DALAM seminggu ini dua kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  berbicara soal mosi tidak percaya atau pemakzulan. Isu itu pertama kali  dilontarkannya pada 21 Januari lalu di Istana Bogor, di hadapan tujuh  pimpinan lembaga tinggi negara.
Katanya, mosi tidak percaya yang  berlangsung pada era demokrasi parlementer tidak berlaku lagi pada era  presidensial. Yang ada ialah antara lembaga eksekutif, legislatif, dan  yudikatif saling mengisi dan mengimbangi. Ucapan senada diulangi lagi  pada pertemuan antara Presiden SBY dan para petinggi TNI yang menghadiri  Rapat Pimpinan TNI kemarin.
Selain itu, di hadapan para perwira  tinggi TNI Presiden SBY menekankan bahwa kebijakan pemerintah tidak bisa  dipidanakan. Kita patut bertanya, mengapa Presiden SBY sampai  bertubi-tubi bicara soal mosi tidak percaya atau pemakzulan? Apakah  benar kebijakan pemerintah tidak dapat dipidanakan?
Pemakzulan
Bila  kita perhatikan mimik wajah dan nada Presiden SBY dalam melontarkan isu  mosi tidak percaya atau pemakzulan, tampak jelas betapa Presiden SBY  berada dalam kegelisahan yang amat besar. Ada beberapa faktor yang  mengakibatkan Presiden SBY gusar.
Pertama, partai-partai koalisi  pendukung pasangan SBY-Boediono sejak munculnya kasus Bank Century  ternyata kini mengalami perpecahan karena mereka memiliki posisi dan  kepentingan politik masing-masing yang tidak jarang berbeda dengan  Partai Demokrat, partai Presiden SBY.
Kedua, perpecahan itu  membuat skandal Bank Century menjadi bola liar yang sulit dikendalikan  di dalam Pansus Hak Angket DPR yang membahas soal itu. Ketiga, tekanan  politik terhadap Pansus Bank Century agar menyelesaikan persoalan itu  secara jernih, bijak, dan transparan bukan hanya datang dari kalangan  intelektual, melainkan juga sudah merambah massa rakyat.
Gelombang  demonstrasi merayakan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2009  bukan mustahil akan menjelma menjadi demonstrasi yang lebih besar pada  28 Januari 2010 ini. Untuk meredam sepak terjang para anggota Pansus  Bank Century, ada beberapa cara yang dilakukan SBY.
Langkah  pertama yang pernah dilakukannya dan gagal ialah mengancam partai-partai  anggota koalisi bahwa SBY akan meninjau kembali kontrak politiknya  karena tidak sedikit anggota koalisi yang berkhianat atau posisinya  berseberangan dengan posisi Partai Demokrat.
Ancaman ini ada yang  bersifat terbuka, tapi ada juga yang tertutup, termasuk sebelum mantan  Wakil Presiden Jusuf Kalla dipanggil Pansus Hak Angket Bank Century  untuk bersaksi dan mengungkapkan apa yang ia ketahui soal bailout bank  tersebut. Langkah ini ternyata tidak mampu menekan para anggota koalisi  untuk mendukung posisi pemerintah di dalam sidang-sidang pansus  tersebut.
Senjata pamungkas kedua yang digunakan Presiden SBY  untuk mengendurkan tekanan politik soal impeachment atau pemakzulan  ialah dengan mengundang para pimpinan lembaga-lembaga tinggi ke Istana  Bogor untuk “memiliki pandangan yang sama bahwa mosi tidak percaya atau  pemakzulan tidak berlaku lagi”. Upaya ini ternyata mendapatkan kritik  tajam dari berbagai pihak yang menilai bahwa berkumpulnya para petinggi  lembaga negara tersebut amat tidak etis.
