25 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Menunggu BRT yang aksesibel

Menunggu BRT yang aksesibel

Bus rapid transit (BRT) akan segera dioperasikan di Kota Solo. Lima belas unit bus bantuan dari pemerintah pusat itu akan dikelola oleh Perum Damri. Saat ini Perum Damri telah mengelola BRT di kota-kota besar seperti Bandung, Batam, Semarang, dan Yogyakarta.

Pengoperasian BRT di Solo menunggu tersedianya halte, diharapkan selesai dalam 2-3 bulan lagi. Penyediaan BRT merupakan langkah pertama dalam tahapan Solo menuju move people, not car. Seperti apakah BRT yang akan beroperasi di Solo, sehingga perlu halte khusus?


Penggunaan istilah BRT dimaksudkan sebagai sarana angkutan umum dalam kota yang cepat dan tepat waktu, karena bus harus transit/singgah di halte yang sudah ditentukan dan tidak boleh berhenti lama. Apabila menilik model BRT di Jakarta atau di Yogyakarta, bus tersebut didesain dengan interior yang nyaman, dengan menyediakan tempat duduk hanya di pinggir. Sedangkan bagian tengah dibiarkan kosong untuk menampung penumpang yang berdiri agar bisa memuat lebih banyak dan lebih nyaman. Desain kabin seperti itu juga memungkinkan tersedianya tempat bagi pengguna kursi roda tanpa harus berpindah tempat duduk.
Bus yang didesain dengan lantai tinggi dan tanpa tangga tersebut, harus diikuti dengan penyediaan halte yang aksesibel. Untuk mencapai lantai halte yang tinggi disediakan ram dan tangga. Penyediaan ram dimaksudkan untuk mempermudah akses pengguna kursi roda, pembawa kereta bayi, dan tas/koper beroda. Juga tersedia pegangan (handrail), pagar dan dinding untuk keamanan. Hanya saja, keberadaan halte BRT di Yogyakarta terlihat seperti dipaksakan. Desain halte, yang meniru halte bus Trans-Jakarta itu, terlihat “koden”, dibuat tergesa-gesa, yang penting ada ram, tangga, handrail dan dinding.
Penempatan beberapa halte kurang memperhatikan kondisi lokasi di mana halte itu berada. Kekurangan lainnya, lebih terperinci bisa disampaikan sebagai berikut. Pertama, penyediaan ram di beberapa halte tidak standar, terlalu curam. Ini sangat membahayakan pengguna kursi roda. Bahkan ada halte yang tidak tersedia ram, sehingga tidak aksesibel untuk semua orang.
Kedua, meskipun tujuannya untuk keamanan dan ketertiban, keberadaan dinding kaca dengan rolling door yang terlalu tertutup membuat halte yang tidak terlalu luas itu semakin terasa sempit/sumpek. Ketiga, di beberapa tempat keberadaan ram mengganggu jalur pejalan kaki. Bahkan, ada halte yang menutup jalur pejalan kaki/trotoar. Hal ini tentu mengganggu fungsi trotoar, dimana pejalan kaki yang hanya akan lewat terhalang bangunan halte. Pejalan kaki terpaksa harus lewat badan jalan, dimana BRT dan kendaraan lain kemungkinan bisa menabraknya.

Mobilitas untuk semua
Diharapkan penyediaan halte di Solo bisa lebih baik. Prinsip aksesibilitas atau mobilitas untuk semua orang perlu diperhatikan dengan lebih seksama, sebagaimana berikut ini. Pertama, rute BRT sebaiknya bisa menjangkau daerah potensi penumpang yang selama ini kurang diperhatikan keberadaannya, yaitu pusat-pusat rehabilitasi penyandang cacat di Jl Adi Sucipto seperti PPRBM dan Kompleks Paraplegia. Karena, pada dasarnya BRT didesain sudah memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang cacat.
Kedua, penempatan halte harus memperhatikan keadaan lokasi, agar keberadaannya mudah diakses oleh calon penumpang, tidak mengganggu trotoar atau jalur pejalan kaki. Pada dasarnya trotoar dan halte itu harus satu paket perhatian. Artinya, untuk bisa menuju halte harus juga tersedia trotoar yang aksesibel.
Ketiga, desain halte harus lebih terbuka, dengan luas yang cukup, sesuai dengan potensi calon penumpang di sekitar lokasi halte. Apabila lebarnya sangat terbatas, memanjangnya bisa di tambah untuk memenuhi luas yang dibutuhkan. Sehingga disain halte tidak “koden”. Yang terpenting adalah tersedia platform yang aksesibel, yang menghubungkan pintu BRT dengan halte. Sedangkan tempat menunggu bisa lebih rendah, selevel dengan trotoar.
Obsesi move people, not car akan terwujud, lebih tepatnya apabila di sepanjang jalan di dalam kota tersedia jalur pedestrian/trotoar dan tempat penyeberangan orang yang nyaman, aman dan bebas hambatan (aksesibel). Di situ dimungkinkan orang bergerak sendiri, dengan berjalan kaki atau berkursi roda.
Kendaraan pribadi dan motor sudah tidak mendominasi jalanan dalam kota. Sesekali angkutan umum massal lewat, seperti BRT/bus kota/rail bus/bus sekolah/bus wisata, dan taksi. Sehingga tempat penyeberangan pun bisa disediakan hanya dengan zebra cross, bukan jembatan penyeberangan. Kenyataannya jembatan penyeberangan itu tidak efektif, karena tidak aksesibel. Apabila kondisi itu terwujud, berarti sistem transportasi dalam kota sudah baik. Penyediaan bus kota atau BRT sudah baik, nyaman, aman, dan murah.
Orang lebih suka naik angkutan umum dari pada kendaraan sendiri. Konsekwensi dari BRT adalah berkurangnya lahan parkir di badan jalan. Sehingga parkir dalam kota menjadi sulit dan mahal. Naik sepeda motor kenyataannya sangat beresiko kecelakaan. Anak-anak sekolah pun tidak perlu lagi diantar-jemput dengan mobil pribadi, karena angkutan umum sudah aman dan tepat waktu. Pergerakan orang-orang tersebut (the moving people) akan terlihat apabila halte-halte bus kota dan BRT telah berfungsi dengan efektif. Kita menunggu BRT yang aksesibel. -

Oleh : Untung Joko Cahyono Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNS Solo
Opini Solo Pos 26 Januari 2010