahwa sikap warga yang terbaik adalah netral.

Jangan saling mempengaruhi, jangan mendukung, atau menentang seseorang, kerjakan urusan sendiri tanpa terlalu terlibat politik.Pandangan begitu banyak benarnya, tapi ada buruknya. Sikap netral itu bagus kalau lingkungan kita itu netral. Katakanlah, ada keadaan ideal di mana DPR itu fair dan politisi melakukan tugasnya dengan baik. Dalam keadaan demikian, warga biasa sangat boleh jadi bersikap netral.

Kita percaya, setelah menang pemilu, Presiden akan berusaha bekerja dengan baik. Kalau ada pendapat bahwa dia tidak bagus kerjanya, hal itu mesti diurus lewat DPR dan lembaga lain. Diharapkan, DPR akan bekerja profesional menjalankan fungsinya. Kalau DPR tidak berjalan dengan semestinya, barulah warga biasa ikut bicara dan ambil sikap. Sikapnya ini diambil dari membaca koran dan menonton televisi. Sayangnya, dunia kita tidak ideal seperti itu.

Pertama, walaupun pemilihan presiden sudah selesai, masih saja banyak yang penasaran. Yang kalah pemilu tidak sabar menunggu pemilu berikut. Dikira ini seperti pertandingan sepak bola home and away. Maunya, koreksi politik disampaikan kepada presiden pilihan 2009 ini dalam 60 hari masa kerja Pansus. DPR sendiri terdiri atas partai yang tidak terlalu berminat melakukan pembinaan jangka panjang, tapi ingin aktif dalam pasar politik sekarang.

Kita sedang waspada terhadap ”markus” sekarang ini. Bagus sekali, sebab makelar kasus atau yang disingkat ”markus” itu menyelewengkan sistem peradilan. Namun, yang lebih berbahaya lagi adalah ”marpol” atau makelar politik, antara lain anggota DPR yang menjadi fasilitator harta dan kekuasaan. Secara kasatmata sudah bisa kelihatan siapa yang ”marpol” itu, dari caranya bicara, dari kebenciannya terhadap pemerintahan bersih, dan dari kerajinannya membuat cerita bohong.

Ketika kebohongannya dibongkar, marpol ini tinggal beralih ke isu lain. Ciri marpol juga bisa ketahuan dari seringnya dia muncul di acara berita sensasi, dalam acara stasiun televisi yang dimiliki orang bermasalah. Kalau sudah begini keadaannya, maka susah orang baik mengoreksi pandangan orang biasa yang sudah terpengaruh marpol.

Adolf Hitler mengatakan bahwa kalau Anda membuat kebohongan yang besar sekali, terus disampaikan sering kali dengan cara yang meyakinkan, maka akhirnya orang akan percaya. Ada yang mengatakan Sri Mulyani berbicara dengan Robert Tantular, bankir kriminal. Ini bohong besar yang disampaikan dengan berulang-ulang di acara pagi stasiun televisi. Namun, karena diulang terus dalam media besar, lama-lama orang percaya.

Setelah dibantah secara tuntas dengan bukti otentik, tetap saja pembohong itu diundang ke talk show televisi dan hadir di Pansus sebagai anggota DPR yang terhormat. Adapun orang yang membela pejabat pemerintah yang paling jujur saat ini dianggap sepi atau dipojokkan. Demonstrasi melawan penjahat ciptaan televisi tetap jalan karena mendapat dana dari partai politik yang takut kena pembersihan. Banyak kesaksian bohong yang dibiarkan berlalu, menyisakan opini publik yang rusak.

Lepas dari hasil proses Pansus, sangat disayangkan bahwa etika politik, lembaga legislasi, dan pers dikorbankan untuk kepentingan harta dan kekuasaan. Kalau Anda mau mengetahui faktanya, banyak sumber otentik yang bisa ditanyakan orang baik di Facebook dan Twitter. Namun, orang baik itu tidak punya dana besar dan tidak punya kepentingan menyerang, jadi inisiatif politik akan selalu berada di marpol dan pimpinan partai yang menggunakannya.

Seperti kita ketahui, banyak kesaksian di Pansus dilakukan oleh pejabat dan pakar yang mengatakan bahwa tidak ada rush di Bank Century. Semua mengatakan bahwa Bank Century tidak perlu dibailout. Namun, pada saat krisis terjadi pada November 2008, semua pejabat dan pakar yang sama mengatakan pemerintah harus cepat mengambil tindakan drastis. Ketika diumumkan bailout, tidak ada satu pun marpol yang berwajah pakar dan anggota DPR mengadakan proses yang serius.

Bahkan, berbulan-bulan kemudian, tidak ada suara. Baru waktu ada pemerintahan baru yang kelihatan bisa diganggu, muncul Pansus Century, tidak jauh berbeda dari Pansus Buloggate zaman Gus Dur. Pansus Buloggate tidak menyelesaikan pekerjaannya karena Gus Dur memang tidak melakukan korupsi. Namun, DPR mengambil arah langsung menjatuhkan Presiden dan berhasil.

Sekarang ini, masyarakat mencium juga bahwa ada situasi berat sebelah, apalagi setelah pejabat yang ingin dijatuhkan oleh Pansus tampil dengan jujur, seadanya, dan tidak bisa digoyahkan. Muncul kehilangan arah di kalangan Pansus. Ada yang mengusahakan rencana darurat dengan mengusahakan kompromi politik. Namun, keinginan menjatuhkan pemerintah tetap kuat, paling tidak melemahkannya secara signifikan supaya pihak yang kalah pemilu bisa ikut berbagi inisiatif politik. Kelihatannya semua serbasusah.

Sekarang kunci ada di tangan masyarakat, warga biasa. Pihak pemerintahan bersih kalah suara di DPR dan media mainstream. Namun social media mempunyai cerita lain. Warga biasa punya sikap independen. Ini bisa dilihat di Facebook dan Twitter dan blog yang tidak mudah digusur ke dalam agenda politik. Namun, warga biasa juga susah membentuk sikap politik walaupun sekadar untuk mempertahankan yang benar.

Meski begitu, proses penyadaran politik harus dimulai. Tiap orang memilih anutan moral secara sukarela tanpa paksaan, tanpa uang. Jika satu saat Presiden harus memilih di antara pihak yang menekan dan pihak yang ditekan, paling tidak warga biasa harus punya sikap yang bisa menjadi referensi untuk keputusan terakhir.(*)

WIMAR WITOELAR

Opini Okezone 25 Januari 2010