Apalagi jika ada  kesepakatan untuk tidak memberlakukan pemakzulan, sesuatu yang  sesungguhnya dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 (UUD 1945, yang sudah empat kali diamendemen). Jika benar  ada kesepakatan politik tersebut, berarti secara langsung para pemimpin  lembaga tinggi negara itu melanggar konstitusi negara! Mari kita tengok  Pasal 7A dan Pasal 7B beserta ayat-ayatnya yang mengatur pemakzulan  terhadap presiden dan wakil presiden baik secara sendiri-sendiri maupun  dalam satu paket.
Meskipun sulit untuk dilaksanakan, pemakzulan  adalah suatu yang diatur dalam konstitusi negara kita dan karena itu ia  bukanlah “barang haram”. Tak cuma itu, Presiden SBY kemudian juga  mengungkapkan soal pemakzulan itu ke Rapat Pimpinan TNI. Kita semua tahu  bahwa kebijakan negara memang tidak dapat dipidanakan.
Meminjam  pendapat pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, kebijakan itu  hanyalah secarik kertas dan karena itu tak bisa dipidanakan! Namun, jika  ada proses yang tidak benar di dalam pengambilan keputusan menuju  keluarnya kebijakan negara itu, kita patut mempertanyakan apakah ada  penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden dalam mengeluarkan kebijakan  tersebut.
Pernyataan Presiden di hadapan peserta Rapat Pimpinan  TNI juga menimbulkan tanda tanya besar, untuk apa TNI diajak bicara soal  suatu kebijakan yang tidak ada kaitannya dengan militer atau pertahanan  negara? Ini dapat menarik TNI kembali ke ranah politik, sesuatu yang  tidak kita inginkan. Pimpinan TNI memang harus mengerti persoalan  politik kenegaraan.
Akan tetapi kita jangan sekali-sekali  mengajak TNI untuk terjun ke panggung politik kembali karena ini  bertentangan dengan prinsip reformasi internal TNI yang telah  berlangsung selama 11 tahun ini. Presiden SBY tampaknya sedang mengalami  suatu kegelisahan yang amat sangat. Ia bukan hanya bicara soal  pemakzulan atau mosi tidak percaya saja, tapi juga meminta masyarakat  untuk mengerti bahwa adanya upaya untuk membunuhnya bukanlah isapan  jempol.
Pernyataan ini diulang-ulang oleh SBY dengan nada yang  melankolis, sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh seorang presiden di  hadapan rakyatnya. Dalam situasi krisis apa pun, seorang pemimpin  negara harus tegar dan percaya diri, bukan gelisah atau cengeng!  Pemimpin negara harus memimpin dan melindungi rakyatnya, bukan  sebaliknya minta dimengerti atau dilindungi oleh rakyatnya.
Jika  tidak ada hal-hal buruk yang dilakukan Presiden SBY terkait dengan dana  talangan terhadap Bank Century, untuk apa ia sibuk mencari kesepakatan  politik di antara para pemimpin lembaga-lembaga tinggi negara soal  berlaku tidaknya pemakzulan atau mosi tidak percaya? Mosi tidak percaya  hanya ada di dalam sistem parlementer.
Di dalam sistem  presidensial diatur bahwa DPR dapat melakukan fungsi pengawasan melalui  hak angket Dewan. Ini disusul dengan penyampaian usul dan pendapat Dewan  yang juga diatur dalam konstitusi kita. Dari sini DPR dapat mengajukan  usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden yang harus didukung  sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang  paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.  Usul DPR itu harus diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.
Jika  Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden  melakukan pelanggaran hukum, DPR dapat mengusulkan MPR bersidang. Proses  ini tidak mudah dan memakan waktu. Jika SBY dapat mengelola  kekuasaannya terhadap partai-partai koalisinya, sebenarnya ia tak perlu  takut dengan akan adanya pemakzulan. Lalu, mengapa Presiden SBY amat  gelisah belakangan ini? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.(*)
IKRAR  NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI   
Opini Okezone 26 Januari 2010 
25 Januari 2010
Hari-Hari yang Mendebarkan SBY
Thank You!