25 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Wajar, Rumor Seputar Sri Mulyani

Wajar, Rumor Seputar Sri Mulyani

Rumor atau gosip tidak pernah jatuh dari 'planet luar'; tidak pernah muncul begitu saja tanpa dasar. Tiada asap, tanpa api. Maka, yang mesti ditelusuri adalah 'dasar' atau 'api' itu.

Siapa yang melempar rumor bahwa Sri Mulyani sebentar lagi akan dicopot sebagai menteri keuangan? Bahwa antara Presiden Yudhoyono dan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie sudah ada kesepakatan untuk mengganti Sri Mulyani?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya ajak pembaca untuk refreshing apa itu rumor. Per definisi, rumor adalah informasi atau berita yang (a) tidak jelas sumbernya, dan oleh sebab itu (2) kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Rumor muncul karena dua faktor dominan. Pertama, masalah besar atau penting yang terkait erat dengan kepentingan umum. Kedua, kejelasan mengenai masalah itu masih remang-remang. Maka, timbullah rasa cemas, rasa ingin tahu bagaimana sesungguhnya permasalahan tersebut. Penyebarluasan rumor akan semakin kencang dan luas seiring dengan (1) makin simpang siurnya 'keadaan' (being) permasalahan itu dan (2) makin penting/urgen masalah tersebut bagi masyarakat luas.

Syahdan, masih menurut teori, jika dua kondisi itu hadir di masyarakat, rumor pun tidak bisa dielakkan. Penyebarnya bisa memiliki berbagai motivasi. Kelompok pertama, mereka yang punya kepentingan dengan substansi rumor. Jika seorang presiden yang sedang sakit tiba-tiba dirumorkan kondisi kesehatannya makin buruk, penyebar rumor boleh jadi adalah orang--dibantu konco-konconya--yang sudah lama berambisi menjadi presiden. Diciptakanlah kondisi agar publik percaya bahwa usia presiden takkan lama lagi.

Kelompok kedua sebagai penyebar rumor adalah mereka yang menginginkan terciptanya situasi kacau. Mereka tahu benar bahwa situasi kaos, atau destabilitas sosial-politik akan terjadi manakala rumor yang dilempar itu cukup dipercaya masyarakat luas. Tatkala Presiden Prancis Francois Mitterand dulu dikabarkan menderita sakit kanker, cukup banyak politisi puncak di negara-negara Barat yang waswas bagaimana nasib Prancis pasca-Mitterand.

Kelompok ketiga, mereka yang memakai rumor sebagai senjata propaganda untuk menohok lawan; semacam pembunuhan karakter. Tentu itu termasuk propaganda hitam.

Kelompok keempat, mereka yang berfantasi. Karena saya berfantasi menjadi presiden direktur perusahaan tempat saya bekerja, saya menyebarkan rumor yang menjelek-jelekkan presiden direktur yang sedang menjabat; sekaligus informasi tentang saya yang hebat dan pantas menduduki kursi itu.

Kelompok kelima, orang-orang yang hanya iseng. Mereka bahagia dan tertawa terpingkal-pingkal begitu mengetahui bahwa begitu banyak orang yang termakan oleh rumor yang diciptakannya di meja komputer sambil makan bakso!

Di antara kelima orang/kelompok itu, rumor tentang akan dicopotnya Sri Mulyani hampir dipastikan dihembuskan orang-orang yang punya kepentingan kuat untuk melihat Sri Mulyani segera hengkang dari kantornya di Lapangan Banteng. Karena rumor itu menyebar segera setelah pertemuan 'empat mata' antara Presiden Yudhoyono dan Ical, publik pun serta-merta curiga bahwa sumbernya siapa lagi kalau bukan orang-orang dekat Ical. Apalagi, publik sudah tahu bahwa antara Ical dan Sri memang sudah lama clash. Ical--oleh sebuah majalah kondang di Ibu Kota--dikabarkan dendam kesumat terhadap Sri, terutama gara-gara kasus lumpur panas Lapindo dan Bumi Resources.

Namun, asumsi itu belum tentu benar. Saya sependapat dengan Idrus Markham, Ketua Panitia Angket Bank Century, yang mengatakan bahwa yang menyebarkan rumor tentang Sri adalah orang-orang dekat ketua umum atau orang-orang di sekeliling SBY. Tidak tertutup kemungkinan, orang-orang dekat SBY pun melihat keberadaan Sri Mulyani di kabinet membawa beban berat, konkretnya, bisa mengganjal kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II. Sri Mulyani akan terus menjadi 'sasaran tembak' lawan-lawan SBY, selama ia duduk dalam kabinet karena kaitannya dengan skandal Bank Century.

Masih ada kelompok ketiga yang menghendaki dicopotnya Sri, yaitu mereka yang selama ini paling keras menghantam kasus Bank Century.

Bukankah, Sri Mulyani dan Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia, menjadi bulan-bulanan kritik dan kecaman terkait dengan masalah Bank Century? Kenapa hanya mereka? Karena keputusan bailout Bank Century diambil dua orang itu selaku pimpinan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Bukankah Jusuf Kalla di Pansus, secara implisit, juga mengatakan bahwa terlalu riskan kalau masalah begitu serius dan menyangkut dana begitu besar hanya diputuskan dua orang?

Setelah bersidang 1,5 bulan, Pansus Bank Century sudah memperlihatkan banyak indikasi kuat, tidak dikatakan bukti bahwa masalah Bank Century memang sebuah skandal. Pengakuan jujur Sri Mulyani bahwa dia hanya bertanggung jawab pada talangan sebesar Rp632 miliar (selebihnya siapa yang bertanggung jawab, dong?), bahwa Sri juga terkejut total dana talangan kemudian membengkak sampai Rp6,7 triliun, bahwa dana simpanan Budi Sampoerna yang lebih dari Rp1 triliun itu secara kilat kemudian dipecah-pecah menjadi masing-masing Rp2 miliar dengan menggunakan ratusan deposan fiktif, bahwa JK yang adalah Presiden RI ad interim ketika itu tidak dilaporkan (kenapa takut?), bahwa bank ini sejak kelahirannya sudah karut-marut, bahwa bank ini sesungguhnya dirampok pemilik sendiri. Semua itu indikasi kuat rupanya ada skandal di balik atau dalam proses bailout!

Nah, perbincangan politik di luar kemudian sampai pada konklusi sementara: harus ada yang bertanggung jawab dalam skandal Bank Century. Di antara dua petinggi itu, Sri Mulyani lebih mudah dikorbankan, sedangkan Boediono--karena kedudukannya saat ini sebagai Wakil Presiden RI--bisa menimbulkan komplikasi politik yang serius manakala harus juga dicopot.

Ada penyebab yang masuk akal, ada pula solusi masalah yang plausible, ada pihak-pihak yang berkepentingan, maka suburlah ladang bagi bersemai dan bertumbuhnya rumor tentang Sri Mulyani.

Bantahan keras Presiden Yudhoyono sudah tepat sekali untuk membunuh rumor tersebut. Namun, harap Presiden betul-betul memegang ucapannya itu! Jangan seperti Presiden George Bush Senior ketika ia berkata kepada seluruh rakyat Amerika, "Read my lip: no more tax!" Eh, beberapa bulan setelah terpilih lagi, sang presiden menaikkan pajak rakyat. Hancurlah martabat Bush!***

Oleh Tjipta Lesmana Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan
Opini Media Indonesia 26 Januari 2010