Bus rapid transit (BRT) akan segera dioperasikan di  Kota Solo.  Lima belas unit bus bantuan dari pemerintah pusat itu akan  dikelola oleh  Perum Damri. Saat ini Perum Damri telah mengelola BRT di  kota-kota besar seperti  Bandung, Batam, Semarang, dan Yogyakarta. 
Pengoperasian  BRT di Solo menunggu tersedianya halte, diharapkan selesai dalam 2-3  bulan lagi. Penyediaan BRT merupakan langkah pertama dalam tahapan Solo  menuju move people, not car. Seperti apakah BRT yang akan beroperasi di  Solo, sehingga perlu halte khusus?
Penggunaan istilah  BRT  dimaksudkan sebagai  sarana angkutan umum dalam kota yang  cepat dan  tepat waktu, karena  bus harus transit/singgah di halte yang sudah  ditentukan dan tidak boleh berhenti lama. Apabila menilik model BRT di  Jakarta  atau di  Yogyakarta, bus tersebut  didesain dengan interior   yang nyaman, dengan menyediakan tempat duduk hanya di pinggir. Sedangkan  bagian tengah dibiarkan kosong untuk menampung penumpang yang berdiri   agar bisa memuat lebih banyak dan lebih  nyaman. Desain kabin seperti  itu juga memungkinkan tersedianya tempat bagi pengguna kursi roda tanpa  harus berpindah tempat duduk.  
Bus yang didesain dengan lantai  tinggi dan tanpa tangga tersebut, harus diikuti  dengan penyediaan halte  yang aksesibel.  Untuk mencapai lantai halte yang tinggi disediakan ram  dan tangga. Penyediaan ram dimaksudkan untuk mempermudah akses pengguna  kursi roda, pembawa kereta bayi, dan tas/koper beroda. Juga tersedia  pegangan (handrail), pagar dan dinding untuk keamanan. Hanya saja,  keberadaan halte BRT di Yogyakarta terlihat seperti dipaksakan. Desain  halte, yang meniru halte bus Trans-Jakarta itu, terlihat “koden”, dibuat  tergesa-gesa, yang penting ada ram, tangga, handrail dan dinding.
Penempatan  beberapa halte kurang memperhatikan kondisi lokasi di mana halte itu  berada. Kekurangan lainnya, lebih terperinci bisa disampaikan  sebagai  berikut. Pertama, penyediaan ram di beberapa halte  tidak standar,  terlalu curam. Ini sangat membahayakan pengguna kursi roda. Bahkan ada  halte yang tidak tersedia ram, sehingga tidak aksesibel untuk semua  orang. 
Kedua, meskipun tujuannya untuk keamanan dan ketertiban,  keberadaan dinding kaca dengan rolling door yang terlalu tertutup  membuat halte yang tidak terlalu luas itu semakin terasa sempit/sumpek.  Ketiga, di beberapa tempat keberadaan ram mengganggu jalur pejalan kaki.  Bahkan, ada halte yang menutup jalur pejalan kaki/trotoar. Hal ini  tentu mengganggu fungsi trotoar, dimana pejalan kaki yang hanya akan  lewat terhalang bangunan halte. Pejalan kaki terpaksa harus lewat badan  jalan, dimana BRT dan kendaraan lain kemungkinan bisa menabraknya.
Mobilitas  untuk semua
Diharapkan penyediaan halte di Solo bisa lebih baik.  Prinsip aksesibilitas atau mobilitas untuk semua orang perlu  diperhatikan dengan lebih seksama, sebagaimana berikut ini. Pertama,  rute BRT sebaiknya bisa menjangkau daerah potensi penumpang yang selama  ini kurang diperhatikan keberadaannya, yaitu pusat-pusat rehabilitasi  penyandang cacat di Jl Adi Sucipto seperti PPRBM dan Kompleks  Paraplegia. Karena, pada dasarnya BRT didesain sudah memperhatikan   aksesibilitas bagi penyandang cacat.  
Kedua, penempatan halte harus  memperhatikan keadaan lokasi, agar keberadaannya  mudah diakses oleh   calon penumpang, tidak mengganggu trotoar atau jalur pejalan kaki. Pada  dasarnya trotoar dan halte itu harus satu paket perhatian. Artinya,  untuk bisa menuju halte harus juga tersedia trotoar yang aksesibel. 
Ketiga,  desain halte harus lebih terbuka, dengan luas yang cukup, sesuai dengan  potensi calon penumpang di sekitar lokasi halte. Apabila lebarnya  sangat terbatas, memanjangnya bisa di tambah untuk memenuhi luas yang  dibutuhkan. Sehingga disain halte tidak “koden”. Yang terpenting adalah  tersedia  platform yang aksesibel, yang menghubungkan pintu BRT dengan  halte. Sedangkan  tempat menunggu bisa lebih rendah, selevel dengan  trotoar. 
Obsesi  move people, not car akan terwujud, lebih tepatnya  apabila di sepanjang jalan di dalam kota tersedia jalur  pedestrian/trotoar dan tempat penyeberangan orang yang nyaman, aman dan  bebas hambatan (aksesibel). Di situ dimungkinkan orang bergerak sendiri,  dengan berjalan kaki atau berkursi roda. 
Kendaraan pribadi dan  motor sudah tidak mendominasi jalanan dalam kota. Sesekali angkutan umum  massal lewat, seperti BRT/bus kota/rail bus/bus sekolah/bus wisata, dan  taksi. Sehingga tempat penyeberangan pun bisa disediakan hanya dengan   zebra cross, bukan jembatan penyeberangan. Kenyataannya jembatan  penyeberangan itu tidak efektif, karena tidak aksesibel. Apabila kondisi  itu terwujud, berarti sistem transportasi dalam kota sudah baik.  Penyediaan bus kota atau BRT sudah baik, nyaman, aman, dan murah.  
Orang  lebih suka naik angkutan umum dari pada kendaraan sendiri. Konsekwensi  dari BRT adalah berkurangnya lahan parkir di badan jalan. Sehingga  parkir dalam kota menjadi sulit dan mahal. Naik sepeda motor  kenyataannya sangat beresiko kecelakaan. Anak-anak sekolah pun  tidak  perlu lagi diantar-jemput dengan mobil pribadi, karena angkutan umum  sudah  aman dan tepat waktu. Pergerakan orang-orang tersebut (the moving  people) akan terlihat apabila halte-halte bus kota dan BRT telah  berfungsi dengan efektif. Kita menunggu BRT yang aksesibel.  -
Oleh : Untung  Joko Cahyono Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNS Solo
Opini Solo Pos 26 Januari 2010 
25 Januari 2010
Menunggu BRT yang aksesibel
Thank You!